Sejumlah pengunjung bermain di Taman Alun-Alun Bandung, Jalan Asia-Afrika, Kota Bandung, Sabtu 5 April 2025. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Ayo Netizen

Kita dan Bandung: Kebuntuan Kota yang Katanya Maju

Senin 15 Sep 2025, 14:19 WIB

Hati selalu merasa terganggu setiap kali lihat pengamen, pemulung, pedagang, atau anak-anak jalanan yang berteduh di kolong Jembatan Layang Pasupati. Gelisah, tampaknya kumuh mencoreng citra Bandung yang estetik. Ojol yang kita tumpangi terus berjalan, driver bertanya “Asli Bandung Kak?” ”Enggak, lagi kuliah”. Rasanya pede langsung naik gengsi.

Perjalanan terus maju, kita mau ke mall yang ada di Bandung Timur, di antara stasiun kereta cepat Whoosh, GBLA, perumahan elit, dan Majid Al-Jabbar. Pilihan tempat main baru. Senang apalagi bawa hp yang enggak malu-maluin, boba. Banyak bahan konten yang bisa kita posting di media sosial nanti, ruang kebebasan generasi kita. Semoga dunia banyak yang tahu bahwa kita selalu seru-seruan di kota ini.

WEIRD adalah kacamata kita, Western, Educated, Industrialized, Rich, dan Democratic. Yang jadi alasan buat membanding-bandingkan kampung halaman sendiri sebagai tempat yang terbelakang ketimbang kota besar. Yang jadi alasan buat menilai orang tua sendiri kampungan, gaptek, dan percaya mitos takhayul. Balik dari tongkrongan atau kampus di Bandung, kita berlaga sok iya kasih testimoni kalau makanan di sepanjang Jalan Riau itu lebih kekinian.

Di acara reunian pun begitu, kita juga bilang kalau sekolah tinggi itu lebih keren nanti punya ijazah buat dapat kerja kantoran.

Jauh-jauh ke Bandung

Alun-alun Ujungberung. (Sumber: Ayobandung)

Di antara dunia malam yang gemerlap, di antara distro dan toko baju-sepatu, di antara FOMO aplikasi performa rute lari, padel, serta billiard kita menyangkali keadaan. Kosan yang berantakan, bungkus-bungkus mi instan, tagihan pinjol, dan alasan uniko (usaha nipu kolot) yang selalu ada, tertutup lebih rapat dari feed kita sendiri.

Kita begitu sibuk mengatur filter sampai lupa pada mereka yang di rumah, yang lagi mati-matian mengumpulkan poin-poin untuk transferan di bulan yang baru. Ramen, dimsum, dan smoothies adalah jatah makan malam emak bapak yang sengaja dilewatkan.

Wisuda sudah digelar, saatnya lanyard menggantung di leher. Sekarang kita punya BPKB atas nama sendiri. Bolehlah tiap bulan healing atau staycation, itung-itung perayaan sambil menyisir Ciwidey di Selatan dan Lembang di Utara. Tentu ini taruhan yang tak boleh terkalahkan.

Kita harus makin rajin berkabar pada kanca dunia maya, misal lewat jepretan plating dan garnish atau dengan konten yang memberi tahu kita lagi di bioskop. Ingatlah fone dan angle-nya jangan terlihat norak. Sesekali kita berbagai riwayat pemutaran lagu yang lagi hits di antara barudak Bandung. Pun diselingi foto quote puitis dari buku yang sedang ramai diulas di thread, penting juga sebagai tanda kita melek literasi, well-educated

Tidak ada yang salah. Semua orang suka atau paling tidak iri. Orang tua pun tidak merasa rugi yang ada malah bangga, lunas, sekarang kita bisa dibandingkan dengan anak bibi. Apalagi buat mereka yang tinggal di kampung, yang masih bergelut dengan keringat dan lumpur. Rasanya kita jauh lebih terpandang dan punya masa depan yang jelas. Makin kuatlah Bandung dijadikan bahan bual-bualan tentang kita.

Akhirnya standar hidup yang kita perjuangkan sebagai mimpi banyak orang, kepalang tanggung melindas mereka yang menjadi bagian dari dunia kita. Saudara, tetangga, teman, termasuk mereka yang terima gaji pas-pasan rusak terpapar tuntutan kemajuan. Satu sama lain berlomba-lomba mengejar martabat soal imaji orang yang berada dan beradab.

Kedengkian ini menular dengan cepat, melahap semua pihak yang kemaruk validasi. Ada yang berhutang, ada yang nekat, persis seperti kita zaman kuliah dulu. Begitu menyakitkan, mereka yang lugu kini berubah jadi pecandu ilusi kota.  

Jurang di Tengah Kota

Jalan Braga tidak hanya menjadi saksi bisu kemegahan masa lalu, tapi juga rumah bagi seniman jalanan yang menantang arus zaman lewat goresan kanvas. (Sumber: Ayobandung.id)

Jauh di dalam batin, kita yang menghirup angin kota, terpogoh-pogoh mengejar kompetisi soal CV, portofolio dan kunci kendaraan yang bisa diletakkan di atas meja tongkrongan. Ternyata tidak ada garis finish, ritmenya mengikuti takdir industri yang menuntut kita agar selalu produktif.

Side hustle, layanan kesehatan mental, bonus proyekan, keranjang check-out, tabungan, traktiran pacar, dan gaya hidup saling berdesak-desakan. Waktu tak kenal belas kasih jadi tunggakan dan tagihan yang diuangkan.

Dalam lamunan memori otentik hadir dengan gratis, merekam suasana gang dan lapangan. Tapi sekarang suasana serupa harus ditebus dengan kopi susu gula aren. Koneksi WIFI dan laptop yang sengaja dibuka jadi gimmick menutup sepi.

Di balik citylight Bandung yang menyala dari ketinggian Cartil, kita masih mengenang ironi soal TPA Sarimukti yang terbakar pada Agustus 2023. Akibatnya sudut-sudut kota yang jadi tumpuan kita itu digenangi lumpur, bau busuk, dan lalat-lalat. Begitu juga baru teringat tentang banjir yang berulang-ulang menggenangi Dayeuhkolot, menghambat laju orang sibuk yang pulang pergi bersekolah dan bekerja dari pinggiran ke pusat peradaban.

Dipikir-pikir kita juga selalu punya ketakutan yang enggak terungkap, jadi penghuni Bandung yang bisa saja masuk konten Tim Prabu atau jadi korban pembegalan di jalan besar Soekarno-Hatta.

Kian menebal lompat silih berganti, modernitas disadari menyisakan paradoks kebuntuan. Bandung boleh saja punya kampus-kampus kenamaan, berbagai organisasi sipil, para politisi hebat, termasuk pengusaha dan industrinya. Tapi apa artinya kemajuan jika bak sampah terus penuh ditimbun dari tahun ke tahun? Juga air keruh, sensasi, dan kriminalitas. Semua seiring sejalan dengan pesonanya yang ciamik. Lagi pula kita ada di tengah-tengahnya.

Bandung heurin ku tangtung, begitu kata leluhur yang diwariskan dari mulut ke mulut. Jika tangtung itu artinya diri, maka kita ada di antara kerumunan orang yang hidup di sana. Tapi jangankan berharap memecah masalah, justru keberadaan kita turut serta membuat ulah. Jika tangtung itu artinya angan, maka kita menaruhnya di tempat itu. Tapi mimpi kita lebih seperti racun yang membunuh kota ini, silau dalam pertaruhan harga diri yang kian parah.

Dua abad lebih usianya kini, Bandung memanggul beban kita semua. Garis kolonial yang dulu membelah utara dan selatan masih saja hidup, menjiplak di pikiran kita, memperlebar jurang kelas yang makin dalam. Jurang itu terlihat jelas di sekitar Taman Maluku dalam wajah-wajah tunawisma dan kita yang berkeliling naik vespa. Juga di atas trotoar yang hilang, jadi ajang rebutan di antara pengendara motor, pedagang kaki lima, pejalan kaki, dan orang dengan disabilitas. (*)

Tags:
Bandungilusi gaya hidupbeban modernitas

Arfi Pandu Dinata

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor