Di pemukiman sepanjang jalur rel kereta api, Jalan Jembatan Opat menembus Jalan Asih Utara, di Jalan Maleber Utara, kandang burung merpati, warung kecil, dan jemuran pakaian tak kenal siang dan malam. Di daerah padat penduduk Kiaracondong dan Babakan Ciparay, mereka yang muda berkeliaran di antara magrib menjelang isya.
Perasaan ini kadang jauh dan dekat sekaligus. Ia seketika melempar posisiku sebagai pendatang baru yang tidak bisa lancang masuk ke dunia orang begitu saja. Tapi ia juga bisa berbalik arah, tiba-tiba mendekap dan menghisapku sekencang mungkin sebagai sesama orang muda nan kecil yang hidup di pinggiran. Aku dan mereka terus berdialog lewat tatapan mata yang tajam di bawah langit Bandung.
Warung kopi yang sederhana di Gegerkalong menjual obrolan sambil lalu dan tawa. Asap rokok bergulat dengan jaringan kuota lokal, bekal kita mabar. Mataku seperti lensa kamera yang lihai tarik ulur otomatis, menyorot lanskap luar dalam, mereka dan diri sendiri. Kebebasan dan tuntutan sosial terekam saling berkelindan.
Tongkrongan alakadarnya, meski kadang jauh dari buku-buku tebal, tetap kerap menebarkan kebijaksanaan. Bahasa sehari-hari seperti “nu penting teu ngarugikeun batur” atau “nya geus, hirup-hirup manéhna ieu” berubah jadi semacam quotes ringan yang menjaga dan menghormati martabat orang lain.
Kumpulan orang muda di pinggiran nyatanya bisa merangkul siapa saja yang datang. Entah dia bertato, tukang cleaning service, marbot masjid, atau bahkan pengangguran, selalu ada petakan keramik dingin, karpet bolong, dan gelas kopi sachet yang bisa dibagi.
Menjadi orang biasa yang apa adanya memang kadang monoton. Sehari-hari kerja, seminggu sekali rebahan, sebulan sekali gajian. Tapi di sela-sela waktu itu kita bisa dapat keberuntungan yang sensasinya luar biasa, misal menemukan uang 20 ribu di saku celana sendiri.
Begitu juga tanggal tua yang menjengkelkan bisa berubah jadi penantian, sebab ada jadwal tanding Persib. Menyelingi kebuntuan, COD di Tegallega atau Bundaran Cibiru jadi andalan, charger hp, spare part motor, dan sepatu secondhand.

Kebanyakan mungkin lebih suka menilai orang muda itu cuek atau bahkan malas. Tapi kali ini aku mau membantahnya, bahwa sejujurnya ada rasa minder yang selalu menyesakkan dada Gen Z lulusan sekolah menengah. Hidup boleh saja di Bandung, tapi rasa kalah sudah tiba hampir menyaingi mereka yang punya garis start lebih depan. Bandung sudah terlalu berlari cepat dan jauh meninggalkan ijazah kita.
Aku dan mereka kini berdiri pada titik temu yang sama. Perantau dan domisili asli yang pinggiran ini beranda-andai bisa kuliah, mungkin akan punya bonus empat tahun buat main-main sambil merancang peluang. Tapi nyatanya kita hanya bisa membonceng mahasiswa sebaya, mengantarkannya ke pintu gerbang masa depan yang lebih terjamin.
Dari mimpi soal kampus datanglah kecamuk moral. Pendidikan tinggi dianggap membangun peradaban, sementara kita kadung dibilang punya selera adab yang rendah. Lebih-lebih kenyataan hidup jauh dari wewarah agama. Kajian-kajian yang terkenal terlalu elit, membuat kita takut dihakimi atas nama moral publik. Diri merasa tidak layak terikat akrab dengan leci Pasteur dan jamu murahan.
Dan di situlah paradoks kesenjangan makin tampak kentara. Padahal bebasku terasa sederhana, cuma ingin mandiri secara keuangan, biar enggak selalu jadi target korban penertiban. Nongkrong di pinggir jalan rasanya muak, selalu dicurigai seakan-akan kriminal, apalagi kalau kebetulan ada patroli lewat. Rasanya kayak salah hanya karena miskin, karena enggak punya pilihan lain selain berlama-lama di emperan, trotoar, atau parkiran toko orang.
Coba kalau punya duit, mungkin bisa pindah main ke kafe, karaoke, kelab, tempat billiard, atau hotel murah yang worth it. Semua tempat hiburan yang dianggap wajar karena dibungkus modal dan status. Sama seperti para pelancong kaya raya yang bebas menikmati hiburan di kota Bandung tanpa takut disangka macam-macam. Tapi ya sudahlah, aku dan teman-teman senasib belum mampu membelinya.
Baca Juga: Representasi Kemiskinan di Indonesia, Bukan Soal Angka tapi Realitas yang Ada
Pada akhirnya, Bandung yang katanya ramah buat orang muda sebetulnya hanya menerima mereka yang lebih dari berkecukupan. Kehidupan di Bandung selalu menuntut cara bertahan yang tidak mudah. Ada gejolak batin yang sulit terungkapkan, ada kesenjangan pelik yang terus menganga, ada moral publik yang siap menghakimi kita kapan saja.
Tapi di balik semua ketakutan itu, ada juga kekuatan kecil yang terus mengalir di antara warga pinggiran. Di sinilah solidaritas tongkrongan dan etika keseharian dihidup-hidupi. Aku belajar bahwa menjadi manusia Bandung adalah tentang menjaga martabat di tengah keterbatasan, meski tafsirnya selalu menyalahi ulah dan keberadaan orang miskin.
Bandung yang megah mungkin bukan benar-benar milik kita. Tak apa, kita akan tetap setia menjadi pemanis darinya meski hanya dari pinggiran, sambil menjaga tawa dan mimpi sederhana. Mari kita lanjut bekerja. (*)