Sisi Gelap Sistem Administrasi Perguruan Tinggi di Kota Bandung (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Ayo Netizen

Bandung dan Sebagian Sistem Administrasi Pendidikan yang Masih Semrawut

Jumat 19 Sep 2025, 11:54 WIB

Bandung memang terkenal dengan dunia pendidikan yang mentereng. Tak hanya sekedar kuantitas tapi juga kualitas yang ditorehkan sejumlah PTN dan PTS. Bandung dikenal sebagai kota pusat pendidikan dengan suasana akademik yang mendukung dan relatif terjangkau oleh sebagian kalangan. Hampir semua mahasiswa di luar pulau Jawa berbondong-bondong untuk masuk PTN atau PTS impian mereka.

Tapi dibalik semua kecemerlangan tersebut sebetulnya tersembunyi sistem pendidikan "gelap" di Kota Bandung yang luput dari pemberitaan media, pantauan dinas terkait bahkan oleh masyarakat Bandung sendiri.

Pagi ini saya menonton berita dari channel youtube Metro Tv dengan headline "Skandal Pendidikan ! 72 Siswa SMAN 5 Bengkulu Dikeluarkan Sepihak, Kuasa Hukum & DPR Angkat Suara"

Berdasarkan berita tersebut dijelaskan bahwa ada sejumlah 42 siswa yang tidak terdaftar di data dapodik. Menjadi ironi karena inilah pilar terpenting yang utama dalam administrasi pendidikan.

Pihak sekolah mengaku sudah mengikuti peraturan untuk mengeluarkan sejumlah siswa karena yang bersangkutan tidak terdaftar di dapodik. Sementara perwakilan orang tua siswa bernama Ibu Pipit mengaku kesebelas siswa yang melaporkan tersebut memiliki bukti lengkap dari proses seleksi, bukti kelulusan dan berkas daftar ulang.

Berita tersebut men-trigger saya pada pengalaman yang pernah saya alami selama menjadi mahasiswa di salah satu kampus yang tidak terlalu terkenal di Kota Bandung beberapa tahun silam.

Saya masuk di tahun sebelum ada wabah covid-19 terjadi di Indonesia. Saat mendaftar saya dimintai beberapa berkas sebagai sayarat untuk dilaporkan ke pddikti sebagai mahasiswa aktif kampus tersebut.

Menjelang satu tahun belajar saya cek nama di pddikti tapi hasilnya nihil. Anehnya kedua teman saya yang hanya bertahan dalam satu semester justru namanya terpampang nyata di laman tersebut dan masih berstatus mahasiswa aktif.

Akhirnya saya melaporkan kasus ini kepada kaprodi yang kemudian diteruskan ke staff administrasi yang berada di kampus. Prosesnya cukup alot dan ketika saya mintai kejelasan jawabannya selalu seragam "Sabar ya, ini kan lagi covid, masih pada wfh jadi proses pengerjaannya wajar saja lebih lama dari biasanya".

Saat itu saya tidak menyadari bahwa sistem KRS (Kartu Rencana Studi) di kampus tidak langsung terafiliasi dengan dikti yang bisa diakses secara langsung oleh mahasiswa. Karena saat itu masih bersifat konvensional melalui selembar kertas. Biasanya pihak kampus akan menginput secara langsung dan saya sebagai mahasiswa percaya kepada pihak kampus yang menjalankan tugas tersebut.

Berjalan di semester lima saat itu saya mengajukan lomba proposal penelitian karya ilmiah yang sudah saya buat dengan ide sedemikian rupa untuk mengatasi permasalahan limbah popok bayi. Proposal sudah diserahkan ke pembimbing dan anggota pun sudah terbentuk. Mendadak saya mendapat kabar dikeluarkan dari pengajuan lomba tersebut dengan alasan nama saya tidak dapat diinput ke laman perlombaan karena nim tidak terdaftar di pddikti.

Jujur hati saya hancur karena saya dipaksa menyerahkan ide proposal saya untuk tetap diajukan tanpa melibatkan saya sebagai inisiator ide tersebut. Rasa kecewa itu membuat saya berhenti mencari tahu apakah proposal tersebut lolos atau tidak di tingkat perlombaan.

Permasalahan ini masih tidak kunjung selesai bahkan ketika saya mau menghadapi seminar proposal skripsi saat semester 7. Langkah saya pun harus terhenti karena tidak bisa melanjutkan seminar proposal skripsi dengan alasan yang sama, nama dan nim saya belum terdaftar di pddikti.

Baca Juga: Filsafat Seni Islam

Butuh waktu satu tahun untuk menyelesaikan masalah ini sehingga saya lulus lebih lama dengan waktu 5 tahun. Dalam perdebatan yang berlangsung ada beberapa statment kampus yang membuat saya kecewa di antaranya, pertama saya ditawari pihak kampus untuk bersedia mengulang perkuliahan dari semester awal dan dijanjikan tidak perlu membayar biaya sepeser pun dan bahkan selama 4 tahun saya tidak perlu datang untuk belajar ke kampus. Kedua, ada pihak kampus yang menyatakan bahwasannya ijazah itu tidak penting.

Tentu saya menolak dengan lantang tawaran tersebut dan saya tidak mau tahu bagaimana caranya kampus bisa mendaftarkan nama dan nim saya sesuai dengan tahun saat saya mendaftar kuliah. Meskipun alot akhirnya data saya berhasil diinput setelah sebelumnya di wawancara pihak dikti melalui sambungan telepon.

Saya yakin kasus serupa masih banyak terjadi di sejumlah perguruan tinggi di kota/kab Bandung. Seperti salah satu contoh kasus yang melibatkan kampus swasta ternama di STIKOM Bandung perihal penarikan ijazah alumni.

Dilansir dari laman Kompas.com, sejumlah alumni menolak untuk kembali melaksanakan proses perkuliahan setelah 233 ijazah ditarik kembali dan dibatalkan kelulusannya. Buntut permasalahan ini adalah adanya kekeliruan pada pihak pengelolaan data oleh operator STIKOM Bandung.

Menurut salah satu alumni STIKOM mengatakan bahwa permintaan kampus untuk mengulang perkuliahan hanya bertujuan untuk menutupi kelemahan sistem yang ada di STIKOM Bandung.

Saya berharap tulisan ini bisa sampai kepada dinas terkait untuk lebih gencar melakukan monitoring kepada sejumlah kampus yang ada di Kota Bandung agar tidak semakin banyak korban berjatuhan dari "Sistem Bisnis Uang yang Berkedok Pendidikan".

Saya juga berharap tulisan ini sampai pada calon mahasiswa dan orang tua yang akan menyekolahkan anaknya untuk tetap berhati-hati dan pastikan mencari data tentang track record kampus yang bersangkutan sebelum mendaftar kuliah.

Saya juga berharap semakin banyak media yang mengangkat isu ini demi sistem pendidikan yang lebih baik lagi dan demi Kota Bandung yang berpendidikan, berkemerdekaan dan tertib administrasi pendidikan.

Tags:
sistem administrasi pendidikandunia pendidikanKota Bandung

Dias Ashari

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor