Kisah Dayang Sumbi dan Sangkuriang, menjadi salah satu narasi besar yang melahirkan bentuk Gunung Tangkuban Parahu. Dalam legenda itu, Dayang Sumbi melambangkan kebijaksanaan dan martabat, sementara Sangkuriang merefleksikan semangat muda yang penuh gejolak.
Keteguhan Dayang Sumbi menolak hubungan terlarang dengan anaknya sendiri mengajarkan tentang pentingnya menjaga tradisi, menghormati batas, dan melindungi nilai-nilai yang luhur. Dari keteguhan itu, lahirlah simbol abadi berupa gunung berbentuk perahu terbalik, warisan imajinasi yang terus hidup lintas generasi.
Legenda itu berpadu dengan kenyataan ilmiah. Jutaan tahun silam, Bandung adalah danau purba yang luas, dikelilingi dinding pegunungan. Jejaknya masih bisa ditelusuri dari aliran Sungai Citarum dan bentang alam Cekungan Bandung. Danau purba meninggalkan tanah subur yang menjadi sumber daya melimpah, menjadikan Bandung nyaman ditinggali sekaligus kaya potensi.
Tidak heran jika kemudian lahir ungkapan populer di tanah Priangan, bahwa “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.” Senyum itulah yang menjelma menjadi hamparan pegunungan dengan panorama indah. Warisan alam dan keindahan menjadi dasar perkembangan Kota Bandung sebagai kota pendidikan.
Sejak masa kolonial, Belanda mendirikan Technische Hoogeschool (ITB sekarang) yang menandai di kota ini lahir pusat ilmu pengetahuan. Kampus ini kelak melahirkan banyak ilmuwan, teknokrat, dan pemimpin bangsa.
Tak jauh dari sana, berdiri megah Vila Isola bangunan bergaya art deco yang dibangun pada 1933. Awalnya Vila Isola adalah rumah pribadi Dominique Willem Berretty, setelah kemerdekaan bangunan tersebut bertransformasi menjadi pusat pendidikan guru, lalu menjadi ikon Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Transformasi Vila Isola mencerminkan perjalanan Bandung dari kota kolonial menuju kota pendidikan, sebuah kota yang tidak hanya mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga membangun tradisi pendidikan dan berkebudayaan.
Bandung tidak berhenti pada dunia ilmu. Lingkungan yang sejuk dan ramah turut menyuburkan kreativitas budaya. Kawasan Dago, Braga, hingga Asia Afrika menjadi panggung ekspresi, tempat tradisi dan modernitas berdialog dan saling memperkaya.
Tidak ketinggalan, musik, mode, kuliner, hingga karya seniman, desainer, pelaku UMKM kreatif tumbuh berkembang difasilitasi Bandung Creative Hub. Fasilitas publik yang dikelola oleh UPTD Padepokan Seni, Kreativitas dan Kebudayaan di bawah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandung.
Tantangan Bandung hari ini adalah menjaga keseimbangan. Pertumbuhan kota dan derasnya arus urbanisasi tidak boleh menggerus ruh Bandung sebagai kota yang ramah untuk belajar dan berbudaya.
Seperti diingatkan budayawan Sunda Hawe Setiawan (2021), “Budaya setempat mesti dikelola dengan cara menjaga relevansinya dengan kehidupan universal, dengan cara ini budaya tidak akan kehilangan potensi sebagai pemberi inspirasi untuk merefleksikan diri supaya tidak punah dan lebih kreatif,”
Dengan modal alam, legenda, dan sejarah, Bandung punya kesempatan untuk menjaga keistimewaannya. Bandung harus terus menulis ceritanya, dari legenda tangkuban parahu, jejak danau purba, hingga denyut kreativitas modern. Tugas kita adalah menjaga agar cerita itu tetap hidup, membuka ruang belajar dan berkarya yang membanggakan. (*)