Menjaga Bandung di Tengah Arus Gentrifikasi

Djoko Subinarto
Ditulis oleh Djoko Subinarto diterbitkan Senin 22 Sep 2025, 13:04 WIB
Warga berwisata di Jalan Braga, Kota Bandung, Jumat 21 Februari 2025. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Kavin Faza)

Warga berwisata di Jalan Braga, Kota Bandung, Jumat 21 Februari 2025. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Kavin Faza)

TRANSFORMASI Kota Bandung tidak hanya soal perubahan bangunan, tetapi juga soal pergeseran identitas dan komunitas.

Bandung adalah kota dengan sejarah panjang sebagai ruang kreatif, pendidikan, dan sekaligus pusat budaya populer. Dari ibukota Jawa Barat ini lahir gagasan-gagasan segar, gaya hidup, dan bahkan tren nasional. 

Tetapi, kota yang semula akrab dan membumi ini kiwari mungkin terasa makin mahal dan asing bagi sebagian warganya sendiri. Kawasan Braga, Dago, hingga Cihampelas, menjadi contoh paling jelas dalam soal ini.

Dari jalan yang dulu akrab dengan pedagang kecil, kini berdiri kafe bergaya seragam dan butik modern. Pergeseran ini seolah menegaskan adanya pola di mana yang lama tumbang tatkala dihadapkan pada arus kapital.

Fenomena tersebut dikenal dengan istilah sebagai gentrifikasi. Ia adalah proses di mana modal masuk, maka harga properti meningkat, dan penduduk lama terpaksa harus angkat kaki. 

Tanda-tanda gentrifikasi bisa dikenali antara lain yaitu sewa tempat melonjak tajam, kontrak lama tak diperpanjang, serta usaha yang terdahuku kehilangan daya saing. Pada satu sisi, perubahan ini dianggap tanda “kemajuan” kota. Namun, di balik hal tersebut, ada biaya sosial yang kerap tidak masuk dalam hitungan.

Peluang keuntungan

Tentu, adalah wajar ketika investor dan pemilik modal melihat peluang keuntungan. Sebuah ruko tua, ketika direnovasi menjadi kafe dengan interior modern, langsung mengundang konsumen baru dan menaikkan nilai sewa.

Namun, bagi pedagang kecil, kenaikan nilai sewa itu ibarat hukuman yang membuat mereka harus angkat kaki dari ruang yang telah lama ditempati.

Yang hilang sesungguhnya bukan sekadar fungsi ekonomi, melainkan juga jaringan sosial. Lingkungan yang tadinya diwarnai sapaan akrab antarwarga perlahan hilang. Warung yang menjadi titik kumpul warga digantikan tempat nongkrong eksklusif yang mungkin asing bagi banyak orang.

Nilai budaya juga terkikis. Contohnya, bangunan tua yang menyimpan cerita sejarah diubah fasadnya atau dirobohkan. Identitas kawasan yang terbentuk selama puluhan tahun perlahan larut, digantikan citra “kota modern" yang lebih sesuai dengan selera wisatawan dan media sosial.

Kemampuan penghuni lama

Canary Bakery & Cafe, satu tempat yang menjadi saksi bisu perjalanan Braga menuju masa kini, meninggalkan jejak kuliner yang bertahan melewati zaman. (Sumber: Google maps/Canary Bakery & Cafe)
Canary Bakery & Cafe, satu tempat yang menjadi saksi bisu perjalanan Braga menuju masa kini, meninggalkan jejak kuliner yang bertahan melewati zaman. (Sumber: Google maps/Canary Bakery & Cafe)

Menurut Neil Smith, pakar geografi perkotaan, yang menulis sebuah artikel bertajuk Toward a Theory of Gentrification, gentrifikasi terjadi karena ada celah antara pendapatan sewa aktual dan pendapatan sewa potensial setelah investasi. Celah inilah yang mendorong investor masuk, memoles ruang, lalu menaikkan nilai sewa hingga melampaui kemampuan penghuni lama.

Dalam konteks Braga, celah itu terlihat jelas. Satu bangunan tua dengan sewa rendah dipoles, kemudian diberi sentuhan “heritage” untuk wisata, lalu harga sewanya melonjak berlipat. Pemilik usaha lama pun terpaksa menyingkir, sementara ruang baru dipasarkan untuk kelas sosial berbeda.

Dago menunjukkan wajah serupa. Lokasinya yang strategis, dekat kampus, dengan akses mudah, menarik minat developer apartemen dan kafe berkonsep. Lalu, harga sewa rumah pun naik, biaya hidup meningkat, dan mahasiswa atau warga lama harus mencari tempat lain yang lebih murah.

Cihampelas yang dulu dikenal sebagai sentra jeans lokal juga berubah drastis. Dari lorong tekstil tradisional, ia kini dipoles menjadi kawasan wisata belanja modern. Pedagang kecil dan kaki lima yang dulu jadi penopang ekonomi keluarga tersisih dari ruang yang mereka bangun.

Ironisnya, kelompok yang dulu membawa daya tarik kreatif kota justru menjadi korban. Seniman jalanan, musisi, dan pemilik kedai kecil awalnya membuat kawasan-kawasan ini hidup. Namun, begitu kawasan naik kelas, mereka tidak lagi mampu membayar harga yang ikut naik.

Dan sekarang, peran media sosial semakin mempercepat proses gentrifikasi ini. Sebuah kafe yang viral langsung mengundang arus konsumen. Dalam sekejap, tempat itu bertransformasi menjadi ruang berbayar yang lebih mementingkan estetika ketimbang kebutuhan warga sehari-hari.

Bila dilihat dari kacamata ekonomi makro, manfaat jelas terkonsentrasi pada pemilik modal. Sementara, kerugian tersebar pada banyak orang kecil yang perlahan kehilangan ruang hidup. Biaya sosial itu kerap tidak masuk perhitungan, padahal dampaknya nyata di tingkat komunitas.

Kebijakan tata ruang

Pemerintah kota sendiri berada di persimpangan sulit. Di satu sisi, mereka butuh investasi untuk menggerakkan roda ekonomi kota. Namun, di sisi lain, ada kewajiban menjaga kesejahteraan warga yang telah lebih dulu tinggal.

Kebijakan tata ruang, insentif pajak, hingga lisensi usaha sebenarnya bisa digunakan untuk mengatur hal ini. Sayangnya, ketika pilihan jatuh hanya pada soal bagaimana menarik modal, warga lama kerap menjadi pihak yang harus menanggung kerugian.

Menolak pembangunan tentu tidak realistis. Perubahan, bagaimanapun, membawa peluang baru, pekerjaan, dan fasilitas. Pertanyaan pentingnya adalah ihwal siapa yang mendapat manfaat dan siapa yang harus membayar harga dari perubahan itu.

Bandung sebagai kota kreatif seharusnya punya ruang untuk segenap warganya. Bukan hanya untuk mereka yang sanggup membayar harga tinggi, tetapi juga untuk pedagang kaki lima, warung sederhana, maupun usaha mikro.

Di sinilah pentingnya mengakui perbedaan cara pandang. Bagi investor, bangunan adalah aset finansial. Tetapi, bagi warga lama, bangunan itu adalah ruang hidup dengan cerita dan identitas yang melekat.

Kehilangan warung legendaris atau rumah produksi kecil berarti kehilangan penanda sejarah. Tanpa penanda itu, generasi berikut hanya mengenal kota lewat katalog komersial, bukan lewat cerita yang hidup.

Menjadi kota homogen

Dalam era digital yang serba visual, pengunjung kafe tak lagi hanya mencari rasa, tapi juga suasana yang bisa mereka abadikan dan bagikan. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Dalam era digital yang serba visual, pengunjung kafe tak lagi hanya mencari rasa, tapi juga suasana yang bisa mereka abadikan dan bagikan. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)

Gentrifikasi kerap menghadirkan wajah kota yang tampak rapi dan modern, Tetapi, di balik itu ada risiko besar berupa homogenisasi ekonomi. Ketika ruang-ruang kota hanya dipenuhi model bisnis seragam -- kafe hipster, butik premium, atau restoran waralaba --maka daya tahan kawasan tersebut justru melemah.

Begitu selera pasar bergeser atau tren meredup, kawasan itu bisa cepat kehilangan daya tarik, meninggalkan ruang-ruang kosong yang sulit berfungsi kembali.

Karena itu, narasi pembangunan kota seharusnya lebih jujur dalam melihat dampak gentrifikasi. Menolak perubahan jelas bukan solusi, sebab kota memang selalu bergerak.

Namun, membiarkan perubahan menghapus seluruh jejak lama juga bukan pilihan sehat. Kota yang baik adalah kota yang mampu menjaga keseimbangan, yakni memberi ruang bagi inovasi sekaligus melindungi akar sosial dan budaya yang telah lama menghidupinya.

Keseimbangan inilah yang sering kali absen dalam praktik pembangunan perkotaan. Investor dan pemerintah cenderung terbuai oleh janji pertumbuhan cepat, sementara warga lama yang sesungguhnya membentuk identitas kawasan justru tersingkir.

Padahal, tanpa keberlanjutan sosial dan kultural, pembangunan hanya menjadi fasad. Dalam artian, indah di permukaan, rapuh di dalam.

Maka, tantangannya adalah membangun kota yang bukan hanya memanjakan logika investasi, tetapi juga memberi tempat bagi keragaman sosial-ekonomi. Sebuah kota akan benar-benar tangguh bila ia mampu menampung berbagai lapisan masyarakat dari pedagang kaki lima hingga pengusaha besar, dari warga lama hingga pendatang baru.

Pada akhirnya, pembangunan Kota Bandung tidak boleh hanya dihitung dari apa saja yang hilang. Kota ini harus bisa bertumbuh tanpa harus selalu menyingkirkan yang sudah ada lebih dulu. Menjaga warisan sosial bukan sekadar romantisme masa lalu, tetapi bagian dari cara agar kota ini tetap kuat dan berkelanjutan.

Jika Bandung mampu menata perubahan dengan adil, ia bisa menjadi contoh kota yang berkembang tanpa melupakan mereka yang membuatnya hidup. Itulah cara terbaik memastikan bahwa denyut kreatif kota tidak sekadar menumbangkan hal-hal yang lama satu per satu. (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Djoko Subinarto
Penulis lepas, blogger
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Biz 12 Nov 2025, 17:37 WIB

Bandung dan Krisis Sunyi: Menyuarakan Kesadaran Kesehatan Mental di Kota Urban

Kesehatan mental yang baik berarti batin tenteram, pikiran jernih, dan emosi terkendali. Tanpa itu, aktivitas sehari-hari bisa terganggu, relasi sosial merenggang, bahkan muncul perilaku destruktif.
Kesehatan mental yang baik berarti batin tenteram, pikiran jernih, dan emosi terkendali. Tanpa itu, aktivitas sehari-hari bisa terganggu, relasi sosial merenggang, bahkan muncul perilaku destruktif. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 16:35 WIB

Ketika Panggilan 'Sayang' Hanya Bagian dari Jobdesk: Dramaturgi para Ladies Companion (LC)

Menyeruak dunia para LC yang dipenuhi stigma negatif.
Ilustrasi Ladies Companion (LC). (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Biz 12 Nov 2025, 16:21 WIB

Aroma Kopi di Bawah Tegakan, Cibulao dan Gerakan Menyulam Hutan

Pola agroforestry memberi ruang bagi pohon kopi tumbuh di bawah tegakan, menjaga kelembapan tanah, sekaligus memberi penghasilan bagi warga.
Pola agroforestry memberi ruang bagi pohon kopi tumbuh di bawah tegakan, menjaga kelembapan tanah, sekaligus memberi penghasilan bagi warga. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 16:00 WIB

Bermula Rumah Pribadi Menjadi Museum sebagai Warisan Seni yang Menginspirasi

Museum yang didirikan untuk menghormati dan melestarikan karya Srihadi yang inspiratif dalam dunia seni lukis.
Pengunjung menikmati dan mengabadikan hasil karya Srihadi, Sabtu 01 November 2025, Ciumbuleuit, Kecamatan Cicadap, Kota Bandung (Sumber: Sela Rika | Foto: Sela Rika)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 15:26 WIB

Dari Usaha Donat Rumahan hingga Berhasil Memperluas Jangkauan ke Lima Toko

Dengan mempertahankan kualitas donat setiap harinya, Pipin Donuts berhasil menjalankan bisnisnya hingga memiliki lima cabang.
Seorang customer yang mengantri untuk membeli Pipin Donuts, Cabang Sukabirus, Kabupaten Bandung, (08/11/2025) (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Asti Alya)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 15:09 WIB

ITB sebagai Wisata Teknologi Era Globalisasi - Bagian 2

Dalam paparan berikut sebagai lanjutan dari bagian ke-1 adalah rencana implementasi konkret untuk menjadikan Institut Teknologi Bandung (ITB).
ITB Jatinangor. (Sumber: Dok. ITB)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 14:50 WIB

Semangat 1955 Hidup Kembali di Kemeriahan Asia Afrika Festival 2025

Perayaan Asia Afrika Festival 2025 kembali di gelar di Kota Bandung
Suasana Perayaan Asia Afrika Festival (Foto: Desy Windayani Budi Artik)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 14:36 WIB

ACCRA, Dessert Rumahan Rasa Sultan di Bandung

Dessert rumahan dengan cita rasa sultan. ACCRA di Kota Bandung siap memanjakan lidah lewat mochi cheesecake dan tiramisu legendarisnya.
ACCRA di Kota Bandung siap memanjakan lidah lewat mochi cheesecake dan tiramisu legendarisnya. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Jelajah 12 Nov 2025, 13:34 WIB

Hikayat Kasus Reynhard Sinaga, Jejak Dosa 3,29 Terabita Predator Seksual Paling Keji dalam Sejarah Inggris

Kasus Reynhard Sinaga mengguncang dunia. Pria asal Depok itu menyimpan rahasia kelam. Di penjara Wakefield, ia menua bersama 3,29 terabita dosa yang tak bisa dikompresi.
Reynhard Sinaga.
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 12:45 WIB

Menyelami Makna di Balik Mereka(h), Wisata Rasa dan Imajinasi di Tengah Ruang Seni

Tak hanya untuk pecinta seni, Grey Art Gallery mengundang siapa pun yang ingin menikmati keindahan.
Suasana pengunjung Grey Art Gallery yang menjadi bagian dari cerita mereka yang perlahan merekah, 4 November 2025. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Mutiara Khailla Gyanissa Putri)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 11:44 WIB

West Java Festival, Konser Musik atau Acara Budaya?

West Java Festival 2025 tak lagi sekadar konser. Mengusung tema 'Gapura Panca Waluya'.
West Java Festival 2025 (Foto: Demas Reyhan Adritama)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 11:06 WIB

Burayot, Camilan Legit Khas Priangan yang Tersimpan Rahasia Kuliner Sunda

Bagi orang Sunda, burayot bukan sekadar pengisi perut. Ia adalah bagian dari kehidupan sosial.
Burayot. (Foto: Dok. Ayobandung.com)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 10:45 WIB

Tak Pernah Takut Coba Hal Baru: Saskia Nuraini Sang Pemborong 3 Piala Nasional

Saskia Nuraini An Nazwa adalah siswi berprestasi tingkat Nasional yang menginspirasi banyak temannya dengan kata-kata.
Saskia Nuraini An Nazwa, Juara 2 lomba Baca Puisi, Juara 3 lomba unjuk bakat, juara terbaik lomba menulis puisi tingkat SMA/SMK tingkat Nasional oleh Lomba Seni sastra Indonesia dengan Tema BEBAS Jakarta. (Sumber: SMK Bakti Nusantara 666)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 10:24 WIB

Bandung Macet, Udara Sesak: Bahaya Asap Kendaraan yang Kian Mengancam

Bandung yang dulu dikenal sejuk kini semakin diselimuti kabut polusi.
Kemacetan bukan sekadar gangguan lalu lintas, tapi cerminan tata kelola kota yang belum sepenuhnya adaptif terhadap lonjakan urbanisasi dan perubahan perilaku mobilitas warganya. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 09:47 WIB

Ketika Integritas Diuji

Refleksi moral atas pemeriksaan Wakil Wali Kota Bandung.
Wakil Wali Kota Bandung, Erwin. (Sumber: Pemprov Jabar)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 09:36 WIB

Perpaduan Kenyal dan Lembut dari Donat Moci Viral di Bandung

Setiap gigitan Mave Douchi terasa lembut, manisnya tidak giung, tapi tetap memanjakan lidah.
Donat mochi lembut khas Mave Douchi dengan tekstur kenyal yang jadi favorit pelanggan (Foto: Zahwa Rizkiana)
Ayo Jelajah 12 Nov 2025, 08:39 WIB

Sejarah Letusan Krakatau 1883, Kiamat Kecil yang Guncang Iklim Bumi

Sejarah letusan Krakatau 1883 yang menewaskan puluhan ribu jiwa, mengubah iklim global, dan menorehkan bab baru sejarah bumi.
Erupsi Gunung Krakatau 1883. (Sumber: Dea Picture Library)
Ayo Biz 11 Nov 2025, 21:04 WIB

Mama Inspiratif dan Perjuangan Kolektif Mengembalikan Sentuhan Nyata dalam Pengasuhan

Tak sedikit orang tua yang merasa gamang menghadapi kenyataan bahwa anak-anak kini tumbuh dalam dunia yang tak bisa lepas dari layar.
Ilustrasi. Tak sedikit orang tua yang merasa gamang menghadapi kenyataan bahwa anak-anak kini tumbuh dalam dunia yang tak bisa lepas dari layar. (Foto: Freepik)
Ayo Biz 11 Nov 2025, 18:39 WIB

Dari Studio Kecil hingga Panggung Nasional, Bandung Bangkit Lewat Nada yang Tak Pernah Padam

Bandung bukan hanya kota dengan udara sejuk dan arsitektur kolonial yang memesona tapi juga 'rahim' dari gelombang musik yang membentuk identitas Indonesia sejak era 1960-an.
Bandung bukan hanya kota dengan udara sejuk dan arsitektur kolonial yang memesona tapi juga 'rahim' dari gelombang musik yang membentuk identitas Indonesia sejak era 1960-an. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)