Ada tantangan nyata di ruang publik Bandung dimana rasa kasundaan yang kian bergeser. (Sumber: Pexels/Muhammad Endry)

Ayo Netizen

Bandung Barometer Peradaban Budaya Sunda

Rabu 24 Sep 2025, 09:12 WIB

Bandung dikenal sebagai kota kreatif, kota pendidikan, sekaligus kota yang ramah anak muda. Di balik semarak musik, fesyen, dan kuliner yang selalu trendi, ada sisi lain Bandung yang tak kalah penting yaitu museum dan bangunan heritage. Di sana, jejak peradaban tersimpan, seakan menjadi mesin waktu yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, sekaligus memberi arah untuk masa depan.

Museum Geologi menyimpan kisah bumi jutaan tahun lalu. Museum Konferensi Asia Afrika menghadirkan semangat solidaritas global dari 1955 yang masih relevan hingga kini. Museum Sri Baduga merawat narasi kebudayaan Sunda dari tradisi agraris hingga kesenian rakyat.

Museum Pendidikan Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia memberi ruang refleksi tentang perjalanan pendidikan nasional. Sementara, Museum Mandala Wangsit Siliwangi yang menampilkan koleksi militer yang menceritakan sejarah Divisi Siliwangi.

Selain itu, masih banyak museum lain di Bandung. Museum Kota Bandung, Museum Pos Indonesia, Museum Barli, Museum 3D, Museum Gedung Sate, hingga Museum Preanger yang mengoleksi artefak kolonial termasuk memorabilia tokoh Charlie Chaplin dan Amelia Earhart.

Di luar museum, Bandung juga memiliki bangunan ikonik yang ditetapkan sebagai cagar budaya, seperti Gedung Dwi Warna, Rumah Inggit Garnasih, Gedung Indonesia Menggugat, bangunan di area jalan Braga, termasuk cagar budaya Goa Jepang di Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda di Dago Pakar.

Kehadiran museum dan cagar budaya menjadikan Bandung bukan sekadar kota berbudaya, tetapi juga kota dengan ingatan kolektif yang hidup. Lebih jauh, keduanya bisa menjadi bagian dari learning journey yang terintegrasi dengan pembelajaran di sekolah, kampus, bahkan edukasi keluarga.

Siswa bisa belajar sejarah secara langsung di ruang pamer, mahasiswa bisa mengaitkan teori dengan koleksi nyata, sementara keluarga bisa menjadikannya sebagai rekreasi edukatif yang menyenangkan.

Namun, ada tantangan nyata di ruang publik Bandung dimana rasa kasundaan yang kian bergeser. Bahasa Sunda makin jarang terdengar, terutama di kalangan anak muda. Identitas budaya lokal berisiko terkikis oleh derasnya arus urbanisasi dan globalisasi. Jika tidak ada upaya serius untuk menjaga dan melestarikannya, warisan budaya Sunda bisa tinggal nama.

Di sinilah peran museum dan tradisi lokal seperti wayang golek menjadi sangat penting. Wayang golek bukan sekadar hiburan, melainkan media pembelajaran budaya dan peradaban. Cerita Mahabharata dan Ramayana yang dikemas dengan kelakar-kelakar unik keluarga Semar Badranaya yang penuh petuah moral dan nilai agamis.

Dari lakon-lakon itulah masyarakat belajar tentang keadilan, kesetiaan, kebijaksanaan, sekaligus menumbuhkan kebanggaan berkebudayaan Sunda.

Siswa mengikuti kegiatan permainan tradisional di SDN 164 Karangpawulang, Jalan Karawitan, Kota Bandung, Kamis 5 Desember 2024. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)

Permainan tradisional Sunda seperti galah asin, oray-orayan, sondah, ucing sumput, egrang, perepet jengkol, bebentengan, boy-boyan, slep dur, dan banyak lagi. Permainan itu tidak hanya menghibur dan melatih motorik keseimbangan, tetapi juga menanamkan nilai solidaritas sosial, strategi, hingga kepemimpinan.

Menghidupkan kembali permainan tradisional berarti memperkuat identitas budaya di tengah modernisasi kota, sekaligus mengembalikan ruang publik yang mendidik.

Sejarah juga membuktikan bahwa kearifan Sunda mampu melahirkan pemimpin besar. Prabu Siliwangi dihormati karena kepemimpinannya yang arif dan menekankan keselarasan dengan alam. Dewi Sartika menjadikan pendidikan sebagai jalan emansipasi.

Otto Iskandar Dinata, “Si Jalak Harupat” menunjukkan ketegasan dan keberanian dalam memperjuangkan kebenaran. Sementara K.H. Ahmad Sanusi menghadirkan wajah kepemimpinan religius yang membumi.

Selain tokoh historis, Sunda juga melahirkan tokoh imajinatif “Si Kabayan”. Sosok legendaris ini representasi dari kesederhanaan, kebersahajaan, dan keluguan orang Sunda. Dengan kelucuannya Kabayan mampu menyampaikan kritik sosial yang tajam, namun menghibur. Kabayan menjadi simbol kemampuan orang Sunda menyampaikan kebijaksanaan tidak hanya lewat ketegasan, tetapi lewat humor yang menggugah.

Jika Si Kabayan hadir dalam tokoh imajinatif, Kang Ibing (Raden Aang Kusmayatna Kusumadinata) mewujudkannya di panggung nyata. Dengan gaya humor ceplas-ceplosnya, Kang Ibing menyampaikan pesan moral dan kritik sosial tanpa kehilangan kelucuannya. Kehadiran kang Ibing membuktikan bahwa karakter Sunda yang penuh kelakar bisa terus relevan di era modern.

Pertanyaannya, siapa yang mau mempertahankan budaya Sunda selain orang Sunda itu sendiri? Kalimat retoris yang menjadi pengingat sekaligus motivasi dari penggiat budaya Sunda masa kini, Wawan “Hawe” Setiawan yang memilih kesusastraan sebagai pintu masuknya.

Hawe melanjutkan jejak peran Kang Ibing merawat bahasa, makna, dan identitas Sunda melalui tulisan agar tetap bernapas di tengah derasnya arus urbanisasi dan globalisasi.

Tokoh-tokoh nyata maupun imajinatif tersebut, membuktikan bahwa kasundaan bukan sekadar identitas kultural, melainkan fondasi kepemimpinan dan karakter sosial. Maka, melestarikan bahasa, seni, dan tradisi Sunda berarti menjaga sumber inspirasi bagi generasi mendatang.

Bandung punya posisi strategis sebagai simpul budaya, pendidikan, dan kreativitas di Jawa Barat. Apa yang berhasil dijaga dan dikembangkan di Bandung, akan menjadi barometer keberhasilan pembangunan peradaban dan budaya Sunda.

Bayangkan jika museum, permainan tradisional (kaulinan), dan wayang golek berkolaborasi dalam format modern, seni pertunjukan dalam bentuk digital interaktif, wayang hologram, atau cerita yang diadaptasi dalam game edukasi berbahasa Sunda. Dengan begitu, anak-anak muda tidak hanya mengenal Sunda dari buku teks, tetapi mengalaminya secara langsung dan menyenangkan.

Museum, cagar budaya, kaulinan, wayang golek, Si Kabayan, semua berpadu menjadi kearifan Sunda yang menjadi pijakan “Bandung Berbudaya”. Bukan sekadar slogan, melainkan arah masa depan Kota Bandung yang bermartabat. (*)

Tags:
budaya Sundapermainan tradisionalBandung

Bayu Hikmat Purwana

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor