Di tengah dunia yang semakin modern biasanya masyarakat cenderung untuk mengikuti tren yang ada. Terbukanya ruang informasi membuka peluang bertukarnya budaya antar negara. Beberapa budaya dalam seni bela diri seperti karate, judo, kung fu, muay thai dan tinju mulai digemari masyarakat Indonesia.
Silat sebagai ikonik seni bela diri di Jawa Barat memang patut untuk dilestarikan keberadaanya. Namun mencari seniman yang masih konsen dengan budaya Sunda tidaklah mudah karena minimnya regenerasi yang masih melestarikan budayanya.
Kali ini saya memiliki kesempatan untuk bertemu seniman Sunda yang sekaligus menjadi pelatih silat di paguron Gadjah Putih. Jajang Nurdiansyah, seniman kelahirkan Tasikmalaya tersebut mengaku sudah tertarik dengan dunia silat sejak berusia 15 tahun. Darah seni yang mengalir dalam dirinya dari kakek dan ayahnya yang juga turut melestarikan seni Sunda melalui silat.
Menurut penuturan Jajang, Gadjah Putih didirikan oleh K.H. Adji Djaenudin Bin H. Usman pada 20 Mei 1959 di Kp. Gegerpasang, Desa Sukarasa, Kec. Samarang, Kab. Garut. Sebelum mendirikan Gadjah Putih, K.H. Adji Djaenudin sudah terjun dalam dunia persilatan pada tahun 1927.
Dari K.H. Adji Djaenudin lahirlah paguron-paguron pelopor Gadjah Putih lainnya bernama Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka yang terdiri dari lima panel yaitu Gpmpp Layang Pusaka, Gpmpp Bintang Pusaka, Gpmpp Benteng Kutawaringin dan Gpmpp Cakra Buana yang tersebar Se-Bandung Raya.
Lahirnya sebuah organisasi tentu tidak lepas dari lambang yang menjadi identitas sebuah gerakan. Begitu juga dengan simbol Gadjah Putih yang diambil dari seekor satwa besar yang gagah berani berwarna putih yang melambangkan kesucian.
Gadjah Putih juga menjadi lambang spiritual yang diibaratkan sebagai sebuah kendaraan dan kebajikan hidup yang diridhoi oleh Allah SWT. Sementara belalai gajah menjadi lambang humanisme dengan harapan melalui kelincahannya bisa menjadi kuat dan bermanfaat demi kemaslahatan umat manusia.

Sejauh ini Jajang turut menjadi pelatih di GPMPP Putra Layang Pusaka yaitu satuan latihan yang menginduk kepada GPMPP Layang Pusaka. Putra Layang Pusaka sendiri di deklarasikan oleh ketua pusat pada 9 Februari 2008. Sementara Jajang mulai menekuni dan berkecimpung menjadi bagian Putra Layang Pusaka pada tahun 2012.
Sesi latihan silat dilaksanakan setiap hari Selasa dan Jumat dari jam 20.00-21.00 untuk remaja kemudian dilanjutkan pada jam 21.00-22.00 untuk dewasa. Sementara pada hari Minggu sesi latihan diisi dengan evaluasi dan kegiatan sharing bersama sesepuh Putra Layang Pusaka.
Sejauh ini anggota yang tercatat dalam paguron Putra Layang Pusaka berjumlah 70 orang yang terdiri dari remaja sampai dewasa. Namun yang aktif berlatih hanya berjumlah 40-45 orang karena kesibukan masing-masing anggota.
Satu hal yang menjadi disiplin dalam setiap latihan adalah semua anggota beserta pelatih tidak boleh menggunakan ponsel saat latihan agar tetap fokus. Meski demikian kekurangannya adalah minimnya dokumentasi yang bisa menjadi arsip saat latihan berlangsung.
Di tengah kesibukannya sebagai karyawan sebuah instansi, Jajang masih menyempatkan untuk melatih silat karena kecintaannya terhadap seni dan budaya Sunda juga ingin berkontribusi dalam transformasi dunia silat yang lebih mengedepankan nilai sejarah dan sisi humanisme.
Di era modern silat ternyata tidak hanya berfungsi sebagai seni dan ajang belajar bela diri tapi mampu membantu para anggota yang berusia remaja untuk menggunakan silat sebagai jalur prestasi yang bisa digunakan saat mendaftar sekolah.
Beberapa anggota silat Putra Layang Pusaka sudah merasakan manfaat tersebut dengan terbebasnya biaya pendidikan dari sertifikat yang pernah diraih saat ajang kejuaraan Pasanggiri. Adapun sekolah yang membebaskan biaya kepada anak dengan jalur prestasi seni adalah sekolah negeri. Sementara sekolah swasta memberikan pembebasan spp selama enam bulan.
Selama berkecimpung dalam paguron Gadjah Putih, Jajang sering menemui beberapa kendala diantaranya, pertama susunan pengurus paguron yang belum terstruktur dengan baik sehingga kurangnya komitmen waktu dari para pengurus dan kerja sama yang kolaboratif.
Kedua, kurangnya kemampuan regenerasi baru dari para anggota. Regenerasi dalam sebuah organisasi menjadi nafas yang penting agar pergerakan bisa terus hidup dan eksis. Namun lagi dan lagi kesibukan masing-masing dari pengurus dan anggota menjadi hambatan dalam komitmen kepengurusan.
Ketiga dari segi dana, sejauh ini keuangan Putra Layang Pusaka terhambat dari segi dana karena pelatih tidak mendapat gaji karena tidak ada pungutan biaya terkecuali ada orang tua dari anak yang berlatih yang memberi sedikit apreasiasi dengan sebutan infak.
Dalam beberapa penyelenggaran kegiatan biasanya Putra Layang Pusaka membuat proposal secara resmi ke instansi pemerintah melalui dpd dan dpc kabupaten Bandung.
Jajang punya semangat yang tinggi dalam melestarikan budaya Sunda. Di era digital dirinya tidak membatasi generasi muda untuk terlibat dengan pembelajaran teknologi namun Jajang tetap berharap bahwa generasi muda tidak melupakan budayanya.
Menurut penatarannya budaya memang harus dikenalkan dan diajarkan sejak dini. Sehingga bukan menjadi sesuatu yang berat dan bisa menjadi kebiasaan yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Karena pembelajaran yang paling baik dan membekas adalah ketika mereka masih anak-anak.