Langit Bandung cukup cerah siang itu. Belum tampak mendung yang biasa hadir di kota ini pada hari Minggu, 28 September 2025. Sorot lampu GOR Sasakawa Pajajaran memancarkan cahaya terang. Menyapa dengan kehangatan maksimal, diiringi gemuruh penonton, melengkapi suasana semarak yang merangkul kesan banyak orang.
Haikal Hilmi Achmad. Ia mulai pemanasan. Menatap tajam pada mereka yang ada di palagan. Sebentar lagi gilirannya. Ia berjalan. Memasuki ring secara perlahan. Lalu berdiri tegak, dan bersiap menghadapi lawan tangguh yang datang dari daerah lain, yang memakai kaus tanding berwarna biru.
Sekilas Haikal tampak tenang. Setidaknya begitu yang mampu dijangkau dari tribun. Dan memang cukup jelas, ditilik dari sudut mana pun. Ia memberi gestur meyakinkan, juga terlihat berbeda dari yang lainnya.
Tubuhnya relatif ramping. Bertinggi badan sekitar 165 cm dan berbobot 54 kg. Pertandingan baru saja dimulai. Tapi waktu terasa lambat. Suasana tegang. Lawan yang ada di hadapannya, Melkias Madrid Gonzales, atlet dari Kota Bogor, tiba-tiba melemparkan jab cepat. Cukup tangguh memang. Ia punya pukulan keras dan penguasaan ruang yang cermat.
Haikal menghindar. Sigap. Gerakannya penuh perhitungan. Ronde ketiga selesai. Satu pukulan hook kanan mendarat tepat di rahang. Wasit memberi aba-aba. Menghentikan pertarungan. Haikal tercatat sebagai pemenang.
Medali emas kelas 54-57 kg putra Pekan Olahraga Pelajar Daerah (Popda) Jawa Barat XIV 2025 melingkar di lehernya. Mungkin inilah hasil dari persiapan Haikal dalam menghadapi Popda Jabar. Ia telah menjalani latihan intensif. Setiap pagi di komplek Batununggal, ia berlatih fisik: interval, sprint, hingga shadow boxing.
Ada peran pelatih di sana, yang sabar mengasah teknik, mengajarkannya memanfaatkan jarak untuk mengambil poin, lalu mempertajam pukulan straight dan hook kiri. Haikal sungguh-sungguh; menjalani latihan setiap waktu, menjaga pola hidup sehat; tidak makan sembarangan selama satu bulan.
Bahkan ia juga mengatakan satu kejujuran. Rasa gugup yang sempat hinggap. Itu wajar. Sebab, nyaris selalu ada ketika ia hendak bertanding. Untungnya Haikal mampu mengatasi hal itu dengan optimis.
"Saya gak mau usaha latihan dibalas dengan kekalahan," kata Haikal, pada satu percakapan, nadanya penuh tekad.
Setelah pertandingan, Haikal bergerak ke arah tribun. Sarung tinjunya masih memenuhi kedua tangan. Keringat menetes dari dahi. Menetes ke lantai GOR yang dingin. Sorot matanya sayu. Ia tak lagi tenang seperti di tengah ring tadi.
Baginya, pelukan orang-orang terdekat lebih berarti dibanding gemuruh apa pun saat itu. Ada perjalanan cukup panjang yang dimulai dari salah satu wilayah di sekitar Rancaekek. Ia sempat pula ragu apakah tinju bisa membuatnya maju.
Namun semua itu sirna tatkala dukungan keluarga menguatkan pondasi keyakinan dalam diri. Ia menolak menyerah, mengubah keraguan menjadi api.
Dukungan Keluarga dan Pelatih
Haikal Hilmi Achmad, akrab disapa Haikal. Ia merupakan atlet sekaligus siswa kelas XII di SMAS Bina Dharma 2 Kota Bandung. Predikat itu yang kini melekat dengannya: petinju muda berusia 18 tahun. Ia lahir, tumbuh, dan berkembang, di Rancaekek, Kabupaten Bandung. Mulai jatuh cinta pada tinju sejak SMP. Kabarnya, inspirasi awal muncul dari foto ayahnya, yang dulu juga sempat menjadi atlet tinju.
"Dari sana Haikal tertarik. Keren, ya, jadi pengen juga," pikirnya saat itu.
Awalnya banyak orang ragu. Keluarga khawatir. Sebab tinju dianggap riskan, juga memberatkan. Namun Haikal terus memaksa hingga ayahnya luluh. Menyerah. Membawanya ke Paldam Boxing Camp untuk mengikuti latihan.
Ayahnya seorang pegawai kereta api. Mempunyai rutinitas yang harus menyita perhatian lebih. Namun di tengah waktu yang sibuk, ia tetap mendukung penuh. Haikal bercerita ihwal kenangan dibelikan sepatu tinju pertama, suplemen, dan alat latihan. Ini membuatnya kian membara. Membakar semangatnya untuk serius menekuni olahraga ini. Begitulah.
Keluarga kerap memberi dukungan melimpah saat Haikal mulai goyah. Ia meraih berbagai macam bentuk keistimewaan yang tak mudah didapat remaja lainnya. Bukan hanya moral. Tetapi kekuatan yang membuatnya bangkit setiap kali tenggelam.
Namun langkah Haikal tak selalu mulus. Tentu saja. Ia berkisah mengenai sejumlah tantangan yang kerap dihadapi. Ada suatu masa ketika ia mulai tidak percaya diri. Berat sekali. Ia berupaya mengatasinya secara perlahan. Tapi pasti.
Adalah dukungan dari pelatih yang tak kalah penting. Ia selalu hadir setiap hari, pagi dan sore. Bukan hanya sekadar memberi penjelasan dan arahan soal teknis dan taktis, tapi juga motivasi. Bagi Haikal, sosok Nanang Komarudin, seperti ayah kedua.
Nanang rela mengorbankan waktunya untuk melatih anak-anak didiknya, termasuk Haikal. Ia nyaris tidak pernah mengeluh, walau sedang tersandung masalah. Ia selalu memberi motivasi yang membuat anak-anak didiknya semangat, ditambah dengan candaannya yang bikin suasana latihan jadi dekat dan hangat, seperti hubungan ayah dengan anak.
Kenyataan semacam ini mengingatkan pada apa yang para ahli sebut sebagai "relatedness", kebutuhan akan hubungan emosional yang memperkuat motivasi seorang remaja. Barangkali Haikal juga telah mengerti (dan menyadari) bahwa kemenangan dimulai dari kebutuhan emosional yang terpenuhi, dari rumah.
Ketika ditanya pertandingan yang paling berkesan baginya, ia menjawab lugas: semifinal melawan Kota Bekasi. Sebab, lawannya itu dikenal dengan footwork bagus dan lincah. Haikal menerapkan strategi yang diberikan pelatih Nanang: mendaratkan jab kiri panjang berulang kali. Membuat lawan terkena pukulan telak.
"Kuncinya sabar, jangan emosi, dan dengar instruksi pelatih," ujarnya, mengenang diskusi malam hari sebelum pertandingan.

Di Balik Kemenangan
Popda Jabar bukan kompetisi biasa. Sebab diikuti 27 kota dan kabupaten yang membuat persaingan begitu ketat. Haikal sadar bahwa setiap lawan punya cerita dan usaha yang keras seperti dirinya.
“Saya respek sama mereka,” katanya. Kita tahu belaka bahwa di ring, hanya ada satu pemenang. Haikal bilang, kemenangan itu butuh lebih dari sekadar energi yang bisa ia kerahkan.
Tantangan terbesarnya juga bukan hanya lawan, tetapi juga rutinitas sehari-hari. Ia terpaksa membagi waktu sekolah dan latihan. Setelah menunaikan kewajibannya di sekolah, ia kadang langsung ke tempat latihannya itu.
"Kadang bersih-bersih dulu tempat latihan. Lalu mulai dari jam 4 sore. Selesai jam 6. Haikal pulang ke rumah jam 8, langsung istirahat. Kadang capek sama tugas-tugas sekolah yang numpuk," ungkapnya.
Ada hari-hari ketika ia bangun pagi dengan tubuh lelah. Pikirannya penuh tekanan dari sekolah. Ikhtiar keras ia coba bagi dengan kewajibannya selaku pelajar. Itu bukti tekad yang kuat, dan juga ditopang oleh dukungan keluarga dan guru-gurunya.
"Sejak awal masuk sekolah, ia juga cerita. Mengenai keseimbangan akademik dan perjalanan karirnya sebagai atlet," kata Nuran Hefta, selaku guru Haikal di sekolah.
"Ibu sering bilang, 'kalau ada orang yang ngajak ribut mending menghindar jangan diladeni'," ungkap Haikal.
Inilah yang sekaligus menunjukkan bukti dukungan orang-orang terdekatnya. Ia dianjurkan untuk fokus menjadi atlet muda. Memahami bahwa tinju bukan hanya soal menghadapi lawan. Ia harus bertahan. Menaruh perhatian ke depan.
***
Medali emas Popda Jabar adalah bentuk dari ikhtiar seorang pelajar bernama Haikal yang berupaya menggapai suatu impian lewat tinju dan buku. Ia pun enggan terlena dengan pencapaian saat ini. Berkehendak merengkuh kesuksesan serupa.
Target selanjutnya: medali emas di Pekan Olahraga Pelajar Nasional. Dengan penuh harap, ke depannya, ia ingin lebih banyak turnamen lokal di Kota Bandung. Menurutnya, itu mutlak perlu.
Demi jam terbang yang optimal. Demi masa depan yang gemilang.[*]