Suasana Kebun Seni saat ini yang satu amparan dengan Kebun Binatang (Foto: Dokumen pribadi)

Ayo Netizen

HAM Omong Kosong di Kota Kreatif: Kasus Bandung Zoo dan Hak Masyarakat atas Ruang Publik

Minggu 05 Okt 2025, 12:00 WIB

Pemerintah Kota Bandung kini terancam disomasi karena penyegelan Kebun Binatang Bandung (Bandung Zoo) yang dianggap menyalahi prosedur dan melampaui kewenangan.

Tindakan ini bukan hanya memicu konflik kepengurusan yayasan, tetapi juga berdampak luas: ratusan hewan penghuni terancam kelangsungan hidupnya, pekerja kehilangan kepastian, dan masyarakat kehilangan hak atas ruang edukatif, konservatif, serta rekreatif.

Kasus ini memperlihatkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak hanya terjadi di jalanan melalui intimidasi aparat atau ormas, tetapi juga di ruang publik yang seharusnya dijaga negara.

Sejak lama, Bandung Zoo bukan hanya tempat rekreasi murah meriah. Ia adalah ruang edukasi lingkungan bagi sekolah, mahasiswa, dan keluarga. Ia juga berfungsi sebagai ruang konservasi satwa, tempat hewan dilindungi dan dirawat agar tetap lestari. Dan di saat yang sama, Bandung Zoo adalah ruang rekreasi rakyat, tempat keluarga sederhana bisa menikmati akhir pekan tanpa biaya mahal.

Namun fungsi-fungsi itu runtuh ketika pemerintah menyegel kebun binatang di tengah konflik yayasan. Penyegelan yang diduga terkait tarik-menarik kepentingan dan isu mafia tanah ini memperlihatkan bagaimana ruang publik direduksi menjadi komoditas perebutan kekuasaan. Hasilnya jelas: akses warga terputus, satwa telantar, dan pekerja kehilangan penghidupan.

Hak Atas Tanah, Hak Atas Kota

Dalam prinsip HAM, hak atas tanah bukan hanya soal kepemilikan pribadi, tetapi bagian dari hak atas kota—hak warga untuk mengakses ruang bersama, menikmati lingkungan sehat, dan berpartisipasi dalam pembangunan.

Di Bandung, hak ini berkali-kali dilanggar. Warga miskin kota digusur demi proyek, komunitas marjinal ditekan, ruang publik diprivatisasi untuk investasi. Kasus Bandung Zoo hanyalah satu contoh paling terang: sebuah ruang yang semestinya dijaga untuk masyarakat justru dijadikan ajang rebutan kepentingan elite dan mafia tanah.

Pertanyaan mendasar pun muncul: untuk siapa Bandung dibangun? Untuk warga kota, atau hanya untuk segelintir orang yang bersembunyi di balik yayasan, aparat, dan modal besar ?

Konflik tanah di Bandung hampir selalu melibatkan aktor-aktor kekerasan: aparat yang represif, ormas yang bertindak sebagai preman legal, bahkan kelompok bayaran yang digunakan untuk menekan warga. Fungsi mereka bukan melindungi masyarakat, tetapi mengamankan kepentingan politik dan bisnis.

Pembiaran terhadap praktik ini adalah pengingkaran terhadap HAM. Kebebasan sipil—hak menyampaikan pendapat, hak berkumpul, hak menikmati ruang publik—tidak lagi dijamin. Pemerintah daerah yang membiarkan aparat dan ormas berperan sebagai penentu konflik berarti turut serta dalam pelanggaran hak warga.

Bandung Zoo saat ini sedang disegel Pemkot Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis)

Ironisnya, Bandung gencar dipromosikan sebagai kota kreatif. Tapi apa artinya kreativitas ketika ruang edukatif ditutup, ruang konservasi hancur, dan ruang rekreatif rakyat disita? Kreativitas membutuhkan kebebasan, sedangkan kebebasan tidak bisa tumbuh di atas intimidasi dan ketakutan.

Kasus Bandung Zoo menjadi simbol kontradiksi itu: Bandung tampil indah di brosur wisata, namun menutup ruang belajar, ruang konservasi, dan ruang bermain rakyat. Kreativitas tanpa penghormatan HAM hanyalah hiasan semu yang menutupi pembusukan kota.

Hak Edukatif, Konservatif, dan Rekreatif

Bandung Zoo menyingkap betapa pentingnya hak masyarakat atas ruang edukatif, konservatif, dan rekreatif:

Hak Edukatif – warga berhak belajar tentang lingkungan, satwa, dan ekosistem. Hilangnya kebun binatang berarti hilangnya ruang belajar bersama yang terjangkau.

Hak Konservatif – satwa bukan milik yayasan atau elite, tetapi bagian dari warisan ekologis yang wajib dijaga negara. Konflik kepentingan mengorbankan nyawa satwa yang mestinya dilindungi.

Hak Rekreatif – masyarakat berhak atas ruang rekreasi murah dan sehat. Penyegelan kebun binatang berarti merampas hak rakyat atas kebahagiaan sederhana.

Ketiga hak ini melekat dalam prinsip HAM: hak atas pendidikan, hak atas lingkungan, dan hak atas kesejahteraan. Pemerintah yang gagal melindungi hak-hak ini berarti gagal menunaikan kewajiban konstitusionalnya.

Kasus Bandung Zoo harus menjadi peringatan keras. Jika ingin Bandung benar-benar menjadi kota berbasis HAM, maka pemerintah daerah wajib:

Menghormati hak atas tanah dan ruang publik, terutama yang bersifat edukatif, konservatif, dan rekreatif.

Menjamin kebebasan sipil, sehingga masyarakat dapat bersuara tanpa intimidasi.

Mengendalikan aparat dan ormas, agar tidak lagi menjadi aktor kekerasan.

Mengembalikan fungsi Bandung Zoo sebagai ruang publik rakyat, bukan arena konflik elite.

HAM bukan slogan di baliho atau pidato. HAM adalah praktik nyata: hadir di ruang publik, di jalanan kota, di kampung-kampung yang terancam gusur, di kebun binatang yang kini disegel. Tanpa langkah nyata, Bandung hanya akan dikenal sebagai kota yang indah di mata turis, tetapi kejam terhadap warganya sendiri.

HAM omong kosong tidak akan pernah bisa menyelamatkan satwa, pekerja, atau warga kota. Bandung hanya akan pantas disebut kota kreatif jika warganya benar-benar dilindungi haknya. (*)

Tags:
HAMKota KreatifBandung Zoohak masyarakatruang publik

Abah Omtris

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor