Nebeng hotspot disaat kondisi darurat memang tidak masalah. Namun jika kamu melakukan secara terus-menerus dengan berharap orang lain memaklumi dan terus membantu kamu itu namanya tidak tahu diri. (Sumber: Freepik)

Ayo Netizen

'Nebeng Hotspot' saat Pembayaran Digital

Kamis 09 Okt 2025, 09:55 WIB

Kemajuan teknologi turut serta dalam merubah budaya masyarakat dalam ranah apapun. Tak terkecuali saat melakukan transaksi digital. Bahkan pembayaran digital tak hanya mempermudah akses pembayaran tapi juga sudah menjadi gaya hidup masyarakat modern yang merasa bahwa 'pembayaran digital' menunjukkan status sosial seseorang.

Mengapa saya nyatakan demikian? karena masih ada masyarakat yang hanya berbelanja Rp. 3000-10.000 dengan menggunakan uang digital. Melihat kasus ini banyak beberapa kemungkinan yang menjadi alasannya.

Pertama, mungkin seseorang itu menyimpan seluruh keuangannya dalam bentuk uang digital sehingga dengan adanya Qris mempermudah melakukan pembayaran. Sebetulnya hal ini bukan masalah besar hanya saja seringkali beberapa customer jadi merepotkan karyawan suatu outlet. Terlebih semua outlet belum sepenuhnya menyediakan pembayaran cashless.

Masalahnya ketika sudah dibantu oleh karyawan melakukan pembayaran tunai, di kemudian hari customer yang bersangkutan melakukan hal yang sama dan berharap mendapat bantuan karyawan itu kembali. Padahal seharusnya customer menyadari bahwa outlet yang bersangkutan hanya menerima pembayaran tunai maka dari itu kesadaran secara penuh harus menjadi pertimbangan.

Kedua, customer yang malas mengambil atau mencari uang tunai. Kejadian ini baru saja saya lihat dari salah satu postingan orang random di tiktok. Akun tersebut menceritakan kekecewaannya terhadap sebuah resto dan meminta saran kepada netizen apakah dirinya layak memberikan rating jelek di google review. Berharap disambut baik oleh netizen ternyata akun tersebut lebih banyak mendapat hujatan ketimbang pembelaan.

Dalam narasi yang disampaikannya, akun tersebut menyatakan bahwa dirinya sadar hanya memiliki uang tunai sebesar Rp.40.000. Menurut pengakuannya sebagai pelanggan tetap dirinya tahu bahwa outlet yang bersangkutan tidak menyediakan pembayaran non-tunai.

Namun dirinya tetap memaksakan order di atas kemampuan uang tunai yang dimilikinya dengan alasan sebelumnya ada karyawan yang membantu dirinya untuk membayarkan dengan sistem barter antara uang tunai dan uang non tunai.

Bukannya mencari ATM terdekat untuk menambah kekurangannya atau minimal merogoh tas dalam-dalam barangkali ada uang yang terselip. Dirinya lebih memilih jalan pintas untuk kembali melakukan pembayaran secara non-tunai dengan meminta tolong kepada karyawan yang sebelumnya membantu dirinya.

Menurut saya ini menjadi kurang etis karena sudah termasuk menyalahgunakan kebaikan orang lain.

Selanjutnya masih dengan akun yang sama, selain customer tersebut meminta barter uang, dirinya juga meminta hotspot kepada karyawan yang bersangkutan di saat jam ramai pengunjung. Karyawan yang merasa tidak enakan meminta customer itu menunggu karena dirinya masih membuat pesanan orang lain.

Masalahnya bukan di uang elektronik, namun ada di kita. (Sumber: Pexels/Nicola Barts)

Sementara seseorang yang diduga customer sebagai owner berkata demikian, "Mba lain kali jangan dibiasakan ya, besok-besok jangan kaya gitu lagi, bikin ribet karyawan soalnya".

Saya pikir wajar owner berkata demikian karena customer tersebut sudah dua kali melakukan hal tersebut. Padahal dirinya sadar bahwa outlet tersebut tidak menyediakan pembayaran non tunai dan masih ngotot untuk belanja di atas kemampuan uang tunai yang dimilikinya.

Kondisi ini diperparah dengan customer tersebut meminta hotspot kepada salah satu karyawan yang sudah menolong sebelumnya dan customer tersebut berharap bisa mendapat pertolongan untuk kedua kalinya karena tidak mau merepotkan dirinya sendiri dengan menarik uang tunai di atm terdekat sebelum memesan makanan.

Betul, pelanggan adalah raja tapi sebagai raja juga mesti bijak dan paham aturan yang diberlakukan oleh suatu outlet. Jangan karena pelanggan adalah raja kemudian merasa layak bisa berlaku semena-mena.

Pembayaran secara tunai maupun non-tunai adalah hak customer hanya saja menyediakan akses untuk terhubungnya sebuah pembayaran tidak selalu menjadi kewajiban pemilik outlet. Jangan karena hal-hal yang kita anggap sepele kemudian di normalisasi dan merasa tindakan yang dilakukan benar tanpa memperdulikan nilai etika.

Jika kamu pengguna wifi di rumah tetap usahakan meliliki data selular seminimal mungkin 2GB untuk membantu akses kamu terhubung dengan dunia digital. Jangan hanya ponsel kamu yang mewah dan dianggap punya status sosial di masyarakat tapi urusan data selular saja yang harganya paling murah Rp.10.000 kamu tidak sanggup menyediakannya.

Istilahnya percuma ponsel mahal jika kuota saja kamu minta-minta kepada orang lain yang menggunakan ponsel android, yang seringnya kamu remehkan status sosialnya berdasarkan merk ponsel yang dimiliki.

Memiliki kuota untuk menyalakan data selularjuga membantu kamu jika sedang berada dalam kondisi darurat yang tidak diinginkan, misalnya diculik, dirampok atau tindakan kriminal yang lainnya. Apakah saat hal-hal menakutkan itu terjadi, kamu masih punya kesempatan untuk meminta bantuan orang lain memberikan hotspot kepada kamu?

Di dunia serba digital ini kita juga harus tetap punya kesadaran bahwa kondisi di masyarakat belum sepenuhnya menyediakan fasilitas pembayaran secara digital. Maka menyimpan uang minimal Rp.100.000 di dompet menjadi kewajiban untuk meminimalisir kejadian yang tidak diinginkan.

Tidak selamanya pembayaran non tunai lancar, bisa saja ada kendala jaringan, erornya aplikasi dan belum meratanya pembayaran digital di semua outlet yang kamu kunjungi. Jangan sampai karena tidak ada uang tunai kita jadi merepotkan orang lain.

Hal-hal yang sering kamu anggap sepele justru terkadang merepotkan orang lain. Tetap bijak dan pahami batasan-batasan orang lain yang perlu kamu hargai. (*)

Tags:
hotspotpembayaran digital

Dias Ashari

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor