Bandung selalu punya cara tersendiri untuk menumbuhkan semangat belajar. Kota ini bak mega kampus yang tak pernah tidur. Mulai dari co-working space, warung kopi, hingga taman kampus, selalu ada wajah-wajah muda menatap layar laptop, menulis catatan, atau sekadar berdiskusi santai.
Tapi di balik semua itu, ada pertanyaan yang kadang muncul diam-diam: apakah mereka sedang belajar, atau hanya sedang sibuk?
Di era yang serba cepat, belajar sering jadi rutinitas, dari bangun pagi, ikut kuliah, ngerjain tugas, lalu tidur dengan pikiran penuh deadline. Banyak mahasiswa mulai bertanya, setelah semua ini, akan jadi apa? Di luar sana, lowongan kerja terasa seperti pintu kecil yang dijaga banyak syarat. Kadang bukan soal kemampuan, tapi koneksi dan keberuntungan.
Dunia kerja yang dulu menjanjikan stabilitas kini berubah jadi dunia proyek, freelance, dan ketidakpastian. Maka belajar bukan lagi persiapan menuju satu profesi, tapi latihan agar bisa terus relevan, fleksibel, dan punya prinsip. Generasi Z hidup di persimpangan, mereka punya akses tanpa batas, tetapi juga dibebani ekspektasi tanpa henti.
Di situlah belajar yang sesungguhnya dimulai. Esensi belajar bukan terletak pada jadwal, tapi pada kesadaran untuk tumbuh. Belajar kini bukan soal menghafal teori atau mengejar nilai, tapi melatih daya tahan di tengah ketidakpastian. Kadang terasa lelah, merasa semua usaha sia-sia. Tapi ingat belajar itu bukan jadwal, melainkan laku hidup.
Dalam budaya Sunda dikenal tiga kata penuh makna, yaitu: ngaji, ngulik, jeung ngabdi. “Ngaji” bukan hanya membaca kitab, tapi membaca diri. “Ngulik “bukan sekadar riset, tapi menggali makna (literasi numerasi) dari angka dan fakta. Dan “ngabdi” (mengabdi) adalah puncak dari ilmu, ketika pengetahuan menjelma menjadi manfaat.
Kebiasaan Gen Z sering kali dianggap remeh, seperti: scrolling TikTok, bikin konten, nongkrong di kafe, sementara notifikasi tak pernah berhenti seolah mengisyaratkan dunia maya lebih sibuk daripada ruang kelas. Tapi di balik itu sebenarnya ada potensi besar kreativitas, adaptasi cepat, dan kemampuan membaca tren. Hanya saja, semua itu butuh arah.
Seperti pesan Ki Hadjar Dewantara, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah”. Kini setiap layar gawai bisa jadi ruang belajar, asal tahu cara memaknainya untuk memilah mana yang sekadar tren, dan mana yang tumbuh menjadi nilai.
Dari situlah kita belajar menghadapi hidup, sekaligus menguji ketekunan. Belajar tidak lagi terbatas di ruang kampus, belajar bisa lahir dari proyek kecil, atau dari percakapan dengan teman. Kadang, satu percakapan bermakna dengan teman, bisa lebih membuka wawasan daripada setumpuk slide presentasi.
Di Bandung, semangat belajar yang diwariskan Ki Hadjar Dewantara menemukan bentuk nyata, Pemerintah kota tidak membiarkan semangat belajar tumbuh sendiri, karena belajar adalah ekosistem, bukan sekedar urusan kampus, Bandung menyiapkan berbagai ruang publik sebagai ruang belajar terbuka, tempat siapa pun bisa belajar dan berekspresi.

Taman-taman kota, taman bacaan di sudut-sudut jalan, Wifi publik gratis, program literasi dan creative hub, co-working space, dan ruang-ruang komunitas didesain menjadi titik pertemuan antara ide, teknologi, dan kolaborasi.
Dan kini, di bulan-bulan menjelang wisuda, banyak mahasiswa kembali menatap perjalanan mereka sendiri. Jaket almamater yang mulai pudar warnanya menyimpan begitu banyak cerita, tawa, lembur, dan romantika anak muda. Tiba-tiba jaket itu terasa lebih berat. Di antara toga dan bunga ucapan, terselip rasa haru sekaligus cemas, setelah ini, ke mana langkah mau dibawa?
Bagi sebagian orang mungkin wisuda bukan akhir, tapi babak baru dari proses belajar yang sesungguhnya. di mana teori diuji oleh kenyataan, dan idealisme bertemu dengan realitas.
Dunia kerja tak hanya mencari orang pintar, tapi orang yang mau terus belajar, bahkan saat keadaan sulit. Belajar bukan lagi persiapan menuju satu profesi, tapi latihan agar kita bisa terus relevan, fleksibel, dan membentuk karakter yang tahan banting. Jadi tak apa jika lelah datang tanpa alasan, atau arah hidup terasa kabur.
Tak perlu memaksakan diri belajar sepuluh jam sehari, cukup mulai dari sepuluh menit yang konsisten. Karena semangat belajar bukan diukur dari lamanya waktu, tapi dari keberanian untuk memulai walau hati sedang ragu. Jadi, tetaplah belajar dengan cara dan ritmemu sendiri.
Lebih jauh lagi, belajar juga soal keberanian bersuara. Mahasiswa bukan hanya pewaris ilmu, tapi juga penjaga nurani. Di tengah isu sosial dan lingkungan, semangat belajar harus disertai keberpihakan, siapa yang kita bela, apa yang kita perjuangkan, dan mengapa kita perlu berarti ilmu bagi banyak orang.
Pada akhirnya, belajar bukan sekadar mengejar gelar atau IPK tinggi. Belajar adalah perjalanan menjadi manusia yang lebih peka, sabar, dan bijak. Jadi, kalau hari ini kamu merasa jenuh, lelah, atau bahkan bingung mau mulai dari mana, tenang saja. Itu tandanya kamu sedang berada di jalan pulang yang sebenarnya. Belajar, tumbuh, dan menjadi. (*)