Kliwon dikenal sebagai pasaran hari yang penuh energi spiritual dan kekuatan mistis yang tinggi terutama ketika bertepatan dengan malam Jumat. Dimensi dunia dan gaib terasa lebih dekat sehingga dapat dipercaya, kliwon memiliki makna “kasih” dan melambangkan sikap “berdiri”.
Meskipun sesuatu yang telah terjadi tidak ada bukti secara ilmiahnya, akan tetapi kepercayaan tentang kliwon menjadi bagian penting dari kekayaan budaya dan tradisi.
Malam jumat kliwon menjadi sebuah cerita mistis, ketika susunan batu yang tersusun di atas ancak berongga secara tiba-tiba berbunyi dengan penuh irama layaknya seorang nayaga yang telah bermusyawarah untuk menyepakati sebuah instrumen.
Suara-suara tentramnya menggabungkan elemen bunyi alam semesta, memberi sumbangsih apa adanya. Sumbangsih nyata yang terkadang tidak bisa dianalogikan oleh pikiran manusia biasa, memang terasa sulit untuk disampaikan, dan ada juga yang menganggap bahwa cerita tentang kliwon sebagai komposisi intrumen adalah fiktif.
Sebagai seorang Nayaga Sorawatu awalnya terasa berat dan merinding ketika menerapkan komposisi kliwon, karena kekuatan energi gaibnya yang cukup kuat. Meskipun begitu semesta telah merestui keinginan besar Nayaga dalam merilis sebuah komposisi istrimunen yang beragam.
Setiap kali komposisi kliwon dimainkan makhluk gaib itu selalu menyambut dan menikmati iringan lirih, sambil tersenyum, tertawa di bawah pohon. Meskipun ada rasa takut yang terus terngiang, semistis apapun seluruh semesta adalah ciptaan Tuhan bahwa gaib tidak selamanya diasumsikan dalam konteks kejahatan atau sekadar menakut-nakuti.
Menyepakati Kliwon sebagai Komposisi
Tentu untuk menyepakati sebuah komposisi ada musyawarah mufakat yang terdiri dari beberapa instrumen, menyepakati kliwon sebagai komposisi seorang nayaga harus memberikan sumbangsih tempo, dan bridge (jembatan) untuk menghubungkan variasi dan kedalaman emosional antar nayaga.
Semua nayaga mempraktekan suara-suara yang dihasilkan pada malam jumat itu di atas ancak untuk menyamakan bunyi dalam keselarasan.
Komposisi kliwon disepakati sebagai proses mengheningkan cipta pada semesta, dalam hal ini memberikan sebuah getaran. Getaran-getaran itu terus bergelombang, melahirkan bunyi yang terkadang rendah, dan bisa juga menjadi tinggi disebut sebagai intonasi.
Sebuah khazanah terus bergerak tanpa henti, sebagai Nayaga memang harus mengucapkan kata terima kasih pada semesta yang menyumbang berbagai elemen bunyi, begitu murni.
Kliwon sering kali dijadikan hari baik untuk berdzikir, sorawatu sendiri pun sama. Nayaga secara sadar atau tidak sadar pasti menundukkan kepala di hadapan ancak sebagai doa atau suluk ketika komposisi kliwon dimainkan. Kliwon sebagai penghormatan melalui sebuah ilham yang tercurahkan pada setiap insan yang merasakan, memberikan energi hingga memberikan rezeki tanpa henti, terus mengalir seperti mata air.
Kliwon adalah ketentraman jiwa yang hendak menerima sebuah pesan dari setiap alunan melalui ketukan, gesekan pada elemen-elemen suara alam. Siapapun yang hendak menikmati komposisi kliwon dengan tenang, dapat dipastikan akan merasakan hal yang serupa, dan bertanya mengenai makna.
Setiap Nayaga pun akan memiliki berbagai perspektif yang berbeda mengenai komposisi kliwon ini, tidak sama tapi konteksnya tetap memberikan sebuah pemahaman mengenai komposisi kliwon sebagai komposisi instrumen secara kompleks dan universal.
Baca Juga: Enam Akar Asal-usul Agama
Kliwon dijadikan sebagai komposisi pertama karena diperuntukkan sebagai pembuka, sebelumnya ada juga komposisi intrumen yang sudah lahir lebih awal sebelum komposisi kliwon tercipta yaitu “Samara Watu” komposisi ini tercipta sangatlah klasik dan kalem.
Samara watu tercipta sangatlah klasik bisa dibilang cukup wajar karena Nayaga masih dalam proses belajar, sebenarnya komposisi kliwon itu sebagai komposisi kedua yang seharusnya dimainkan, akan tetapi melihat sisi dari sebuah kisah komposisi kliwon itu tercipta maka seluruh Nayaga sepakat untuk menjadikan kliwon sebagai komposisi pertama yang juga pernah dikaloborasikan dengan Puisi dan Rajah. (*)