Kampanye pakai sarung dengan fashion show di jalanan yang dilakukan oleh pecinta budaya di Semarang. Diperingati 3 Maret, sarung punya sejarah panjang. (Sumber: Ayo Semarang.com | Foto: Audrian Firhannusa)

Ayo Netizen

Hikayat Kaum Sarungan

Kamis 23 Okt 2025, 11:31 WIB

Pagi yang mendung menyelimuti daerah Cibiru Bandung coret dan sekitarnya. Jalanan tampak becek, genangan air sisa hujan semalam masih terlihat di sudut-sudut jalan.

Dengan langkah hati-hati, saat berjalan sambil sedikit mengangkat sarung agar tak terpercik lumpur.

Tiba-tiba, seorang tetangga menegur sambil tersenyum, “Waduh, pakai sarung, koko mau ke mana Pa?”

Kujawab singkat, “Muhun, damel!”

Ya, hari ini bukan hari biasa. Rabu pagi (22/10/2025), seluruh sivitas akademika UIN Sunan Gunung Djati Bandung berkumpul di Lapangan Taman Kujang, depan Gedung Anwar Musaddad, untuk melaksanakan Upacara Hari Santri 2025.

Sejak pukul 06.00, suasana kampus tampak menggeliat dan hidup apa adanya. Tampak lautan manusia. Kaum Adam dengan sarung dan koko putih. Kaum Hawa dengan busana muslimah berwarna lembut dan berkerudung hitam.

Tentunya membawa semangat santri berdatangan dari berbagai penjuru kampus. Mereka menyemut menuju lapangan utama kampus perjuangan, menyatu dalam barisan panjang yang rapi untuk mengikuti apel Hari Santri 2025.

Ada yang berbeda dari upacara kali ini. Semua peserta laki-laki kompak mengenakan samping dan songkok, para perempuan tampil anggun dengan busana muslimah dan berkerudung hitam. Suasana religius dan khidmat terasa sejak pukul 07.30 pagi saat apel dimulai.

Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung Rosihon Anwar bertindak sebagai inspektur upacara. Dalam amanatnya, guru besar ilmu tafsir ini membacakan sambutan Menteri Agama RI Nasaruddin Umar, yang bertajuk “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia.”

Tema ini menjadi pengingat bahwa semangat santri tidak berhenti di pesantren, melainkan harus terus hidup dan bergerak, menjaga kemerdekaan, sekaligus membawa nilai-nilai keislaman menuju peradaban yang lebih maju dan berkeadaban.

Setelah amanat selesai, suasana semakin khidmat ketika lagu “Hari Santri” berkumandang. Para peserta mengangkat kepala dengan bangga, ya sebagian ikut melantunkan bait-baitnya dengan penuh semangat.

Upacara ditutup dengan doa bersama, memohon agar semangat santri terus terpelihara, terjaga, terawat dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa, bernegara, beragama dan bermasyarakat.

Kaka Fia, Anak Pertama Kelas 4 bersama santriwan Pondok Pesantren Al-Kamil melakukan foto bersama sebelum mengikuti Upacara Hari Santri 2025 di Masjid Raya Al-A'zhom Kota Tangerang, Rabu (22/10/2025). (Sumber: Grup WhatsApp Orangtua | Foto: Istimewa)

Filosofi Santri

Ingat, salah satu kekhasan Islam Indonesia yang tidak ada di belahan dunia lain adalah kaum santri, kaum sarungan. Ini bukan semata karena tiap tahun lebih dari empat juta anak belajar di pesantren dan lebih dari enam juta lainnya belajar di Madrasah Diniyah yang rerata menjadi bagian dari pesantren, tetapi lantaran santri adalah identitas yang akan terus dibawa dan dibela sampai mati.

Santri, pada prinsipnya adalah para sarjana yang bukan "non formal", tetapi memang sengaja menolak formalitas dan apalagi formalisme menara gading. Meraka adalah kaum terpelajar yang sederhana dan bersahaja, rela membaur mengabdi tanpa embel-embel apa pun di tengah masyarakat pedesaan dan pedalaman.

Sebuah fakta mencengangkan mengingat para sarjana lulusan perguruan tinggi bonafid biasanya enggan pulang kampung dan membangun desa. Dalam filsafat Jawa disebutkan urip kuwi urup, urip kuwi urap (hidup itu menyala dan bercahaya, hidup itu membaur dan bermasyarakat).

Falsafah ini santri banget! Dari 27.000 desa yang terhampar di seluruh Nusantara, nyaris selalu santri mengambil peranan penting terutama dalam pendidikan agama dan pembentukan karakter, melestarikan kebudayaan dan tradisi, menggeluti sektor pertanian, peternakan, perekonomian mikro, kecil dan menengah, termasuk sektor paling vital, dalam menjaga kerukunan umat beragama dan kedaulatan NKRI.

Bukankah kebanyakan kaum terpelajar non-santri (terutama para politisi) hanya berwacana, beretorika, dan membual ke sana kemari soal kedaulatan. Padahal mereka merampok dan menjual tanah airnya sendiri?

Sejumlah siswa kelas 1-6 di MI Al-Mujtahidin, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, saat ikuti lomba cerdas cermat, pidato, mewarnai, kaligrafi dan fashion show, Selasa 22 Oktober 2024, dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 2024 yang mengambil tema Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Santri tidak perlu diajak bicara perihal wawasan kebangsaan dan kerukunan, mengapa? Karena, ketika wawasan itu baru diseminarkan di perguruan tinggi dan masyarakat perkotaan, kaum santri telah menerapkannya selama berabad-abad. Mau tahu buktinya?

Gus Dur adalah produk pesantren yang paling autentik. Kurikulum pesantren mengalahkan kurikulum universitas tertua di dunia, Al-Azhar. Sebab, begitu Gus Dur hendak kuliah di sana, ternyata semua mata kuliah di fakultas Dirasah Islamiyah sudah diajarkan di pesantren klasik di Indonesia. Nah, pernyataan lucunya kemudian, kalau kurikulum pesantren klasik saja sudah setara universitas Al-Azhar, mengapa negara tidak mau adopsi kurikulum itu?

Soal kerukunan umat beragama dan multikulturalisme? Kaum santri tidak ada yang intoleran dan radikal, karena pesantren klasik khususnya lebih menomorsatukan moral (tarbiyyah) dari pada sisi intelektual (taʼlim).

Soal narkoba dan terorisme? Pesantren malah sejak awal paling anti merusak generasi muda dengan dalih apa pun, maka, penyuluhan narkoba di pesantren sangat tidak berguna. Soal keamanan dan keutuhan bangsa?

Meski negara tak pernah hadir, santri tetap membela Sabang-Merauke ini sampai jasad ke liang lahat. Tanpa negara dan kemanusiaan memanggil pun, kaum sarungan telah terpanggil dan bahu-membahu merebut kemerdekaan dengan keringat, darah, air mata, dan doa.

Tidak ada yang lebih berani menyambung nyawa melawan kekejaman penjajah selain santri. Setelah kemerdekaan, khususnya ketika Orde Baru mempersempit ruang gerak santri dan pesantren, setelah penguasa melakukan kanalisasi untuk memperkecil peranan santri, mereka tetap bertahan dengan prinsip dan falsafah hidup mereka. Apa itu?

Sin artinya Salik ilal-Akhirah (menempuh jalan spiritual menuju akhirat). Santri meyakini bahwa sejarah manusia bukan di bumi, kerajaan manusia bukan di dunia, tapi di akhirat. Walhasil, apa pun yang ditempuh dan diperjuangkan santri, semata demi kebahagiaan dan kejayaan di akhirat kelak.

Kaka Fia, Anak Pertama Kelas 4 bersama santriwan dan santriwati Pondok Pesantren Al-Kamil melakukan foto bersama setelah mengikuti Upacara Hari Santri 2025 di Masjid Raya Al-A'zhom Kota Tangerang, Rabu (22/10/2025). (Sumber: Grup WhatsApp Orangtua | Foto: Istimewa)

Tidak penting popularitas dan menjadi pusat perhatian di bumi, yang penting di langit punya bendera. Oleh karena itu, santri lebih memilih jalan sunyi daripada publisitas. Maka, filosofi pertama dari kaum sarungan adalah jelas orientasi hidupnya, tidak zigzag dan miring. Bukankah penyakit dan petaka manusia modern adalah menjalani hidup yang tak jelas tujuan dan orientasinya?

Nun maknanya Na-ib 'anil-Masyayikh (penerus para guru). Filosofi yang kedua adalah kaderisasi yang dilakukan oleh para kiai agar santri mereka kelak menjadi penerus estafet perjuangan para guru dan leluhur. Tidak ada yang mengungguli pada santri dalam mengagungkan dan memuliakan guru.

Ta' maksudnya adalah Tarik 'anil-Ma'ashi (meninggalkan maksiat). Dengan demikian, filosofi yang ketiga kaum santri adalah selalu bertobat melakukan penyucian rohani dengan cara menjalani hidup sederhana dan menjauhi dosa-dosa.

Dosa-dosa apa sajakah yang dijauhi oleh santri? Pertama, Dosa intelektual, yakni kebodohan dan atau memperjualbelikan ilmu dan agama;

Kedua, Dosa sosial, dalam arti tidak peduli dan peka pada lingkungan, baik dengan cara mendidik dan terlibat dalam perjuangan masyarakat kecil. Maksiat jenis ini sangat dijauhi oleh santri karena santri memang rakyat, jadi, istilah "merakyat" seharusnya diperuntukkan bagi pejabat yang lupa darat;

Ketiga, Dosa spiritual, dosa karena tidak menjalani hidup asketik (zuhud), sederhana dan bersahaja, menjauhi gemerlap, pukau, pesona dan tipu daya, terutama ancaman dari dunia politik yang kerap membuat sebagian oknum kiai dan santri tergiur.

Ra' akronim dari Raghib ilal-Khayr (selalu menghasrati kebaikan). Filosofi yang keempat ini kian mempertegas posisi santri sebagai pribadi yang lebih menomorsatukan kebaikan daripada keburukan, kesenjangan, perselisihan, dan negativitas. Menyampaikan kebenaran itu penting, tapi jangan abaikan aspek dan cara-cara yang baik dan santun.

Lazimnya, orang bukan tidak menerima kebenaran, tetapi lebih karena kebenaran itu dibungkus dengan tidak baik. Jelas bahwa santri dan pesantren sangat memuliakan dan memanusiakan manusia, mengapa? Karena yang baik dalam pandangan manusia, Tuhan pun melihatnya demikian.

Ya' adalah singkatan dari Yarjus-Salamah (optimis terhadap keselamatan). Filosofi kelima dari santri adalah selalu optimis menjalani hidup dan mengharap keselamatan di dunia pun lebih-lebih kelak di akhirat. Santri tak sekadar optimis dalam pikiran, tetapi optimisme yang dibarengi dengan tindakan nyata. Apa sebab?

Teramat banyak kegagalan umat manusia karena bertindak tanpa berpikir dan atau sebaliknya berpikir tanpa bertindak. Nah, mengapa penting menjadi orang yang selamat?

Kiranya tak perlu dipaparkan lagi betapa ilmu, jabatan, harta-benda, dan popularitas justru mencelakakan manusia. Kabar baiknya, pesantren telah mewanti-wanti para santri untuk mewaspadai hal ini.

Meski kita tidak pernah belajar secara resmi di pesantren. jika memiliki kelima prinsip tersebut dan sungguh-sungguh, yakini dan hayati untuk kemudian diterapkan dalam keseharian, maka kita semuanya termasuk dalam bagian santri. (Ach. Dhofir Zuhry, 2018:3-8).

Pengibaran bendera merah putih saat upacara Hari Santri 2025 di Taman Kujang, depan Gedung Anwar Musaddad UIN Sunan Gunung Djati Bandung Kampus I, Rabu (22/10/2025). (Sumber: www.uinsgd.ac.id | Foto: Humas)

Jadi Spirit Nasionalisme

Sarung telah menjadi semacam identitas bagi kalangan santri, di dunia pesantren, santri dalam melakukan aktivitasnya selalu memakai sarung terlebih dalam kegiatan pengajian. Ada yang mengatakan bahwa kata sarung berasal dari kata "syar"" artinya syariat, dalam hal ini adalah syariat (aturan Islam), dari kata syar'i tersebut bentuk masdarnya adalah syarun dan akhirnya menjadi kata sarung.

Dalam beberapa catatan informasi bahwa sarung dibawa dan diperkenalkan di Nusantara adalah melalui saudagar atau pedagang yang berasal dari Arab dan Gujarat India, komunitas pedagang muslim tersebut adalah komunitas yang membawa dan menyebarkan Islam di Indonesia sambil berdagang.

Namun ada catatan literatur yang menyebutkan bahwa sarung berasal dari negeri Yaman, di Yaman sendiri sarung disebut dengan futah. Sebagian para ahli juga menyebutkan bahwa sarung berasal dari kebudayaan ajaran budhisme.

Terlepas dari berbagai asumsi mengenai asal-muasal sarung, yang jelas bagi kalangan muslim tradisional, sarung telah melekat begitu lama dalam tradisi, kebudayaan bahkan peradaban Islam di Indonesia.

Salah satu elemen paling menonjol dari Islam tradisional di Indonesia yang erat memakai sarung atau disebut kaum sarungan adalah santri. Pada masa penjajahan di Indonesia baik kolonialisme dan imperialisme Belanda ataupun Jepang, sarung merupakan simbol dari gerakan perlawanan kaum santri.

Pemimpin keagamaan namun juga sebagai sosok pemimpin dalam perlawanan kepada penjajah dan pesantren sebagai markas dalam menyusun strategi perlawanan tersebut. Kyai, santri dan pesantren merupakan semacam banteng aqidah umat Islam dalam menyelamatkan umat dan generasi ke depan dari invasi dan misi agama yang dilakukan oleh penjajah.

Kyai, santri dan pesantren merupakan banteng bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia untuk terbebas dari invasi politik dan ekonomi kaum penjajah yang nyata-nyata telah melahirkan penderitaan bagi rakyat Indonesia.

Nasionalisme santri adalah mereka yang mempunyai kesadaran bahwa mereka hidup menghirup oksigen di udara Indonesia, mereka hidup meminum air di airnya Indonesia, mereka hidup dan beraktivitas di atas tanah, tanah Indonesia, mereka akan mati diselimuti dengan tanah Indonesia yang sejuk. Inilah konsep tanah air nasionalisme seorang santri.

Dengan demikian, nasionalisme santri pada hari ini bukan perang melawan penjajah, nasionalisme santri hari ini adalah perang melawan kebodohan dan kemiskinan, umat Islam lebih-lebih santri harus memiliki dan menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan sains, ilmu agama Islam harus menjadi basic utama dalam tubuh santri, ilmu pengetahuan dan sains harus menjadi keutamaan santri dalam upaya bersaing dengan bangsa barat.

Santri harus melawan kemiskinan, karena dengan kemiskinan iman umat Islam akan gampang goyah, maka dengan mengembangkan ekonomi umat, Islam akan jaya, santri akan menjadi simbol peradaban kejayaan Islam di Indonesia, kejayaan Islam akan lahir dan terbit dari sebelah timur yaitu Indonesia dan santri adalah stakeholder-nya. (Andri Nurjaman, 2022:67-70).

Presiden Prabowo setujui pembentukan Ditjen Pesantren di Kemenag, kado Hari Santri 2025 untuk memperkuat peran pendidikan dan dakwah nasional. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Ananda Muhammad Firdaus)

Petuah itu senantiasa terpatri dalam hati, terpelihara dalam kehidupan sehari-hari.

Saat cakrawala masih berselimut awan tebal, para peserta tampak asyik berfoto bersama di depan panggung bertuliskan Hari Santri 2025. Sungguh mengabadikan momen berharga yang tak terlupa. Sarung yang tadi basah oleh embun kini menjadi simbol kebanggaan, tanda syukur ihwal menjadi santri bukan sekadar identitas masa lalu, melainkan sikap hidup yang berusaha rendah hati, cinta tanah air, dan teguh menjaga nilai-nilai keislaman di tengah arus perubahan zaman. (*)

Tags:
pondok pesantrensejarah santriHari Santri

Ibn Ghifarie

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor