Kawasan yang dulu dielu-elukan sebagai laboratorium ide urban, pusat kreativitas, dan surga pendidikan ini, ternyata gagal menata relasi dasarnya dengan lingkungan. Bandung tidak ada dalam daftar pemeringkatan seperti UI Green City Metric 2025. Absensi itu bukan hanya soal angka melainkan soal cara kota besar memahami dirinya sendiri.
Bandung terjebak dalam bayangan yang ia ciptakan sendiri. Katanya selalu ada kuliner yang enak-enak, mode fesyen yang kekinian, sampai digitalisasi. Julukan seolah cukup jadi alat ukur untuk segalanya.
Khianat pada Leluhur
Bandung, jika menengok ke sejarah geologinya, lahir dari letusan dahsyat Gunung Sunda purba ribuan tahun lalu. Cekungan besar yang kemudian menjadi dataran Bandung adalah jejak luka bumi yang terbendung, pecah, mengendap, dan mengering lalu menjelma jadi ruang hidup.
Leluhur Sunda tahu betul makna kesakralan kawasan ini. Dalam sasakala Tangkuban Parahu, kisah Sangkuriang, Dayang Sumbi, dan Si Tumang bukan sekadar legenda romantik, melainkan narasi ekologis yang mendalam. Sebuah peringatan etik tentang hasrat, sekaligus kesadaran akan asal-usul lingkungan sekitar.
Namun, di peradaban kota modern hari ini, cerita-cerita itu kerap dianggap mitos irasional yang murahan belaka. Bukan narasi kosmologi, bukan petuah akan batas dan tanggung jawab manusia terhadap alam. Bandung justru lebih memilih logika “pembangunan” yang memberangus memori genealogis geologinya. Kawasan resapan air diubah jadi perumahan mewah, perbukitan ditanami vila dan kafe, Sungai Cikapundung dan Citarum menyalurkan limbah dan sampah.
Hari ini, tampak jelas bahwa kita sedang menyaksikan pengkhianatan yang sunyi terhadap warisan leluhur. Pada nilai kesundaan yang sejati, terhadap tradisi dan kehendak semesta. Padahal andai saja Bandung mau mendengarkan kisahnya sendiri, ia akan paham pada disiplin yang kiwari disebut mitigasi bencana.
Gedebage sebagai kawasan resapan air, telah berselingkuh. Bandung Timur berada dalam genggaman impian futuristik di antara stadion, perumahan elit, mall besar, stasiun kereta, kampus-kampus, dan masjid provinsi. Ancaman Sesar Lembang diabaikan, ringkihnya modernitas tampak tenggelam dalam kalkulasi potensi kerugian besar, dan maut yang menanti.
Tanda-tanda itu ada di pelupuk mata. Banjir yang kian parah di Dayeuh Kolot, misal, malah dianggap sebagai kearifan lokal. Belum lagi jalan-jalan utama kota seperti Soekarno-Hatta, Buah Batu, dan Pasteur, bukan saja genangan air juga problem kemacetan dan polusi udara yang kian menyesakkan paru.
Bandung, pohon-pohon besar di sepanjang jalan tidak terurus. Kala hujan lebat datang, ia bisa saja membunuh pengendara. Bandung, kasus-kasus kebun binatang bahkan kaburnya macan, semuanya adalah bentuk-bentuk kecil dari hilangnya rasa hormat terhadap kehidupan.
Lebih Memilih Memuja Kolonialisme

Ketimbang peduli pada akar identitasnya, Bandung lebih memilih hidup dalam imajinasi yang dibangun oleh sejarah kolonial. Label seperti Paris van Java atau Kota Kembang begitu melekat di benak banyak orang. Kata-kata itu tampak manis, meluputkan kita pada glorifikasi permukaan. Kawasan ini terjebak dalam citra permai yang tidak pernah benar-benar berpijak pada realitas ekologisnya.
Bandung merasa bangga disebut kota “maju” dengan kereta cepat Whoosh. Begitu juga kampus ternama, tanda open minded, seperti ITB, UNPAD, UPI, POLBAN, UIN SGD, ISBI, UNPAS, Tel-U, ITENAS, UNPAR, MARANATHA, Muhammadiyah Bandung, NHI. Tapi kemajuan macam apa yang kita rayakan jika udara makin kotor, air makin tercemar, dan ruang hidup makin sesak? Bandung yang katanya kota terdidik justru gagal belajar dari tanah yang dipijaknya sendiri.
Di luar kota, Bandung disebut-sebut. Lembang yang sejuk, kebun teh di Ciwidey dan Pangalengan, Kawah Putih yang asik, Puncak Bintang dan Dago tempat lihat city light kota. Semua menjadi konsumsi wisata, potret alam indah dieksotiskan tanpa kesadaran ekologis. Alam hanya dilihat sebagai latar estetis, bukan entitas yang memiliki hak hidup berkelindan dengan kita di dalamnya.
Sementara di dalam kota, manusianya pun diperlakukan serupa. Urang Bandung diobjektifikasi dalam stereotip yang terdengar seperti pujian, Aa-aa dan Tétéh-tétéh Bandung itu karasep dan gareulis, bersih lagi sensual. Alam kita, kota kita, dan tubuh kita, semuanya diubah menjadi komoditas visual.
Kota ini seperti hidup di panggung kolonial yang lama. Bandung dipoles, dihias, dan dijual, tanpa sempat berkontemplasi tentang luka dan tanggung jawabnya terhadap bumi.
Kita lupa bahwa semua pujian tentang Bandung yang “menawan” ini adalah hasil pandang mata kolonial yang dulu melihat Priangan sebagai taman tropis yang bisa dikuasai, dieksploitasi, dan dijadikan tempat peristirahatan kaum elite. Persepsi itulah yang kini dilanjutkan oleh warga kota sendiri, dalam bentuk self-colonialism yang memuja citra kemolekan yang berbahaya.
Kebanggaan yang Sebenarnya
Padahal dalam sejarah Indonesia modern, Bandung memiliki narasi yang istimewa. Peristiwa Bandung Lautan Api dan Konferensi Asia-Afrika menjadi ikon perjuangan, keberanian, dan solidaritas melawan kolonialisme yang abadi. Namun kini kedua peristiwa itu tinggal slogan. Semangatnya mungkin dikutip berkali-kali, diperingati tiap tahun, tetapi jarang direnungkan maknanya dalam konteks pengelolaan kawasan kekinian.
Spirit Bandung Lautan Api dulu lahir dari keberanian untuk menghancurkan penjajahan fisik, kini semestinya kita berani menyalakan api dalam rupa kesadaran baru. Ialah melawan penjajahan ekologis, kapitalisme ekstraktif, dan kolonialisme pengetahuan yang memisahkan manusia dari alam. Dari sini kita bisa pulang ke pangkuan Bandung, Sang Banda Indung. Sumber asali, air asi, dan identitas kita sendiri
Demikian pula semangat Konferensi Asia-Afrika bisa diterjemahkan ulang sebagai solidaritas ekologis lintas bangsa, sebuah perjuangan bersama menghadapi krisis iklim yang mengancam seluruh umat manusia. Ibu kota dua benua yang berani memekik pembebasan dari imperialisme bangsa-bangsa yang mendaku lebih layak menentukan nasib bangsa yang lain.
“Bumi Pasundan Lahir Ketika Tuhan Sedang Tersenyum”, ungkapan M.A.W. Brouwer yang terpampang di dinding jembatan penyeberangan di Jalan Asia Afrika Kota Bandung, bukan sekadar latar foto para pengunjung, tapi mesti jadi laku spiritual. Bahwa menjadi Bandung bukan soal justifikasi orang luar, melainkan prinsip hidup yang lestari, yang menjadi dasar bagi kebijakan publik, pendidikan, dan gaya hidup warga kawasan ini.
Barangkali saat ini, kegagalan Bandung dalam peringkat kota hijau justru merupakan anugerah. Sebuah tamparan agar kawasan ini berhenti membangun citra. Agar Bandung tidak lagi menyemayamkan ilusi kolonial, melainkan altar spiritual-ekologis yang mempraktikkan keseimbangan antara kekinian dan kearifan lokal.
Seperti api perjuangan yang pernah menyala di tahun 1946, semoga dari reruntuhan kesadaran ini lahir api baru. Api yang membakar nalar lama, menerangi jalan nurani menuju keberlanjutan yang berakar pada bumi dan budaya sendiri. Bandung tidak perlu menjadi Paris. Bandung cukup menjadi ibu sendiri, tempat bergelayut, dan inilah yang sebenar-benarnya sumber awal kita. Disebut dengan purwadaksi. (*)