Cung, siapa di sini yang lagi galau brutal gara-gara lirik, “Cerita kita sulit dicerna, tak lagi sama, cara berdoa”? Atau mungkin yang langsung nyesek tiap kali dengar Marcell Siahaan termasuk versi cover-nya dari Ziva Magnolya, “Namun semua, apa mungkin, iman kita yang berbeda”?
Lagu Mangu (2022) dari Fourtwnty ft. Charita Utami dan Peri Cintaku (2010) memang perih, punya frekuensi emosional yang sama. Sama-sama jadi semacam doa yang gagal terkabul. Keduanya selalu bisa diandalkan buat jadi potret kecil dari pergulatan banyak pasangan di Indonesia yang harus menghadapi pesimisme, dari cinta beda agama.
Kalau kita perhatikan lagu-lagu Indonesia dalam dua dekade terakhir, tema ini terus muncul. Seolah jadi gema kolektif dari pengalaman yang sama. Ada Melawan Restu (2023) dari Mahalini, Iman Tak Sama (2022) Alvin Jo, Seamin Tak Seiman (2021) Mahen, Amin Kita Beda (2021) Awdella, Tak Bisa Bersama (2020) Vidi Aldiano feat. Prilly Latuconsina, Aku Yang Salah (2020) Elmatu, Cinta Beda Agama (2018) Vicky Salamor, Faith (2016) Vierratale, Kita Yang Beda (2015) Virzha, Perbedaan (2009).
Bahkan dari era 1990-an, Kahitna lewat Engga Ngerti dan Dygta lewat Tetap Milikmu sudah lebih dulu mengisyaratkan soal luka yang serupa. Di lagu-lagu itu, cinta beda agama hampir selalu digambarkan seperti relasi yang seru tapi mustahil, so far selalu romantis tapi terlarang.
Sebuah Realitas Sosial
Lirik-lirik yang berkesan mentok itu ternyata punya akar kuat di realitas sosial dan hukum Indonesia. Menurut studi Aini, Utomo, dan McDonald yang berjudul “Interreligious Marriage in Indonesia” (2019), fenomena perkawinan beda agama memang sangat jarang terjadi. Hanya sekitar 0,5% dari total pasangan berdasarkan Sensus 2010. Kalau dihitung, angkanya sekitar 230 ribu pasangan.
Artinya, semakin terbuka dan berpendidikan seseorang, biasanya mereka juga lebih fleksibel terhadap perbedaan religi. Tapi menariknya, generasi muda setelah Reformasi justru menunjukkan tren sebaliknya, makin kuat keinginan untuk menikah seagama, didorong oleh meningkatnya religiusitas dan politik identitas di ruang publik.
Hukum Kita Hari Ini

Nah dari sisi hukum, situasinya tidak kalah rumit. Dalam artikel “Analyzing the Prohibition of Interfaith Marriage in Indonesia: Legal, Religious, and Human Rights Perspectives” (2024), M. Thahir Maloko dan rekan-rekannya menjelaskan bahwa larangan perkawinan beda agama di Indonesia bersumber pada pandangan klasik bahwa individu dari agama lain terutama non-Muslim dikategorikan sebagai musyrik.
Pandangan ini diadopsi dalam tafsir hukum Islam dan kemudian tercermin dalam berbagai aturan hukum nasional. Salah satu contohnya adalah Putusan Mahkamah Agung No. 1977/K/PDT/2017, yang menolak permohonan pasangan beda agama dengan alasan bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan Fatwa MUI. Ironisnya, keputusan itu justru berlawanan dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia Indonesia sendiri yang dengan jelas menjamin kebebasan berkeyakinan dan hak membentuk keluarga.
Ada juga upaya reinterpretasi hukum dari perspektif pluralisme. Sebuah ijtihad baru yang berusaha membuka ruang kebolehan bagi perkawinan beda agama. Beberapa ahli hukum dan pemikir Islam progresif mencoba menafsirkan ulang teks-teks agama agar lebih kontekstual, misalnya dengan membolehkan perempuan muslim menikah dengan laki-laki non-Muslim, selama nilai-nilai kesetaraan dan kemanusiaan dijunjung.
Tapi ruang tafsir semacam ini pelan-pelan ditutup rapat, terutama setelah keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023. SEMA ini menegaskan bahwa perkawinan beda agama tidak bisa lagi disahkan di Indonesia, bahkan jika dilakukan di luar negeri dan kemudian ingin dicatatkan di catatan sipil dalam negeri. Artinya, celah hukum yang dulu sempat dimanfaatkan sebagian pasangan kini benar-benar ditutup. Secara substansi, aturan ini memperkuat keselarasan antara hukum Islam dan hukum nasional. Dua sistem yang dalam hal ini, sama-sama melarang perkawinan beda agama.
Kajian Hasan Bisri dalam “The Legal Framework for Interfaith Marriage in Indonesia: Examining Legal Discrepancies and Court Decisions” (2023) memperjelas persoalan ini. Ia menemukan bahwa meskipun peraturan soal perkawinan sudah diatur dalam berbagai undang-undang, para hakim di Indonesia ternyata masih menafsirkan aturan itu secara berbeda-beda. Akibatnya, muncul beragam putusan di tingkat Pengadilan Negeri, Mahkamah Agung, bahkan Mahkamah Konstitusi.
Perbedaan ini menunjukkan adanya independensi yudisial, setiap hakim memiliki kebebasan untuk menafsirkan hukum sesuai konteks kasusnya. Tapi pada saat yang sama, ketidakharmonisan tafsir ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat. Terbitnya SEMA No. 2 Tahun 2023 diharapkan bisa mengakhiri perbedaan tafsir tersebut, meskipun pada praktiknya, ia justru mempertegas larangan.
Dalam menelaah alasan-alasan hukum di balik putusan hakim, Hasan Bisri menemukan pola menarik. Para hakim cenderung mengandalkan dua pasal utama, Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan. Keduanya dijadikan dasar untuk menegaskan bahwa perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama. Namun di sisi lain, banyak hakim juga menggunakan argumen kebebasan, hak untuk menikah, dan falsafah ketuhanan negara sebagai pembenaran alternatif. Di sinilah tarik-menarik antara hukum agama, hukum negara, dan hak asasi manusia terus berlangsung.
Apa yang Bisa Kita Refleksikan?
Kalau dilihat dari semua sisi, budaya pop, realitas sosial, dan hukum, ada benang merah yang jelas. Bahwa perkawinan beda agama di Indonesia bukan cuma soal dua orang yang saling mencintai, tapi juga soal cara negara dan masyarakat memaknai agama, kebebasan, dan keberagaman.
Lagu-lagu mencerminkan realitas yang pahit, di mana cinta yang tulus pun bisa kalah oleh sistem religi yang eksklusif. Dan di dunia nyata, aturan hukum memperkuat batas itu. Bukan hanya mempersempit ruang kebebasan beragama kita, tapi juga mengingkari hak asasi paling dasar manusia untuk mencintai dan membangun keluarga tanpa sekat-sekat identitas.
Penolakan terhadap perkawinan beda agama hari ini, kalau direnungkan lebih dalam, seolah menjadi pengkhianatan terhadap warisan spiritual dan kultural kita sendiri. Lihat saja kisah Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani di masa Mataram dulu. Dua insan dari agama berbeda, Siwa-Hindu dan Buddha, yang bersatu bukan untuk meniadakan perbedaan tapi justru untuk menegaskan bahwa perbedaan bisa dirangkul tanpa kehilangan keunikannya masing-masing. Dari perjumpaan cinta itulah lahir harmoni besar antara yang terwujud dalam kemegahan Prambanan dan Borobudur, dua candi yang berdiri di negeri yang sama.
Dan dari masa itulah pula, lahir semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang tertulis dalam Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Katanya “tan hana dharma mangrwa,” tiada kebenaran yang mendua, sebuah pengakuan mendalam bahwa kebenaran dan kasih tidak semestinya disekat oleh nama agama.
Maka ketika hari ini negara dan kita masih menolak cinta beda agama, bukankah itu berarti kita sedang menutup mata pada akar sejarah dan filosofi kebangsaan kita sendiri? Bahwa kita sedang mengingkari semangat Bhinneka yang seharusnya menjadikan keberagaman bukan sumber curiga, tapi sumber cinta?
Justru, cinta beda agama seharusnya bisa menjadi seni tertinggi dari toleransi. Ia adalah bentuk kematangan spiritual. Dan kalau Indonesia memang dengan bangga menyebut diri sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika, maka mestinya keberagaman agama dalam cinta tidak dianggap ancaman, melainkan konsekuensi logis dari semboyan itu sendiri. Kewajaran bagi yang tinggal lalu menemukan tambatan hatinya di tanah yang orang-orang saling berbeda agama. (*)