Para pengungsi. (Sumber: Pexels/Ahmed akacha)

Ayo Netizen

Perutku, Makanan, dan Rasa Lapar yang Sia-sia

Senin 03 Nov 2025, 10:01 WIB

Aku termasuk di antara orang yang yakin kalau perut adalah salah satu inti kehidupan manusia. Dari sanalah segalanya bermula, dan juga sering berakhir. Kebutuhan, keinginan, bahkan peradaban. Sembelit, diare, kerempeng, dan buncit. Rasa-rasanya tidak berlebihan jika aku menyebut perut jadi semacam titik eksistensial, menandai kesejahteraan, kesehatan, dan kemanusiaan-kesemestaan kita.

Banyak wacana besar tentang ekonomi, psikologi, politik, budaya sampai agama, yang pada akhirnya selalu mengajak kita untuk kembali ke urusan makan. Katanya kita makan untuk hidup, tapi juga hidup untuk makan.

Tentunya makanan adalah hal yang paling mendasar, Maslow sangat setuju. Tubuh memerlukan energi, gizi, vitamin, mineral. Dan karena makanan begitu dekat dengan kita, ia sering hilang dalam kesadaran. Dihambur-hambur lewat konten dan konsumerisme. Ditawar-tawar kandungannya lewat mi instan dan kopi kemasan, yang bisa diajak damai buat keluarga miskin.

Aku juga begitu. Makan gabres demi kenyang, asal enak, FOMO, tanpa berpikir lebih jauh. Makanan mancanegara, cepat saji, hidangan lokal yang eksotis, sampai jajanan super-pedas dan minuman legit yang kadung memerangkap hidup rakyat.

Kesehatan ternyata tidak bisa dipisahkan dari kesadaran. Dan yang lebih penting, kesehatan juga tidak lepas dari kelas sosial. Aksesnya terbatas dan hampir saja terjungkal-jungkal buat kita yang hidup dalam ambang ketidakmakmuran.

Ketika aku mulai mengatur makan, aku juga mulai belajar mengenali dunia dan diriku kembali. Saat aku mencoba membedakan antara lapar mata dan berisiknya perut yang keroncong, aku perlahan mengenali kebutuhan tubuh dan keinginan pikiran. Makan ternyata bisa menjadi bentuk refleksi yang sangat dalam.

Tinjauan Klasik

Freud mungkin akan mengatakan bahwa makan adalah bentuk ungkapan dari hasrat. Kebutuhan purba kita yang kemudian dibungkus rapi dalam panggung sosial, simbol bahkan seni kuliner. Meski pada dasarnya pakan (hewan) dan pangan (manusia) itu satu substansi. Orang bisa bunuh-bunuhan, meluapkan agresi atas dasar pembagian jatah makan.

Pertarungan di alam, sebagaimana hitungan Malthus. Pertumbuhan populasi mengikuti deret ukur (1, 2, 4, 8, ...), sedangkan pertumbuhan produksi bahan makanan mengikuti deret hitung (1, 2, 3, 4, ...). Artinya pertambahan makhluk hidup jauh lebih cepat daripada pertambahan makanan, yang pada akhirnya akan menyebabkan kekurangan bahan konsumsi, kelaparan, atau tragedi. Siapa yang kuat, dia yang menang.

Sedangkan Marx mungkin akan melihat makanan dari kacamata kelas. Siapa yang lapar? Siapa yang kenyang? Bukankah konsumsi adalah lanskap dasar dari roda ekonomi kita? Dan produksi tidak pernah berjalan dengan adil.

Aku jadi teringat soal kata-kata, "Yang penting perut". Dalam dunia pemilu, kita menyaksikannya lewat sembako, dan jujur saja perputaran nasi bungkus dalam aksi politik tertentu. Makan selalu ada di mana-mana, grup parkir hajar, rapat kerja, ataupun kedatangan tamu.

Semua ini memantik alam bawah sadar kita yang terdalam, pas kita pertama kali menjadi manusia. Tradisi psikoanalisis menyebutnya dengan fase oral, kala kecenderungan bayi yang memasukan benda apapun ke dalam mulumnya. Mengisap ASI, jempol, dan mainan adalah bentuk kenikmatan sensual yang pertama. Mungkin begitu juga kini kita yang menghisap vape, boba, kuah tomyam, iya kan?

Dari berbagai perspektif klasik ini aku makin curiga bahwa makanan bukan sekadar urusan perut, tapi juga cermin struktur sosial dan kebudayaan. Makanan, dengan segala yang menyertainya, menandai identitas dan tradisi. Aku masih ingat aroma terasi atau rendang padang. Berbagai soto, bubur, dan nasi goreng yang satu sama lain punya karakter kuat di penjuru Nusantara.

Di saat yang sama, aku menatap nasib makanan yang juga menjadi ruang seni. Dari plating modern di restoran mahal sampai kreativitas jajanan kaki lima yang tak pernah kehabisan ide. Makanan adalah bentuk ekspresi, cara manusia memberi makna pada bahan-bahan alam yang fana.

Termasuk di zaman kiwari, makanan dan gaya hidup. Aku pun masuk dalam euforia itu, memburu kuliner viral di media sosial, ikut tren diet baru, mencoba kopi kekinian, memotret makanan sebelum memakannya. Dalam dunia yang disesaki citra dan validasi, makanan tidak lagi hanya untuk tubuh, tapi juga untuk memuaskan egoisme, status diri. Aku tidak hanya memberi rasa kenyang pada perut, tapi pada stimulus yang seolah-olah bisa mencapai level "keberadaan". Apa yang kumakan menjadi semacam kode sosial, menandai kelas, selera, bahkan moralitas.

Dan itu, berbalik 180° dengan isi tudung saji di rumah orang tuaku.

Belajar Kehidupan Sehari-hari

Makan-makanlah sepuasnya. Makan-makanlah terus menerus, hingga kita lupa daratan, dan tenggelam dalam budaya rakus yang membandel.

Bungkus, jenama, dan foto-foto menyeret kita pada kebiadaban gaya baru, yang tampak elegan, kekinian, dan perlahan candu dipandang wajar.

Dari sinilah aku mulai merasa segalanya sia-sia. Segala seruan aksi kemanusiaan sepertinya tampak percuma. Kita bicara hak asasi, marginal, dan kemiskinan struktural. Tapi di atas piring, stok kulkas, kebiasaan hunting kuliner, kataku terlalu kebablasan buat diklaim sehagai self-reward.

Sekarang dan selamanya, tidak ada lagi perayaan makan-makan, yang membuat kita terlena. Aku kudu segera setop merutinkan dalih pemujaan pada nafsu ini. Terpanggil bergegas mengatur makanan sebagai latihan sekaligus seni abadi menjalani hidup.

Di level permukaan kita bicara soal hemat, tidak berlebihan, tidak boros, belajar berkecukupan. Kita bisa menyisakan banyak pengeluaran untuk banyal hal, seperti menabung, membuka usaha sampingan, atau jaga-jaga di saat sulit. Oke. Tapi beranikah aku menyisihkannya dengan sengaja untuk dihutangi? Untuk diberikan dengan cuma-cuma kepada sesama? Rasanya mustahil, aku masih pelit yang hanya mengutamakan perutku seorang.

Lalu soal kesehatan. Polanya sama kita bisa clean eating, bisa konsumsi yang berkualitas. Tapi ini bukan sekedar gaya-gayaan, apalagi cari muka. Aku mana sudi berpulang pada rumah sendiri. Padahak kan sehat bukan berarti yang mahal-mahal dan gengsi kelas. Justru langkah ini jadi sebaliknya. Menemukan kesederhanaan tempe dan tahu, mungkin telur ayam kampung di belakang pekarangan rumah sendiri. Kita bisa memetik pucuk-pucuk lalapan bersama tetangga, dan yang tak kalah pentingnya bisa berbagi semua pengalaman ini dengan bersama-sama.

Makan bukan cuma asal "enak" di aing. Ia juga sangat berkaitan dengan soal adab yang membumi. Tapi sayangnya, semuanya, aku masih gagal.

Padahal makan adalah tentang regulasi hasrat, mengendalikan keinginan yang terus menuntut lebih. Apakah semua langkah ini membuat kita nyaman? Oh tentu saja, tidak! Ia malah menuntut kita untuk memberikan kenyamanan itu ke orang lain. Jelas sebuah penderitaan ragawi. Tapi di situlah, kita boleh meneguk samudera keugaharian. Kemampuan menahan diri, hidup sederhana, dan semoga besok lusa tidak kehilangan rasa nikmatnya. Mengurangi porsi makan bukan berarti mengurangi daya jangkau kita pada sesama.

Stigma terhadap pengemis di kota besar seperti Bandung bukan hal baru. Mereka kerap dilabeli sebagai beban sosial, bahkan dianggap menipu publik dengan kedok kemiskinan. (Sumber: Pexels)

Banyak-banyaklah hidup dalam berkelaparan. Karena dengan memahami lapar, kita belajar memahami orang lain. Dengan lapar kita berhenti menjadi buas. Makanlah dan berhentilah sebelum kenyang. Sisakankah rasa itu, jadikanlah ia pembimbing batin.

Apakah ini merugikan? Pastinya, sangat jelas, hasrat hewani kita mana mau mengalah. Tapi begitulah. Aku selalu memikirkan bahwa kenyang tak kenyang, dalam beberapa waktu ke depan aku pasti akan lapar lagi. Kalau begitu, kenapa tak memilih dari "lapar" ke lapar? Toh rasa ini akan selalu ada. Sengajalah, ciptakanlah kelaparan itu agar selalu tersisa di tubuh kita.

Sebab lapar itu merekam dunia yang pilu derita. Ia mendengar suara perut kosong. Ia melihat hidangan rumahan dengan ketakjuban dan penuh syukur. Ia merelakan kepemilikan, ia memindah-alihkan jatah pribadi. Ia menderita sebagaimana orang-orang di sekitarnya.

Islam yang Kupahami

Dalam setiap agama, boleh jadi ada aturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dimakan. Tapi bagiku, tabu makan bukan hanya soal halal atau haram. Dalam Islam yang kupahami, misalnya, aku menemukan rangkaian konsep halal, tayyib, dan makruf. Halal menandai batas hukum, tayyib menandai kualitas dan kebersihan, sedangkan makruf menandai kebajikan sosial. Sesuatu yang baik bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk sesama dan lingkungan.

Nasi boleh saja halal, tapi ia barangkali tidak tayyib sebab berat badan atau fobia tertentu. Tapi lebih dari itu, kepantasan juga harus kita ukur. Mungkin kita menyantapnya, tak peduli pada status kesehatan sendiri, apalagi tetangga yang sudah dua hari tidak berjumpa dengan sesuap remah-remah putih itu. Inilah kepantasan, inilah agama yang aku anut.

Jadi, makan yang benar bukan hanya tentang diri, tapi tentang dunia yang lebih luas. Ketika aku mempercakapkannya hal ini dalam konteks modern, di tengah isu keberlanjutan, krisis iklim, dan ketimpangan pangan, aku merasa konsep itu kian relevan.

Aku mau melampaui halal dan haram. Aku mau makan tayyib yang berarti sehat dan tidak merusak bumi, menghindari pemborosan, menghargai hasil bumi lokal. Aku mau makan makruf yang memikirkan dampak sosial, yang memberi manfaat bagi petani kecil, yang proses produksinya seadil-adilnya.

Aku mau bertaubat. Aku mau makan yang berkah dan yang menghindarkanku dari api neraka, sebagaimama doa sebelum makan yang aku kenal sejak kecil.

Aku mau menghayati pengalaman kecil ini. Aku mau menahan diri untuk tidak membeli makanan yang tidak kubutuhkan. Aku mau membayar makanan spesial demi sesamaku. Aku mau memilih memasak sendiri dengan bahan sederhana. Dan di sana mungkin aku bisa memperoleh semacam ketenangan yang tak bisa dijelaskan, bukan karena menahan, tapi karena merasa cukup.

Aku mau dekat dengan waktu, dengan bahan-bahan yang kupotong, dengan aroma yang muncul. Aku mau kembali ke ritme alami kehidupan yang sering hilang di tengah kesibukan dan konsumsi instan. Aku mau, aku dan tamuku makan dengan sajian yang sama, dengan yang tak ada disembunyikan di dapur bahkan kalau bisa stokku kuolah semaksimalnya menjadi hidangan yang terbaik.

Inilah isyarat tentang kesalingan memberi energi untuk hidup. Aku melihat potensi makanan yang bisa menjadi jembatan sosial yang nyata. Aku pun masih percaya bahwa makanan adalah salah satu bentuk kenikmatan yang paling jujur. Menikmati makanan enak bukan dosa, yang penting adalah keberanian. Keberanian untuk membagikan makanan, bukan digenggam sendirian.

Dua Doa yang Menjadi Penutup Tulisan Ini

Dalam lintasan pengalamanku yang berjumpa banyak dengan pertemuan dialog antaragama, aku sempat menemukan secarik catatan perenungan sebelum makan. Di sebuah vihara di Lembang, Bandung.

"Merenungkan tujuan sebenarnya saya memakan makanan ini: bukan untuk kesenangan, bukan untuk memabukkan, bukan untuk menggemukkan badan, atau pun untuk memperindah diri; tetapi hanya untuk kelangsungan dan menopang tubuh ini, untuk menghentikan rasa tidak enak (karena lapar) dan untuk membantu kehidupan bersusila. Saya akan menghilangkan perasaan yang lama (lapar) dan tidak akan menimbulkan perasaan baru (akibat makan berlebih-lebihan). Dengan demikian akan terdapat kebebasan bagi tubuhku dari gangguan-gangguan dan dapat hidup dengan tentram."

Selepas itu, aku berdiam. Bergetar dan mengutuki diri sendiri.

Begitupun aku sering terenyuh mendengar Doa Bapa Kami, yang sering dikaulkan oleh sahabat-sahabat kristianiku.

"Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya."

Dan dua doa ini, kujadikan buat pemungkas tulisanku kali ini. Sebuah bahan renungan. (*)

Tags:
ajaran agamakelaparankehidupan manusia

Arfi Pandu Dinata

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor