Tsunami fakta, kebanjiran fakta, hujan fakta. Mungkin kita pernah melihat dan membaca komentar seperti itu ketika menjelajahi media sosial. Dengan angkuh warganet menyebut hampir segala sesuatu yang mereka anggap relate di internet dengan sebutan-sebutan seperti itu.
Tapi apakah hal-hal yang warganet sebut sebagai fakta itu sungguh fakta, atau sebenarnya hanya opini yang saking relate-nya hingga mereka labeli fakta? Di sini kita coba membahas opini dan fakta dari perspektif jurnalistik.
Perbedaan Opini dan Fakta

Sebenarnya pembahasan tentang opini dan fakta bukan ekslusif milik orang jurnalistik saja. Materi pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah menengah juga membahas tentang perbedaan antara opini dengan fakta. Tapi untuk menyegarkan ingatan, ada baiknya membahasnya kembali.
Menurut KKBI, opini merupakan pendapat, pikiran, atau pendirian. Dalam konteks jurnalistik, opini merupakan tulisan yang menunjukkan pendapat, pikiran atau pendirian dari penulis. Karena berupa pendapat, maka opini sifatnya subjektif.
Opini bisa berupa komentar, persepsi, saran, ide, argumentasi dan hipotesis.
Karakteristik opini dalam tulisan ditandai dengan kalimat yang mengandung kata sifat, seperti banyak, kebanyakan, semua, sedikit, baik, buruk, hebat, payah, besar, kecil, mahal, murah dan sebagainya.
Contoh:
- Di lembaga pendidikan banyak terjadi kekerasan.
- Harga cabai kian mahal.
Dari perspektif jurnalistik, kedua contoh kalimat di atas termasuk opini karena ditandai dengan kata sifat "banyak" dan "mahal".
Sedangkan fakta, menurut KBBI hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan, sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi. Berbeda dengan opini yang subjektif, fakta bersifat objektif, bisa dibuktikan kebenarannya dan tidak dipengaruhi subjektivitas pribadi.
Fakta bisa berupa hasil tangkapan pancaindra atau observasi, dokumen tertulis, foto dan video serta rekaman suara.
Karakteristik fakta dalam tulisan ditandai dengan jawaban yang jelas atas pertanyaan 5W1H.
Contoh:
- Terjadi 573 kasus kekerasan di lembaga pendidikan yang dilaporkan sepanjang tahun 2024.
- Harga cabai naik Rp. 1.250 di Jogja
Kedua kalimat di atas merupakan fakta yang ditandai dengan jawaban yang jelas atas pertanyaan 5W1H.
Opini yang Didukung Argumentasi Berbasis Fakta dan Data

Lalu apakah kita tidak boleh menuliskan kata-kata sifat sama sekali di tulisan jurnalistik?
Nah, sebenarnya dari perspektif jurnalistik kita tetap diperkenankan menuliskan opini di dalam tulisan jurnalistik, selama opini tersebut didukung argumentasi berbasiskan fakta dan data.
Contoh:
- Di lembaga pendidikan banyak terjadi kekerasan. Data JPPI menunjukkan 573 kasus kekerasan di sekolah hingga pesantren terjadi pada 2024. Angka ini naik 100 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
- Harga cabai di Jogja kian hari kian mahal. Harga cabai rawit merah misalnya, naik dari Rp. 30.250 menjadi Rp 31.500 per kg. Sebagai perbandingan, rata-rata harga cabai rawit merah di seluruh Indonesia per hari ini mencapai Rp. 39.800.
Kalimat pertama dari kedua contoh di atas menujukkan opini, yaitu masing-masing ditandai dengan kata sifat "banyak" dan "mahal". Namun, pada kalimat selanjutnya dituliskan argumentasi berbasiskan fakta dan data yang bisa dibuktikan kebenarannya untuk mendukung opini di kalimat awal.
Pentingnya Mengetahui Perbedaan Opini dan Fakta
Sebenarnya siapa pun bebas beropini A-Z atas suatu kejadian atau fenomena apa pun. Seperti dalam konsep dikotomi kendala ala filsafat stoicism, opini orang lain atas segala sesuatu termasuk diri kita tidak bisa dikendalikan.
Tapi, bukan berarti seseorang bebas melabeli suatu opini sebagai fakta. Terutama jika tidak didukung oleh fakta sungguhan atau data yang bisa dipertanggungjawabkan.
Bukan berarti juga seseorang bebas melabeli sesuatu sebagai fakta hanya karena merasa relate dengan pengalaman pribadi. Hal-hal seperti ini bisa menjadi fitnah dan merugikan diri sendiri serta orang lain.
Yang cukup menyedihkan, gejala seperti ini tidak hanya terjadi pada warganet saja, melainkan pada media massanya juga. Contohnya kontroversi yang terjadi pada Trans7 kemarin sebenarnya terjadi karena ketidakmampuan mereka dalam memilah fakta dengan opini.
Kontroversi tersebut biarlah menjadi pengingat untuk lebih bijaksana dan berhati-hati kembali dalam menuliskan dan menerbitkan berita.(*)