Tahura Ir. H. Djuanda. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)

Ayo Netizen

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda: Oase Bandung di Tengah Pariwisata Kontemporer

Senin 10 Nov 2025, 14:40 WIB

Kota Bandung dikenal sebagai destinasi wisata favorit yang memadukan panorama alam pegunungan dengan kreativitas masyarakatnya. Namun di balik keriuhan kota modern, terdapat satu kawasan yang menjadi paru-paru utama Bandung, yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda (TAHURA).

Kawasan ini bukan sekadar ruang hijau, tetapi juga laboratorium alam yang hidup, tempat di mana sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan bertemu dalam harmoni ekologis.

Tahura menjadi simbol penting dari transformasi pariwisata Bandung menuju arah yang lebih berkelanjutan, mendidik, dan menyatu dengan alam. Dalam konteks dinamika pariwisata kontemporer, Tahura mencerminkan pergeseran minat wisatawan dari sekadar hiburan menuju wisata pengalaman dan kesadaran ekologis.

***

TAHURA diresmikan pada tahun 1985 melalui Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1985, dan diberi nama untuk menghormati Ir. H. Djuanda Kartawidjaja, Perdana Menteri terakhir Indonesia yang dikenal sebagai perumus Deklarasi Djuanda — tonggak lahirnya konsep “Negara Kepulauan Indonesia”.

Namun, akar sejarah kawasan ini jauh lebih tua. Pada masa penjajahan Belanda, wilayah ini menjadi bagian dari hutan lindung Dago Pakar yang difungsikan sebagai daerah resapan air dan pelindung DAS (Daerah Aliran Sungai) Cikapundung. Sisa-sisa peninggalan masa itu masih dapat dijumpai melalui Goa Belanda, yang dibangun pada tahun 1918 untuk kebutuhan militer dan pengaturan air.

Tak jauh dari sana, terdapat pula Goa Jepang, yang dibuat pada masa pendudukan Jepang sekitar tahun 1942–1945 dan kini menjadi saksi bisu sejarah perjuangan bangsa.

Tahura menempati area seluas lebih dari 590 hektare, membentang dari Dago Pakar hingga Maribaya, Lembang.
Dengan ketinggian antara 770 hingga 1.330 meter di atas permukaan laut, kawasan ini memiliki iklim sejuk dan kelembapan tinggi, menjadikannya rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna.

Beberapa di antaranya:

Selain itu, Tahura berperan sebagai penyerap karbon alami dan penjaga kestabilan iklim mikro Bandung utara, yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem kota. Banyak peneliti dari ITB, Unpad, dan UPI melakukan penelitian di kawasan ini terkait konservasi, geologi, dan perubahan iklim.

Destinasi dan Aktivitas Wisata

Jembatan Gantung di Taman Hutan Ir. Djuanda merupkan Taman Hutan di Kawasan Kota Bandung. (Sumber: Wikimedia Commons | Foto: Samudraeka)

TAHURA menawarkan beragam aktivitas wisata edukatif dan petualangan alam:

TAHURA juga menjadi lokasi favorit komunitas pencinta alam, fotografer, dan keluarga yang ingin melarikan diri dari hiruk-pikuk kota.

Dalam beberapa tahun terakhir, Bandung mengalami lonjakan wisatawan domestik dan mancanegara yang signifikan. Fenomena ini membawa dampak positif terhadap ekonomi daerah, namun juga menimbulkan tekanan bagi lingkungan.

Tantangan utama pengelolaan Tahura antara lain:

  1. Overkapasitas pengunjung pada akhir pekan dan hari libur.
  2. Sampah plastik dan limbah wisata, yang dapat mencemari aliran sungai dan mengganggu satwa.
  3. Pembangunan fasilitas non-ramah lingkungan di sekitar kawasan konservasi.
  4. Kurangnya kesadaran wisatawan terhadap pentingnya menjaga ketertiban dan kebersihan kawasan.

Untuk mengatasi hal ini, pengelola Tahura bersama Pemerintah Provinsi Jawa Barat menerapkan sistem pengelolaan berbasis konservasi dan edukasi publik. Program seperti “Tahura Bersih dan Cerdas” serta “Eco Trail Experience” menjadi contoh inisiatif yang mengedepankan partisipasi masyarakat.

Dari kacamata sosiologi pariwisata, Tahura merupakan ruang interaksi sosial dan ekologis di mana manusia bernegosiasi dengan alam. Wisatawan tidak hanya berperan sebagai penikmat, tetapi juga sebagai subjek yang terlibat dalam pelestarian.
Kegiatan edukatif seperti outbound ekologi, observasi satwa, dan konservasi pohon menjadi wadah bagi pembentukan kesadaran ekologis kolektif.

Tahura juga mempertemukan komunitas lokal dan urban dalam kegiatan ekonomi kreatif seperti penyewaan alat wisata, kuliner tradisional, dan penjualan produk hasil alam. Fenomena ini menunjukkan bagaimana ekowisata dapat menjadi instrumen pemberdayaan sosial dan ekonomi masyarakat tanpa merusak nilai konservasi.

Untuk menjaga keseimbangan antara pariwisata dan konservasi, beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Pembatasan jumlah pengunjung pada zona inti konservasi.
  2. Peningkatan fasilitas ramah lingkungan seperti jalur pejalan kaki alami dan tempat sampah terpilah.
  3. Kolaborasi akademis antara pengelola, universitas, dan komunitas pecinta alam.
  4. Digitalisasi informasi wisata, misalnya melalui aplikasi “Smart Tahura” untuk pemesanan tiket dan panduan ekowisata.
  5. Pelibatan masyarakat sekitar dalam kegiatan edukasi dan patroli lingkungan.

Dengan penerapan strategi ini, Tahura dapat terus menjadi model pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) yang menjadi kebanggaan Kota Bandung.

Baca Juga: Kehangatan Pagi Hari di Gerobak Bubur Ayam Pasor

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda bukan hanya kawasan wisata, tetapi juga simbol keseimbangan antara kemajuan dan kelestarian.
Ia adalah jantung hijau Bandung, tempat di mana udara segar, sejarah, ilmu, dan budaya berpadu dalam satu ruang harmoni.

Di tengah derasnya arus urbanisasi dan industri pariwisata modern, Tahura menjadi pengingat bahwa masa depan Bandung yang indah hanya bisa diwujudkan jika manusia hidup selaras dengan alamnya. (*)

Tags:
Kota Bandung Tahura DjuandaTaman Hutan Raya Ir. H. Djuanda

Adil Rafsanjani

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor