Salah satu gedung terbengkalai di pusat Kota Bandung. (Sumber: Pexels/Muhamad Firdaus)

Ayo Netizen

Bandung, Antara Heritage dan Hype

Selasa 11 Nov 2025, 14:38 WIB

Bandung sepertinya sedang mengalami krisis identitas kecil-kecilan. Dulu dikenal sebagai kota budaya, kini mungkin lebih tepat disebut kota “ngopi estetik sambil macet”.

Setiap sudut yang dulunya menyimpan jejak sejarah kini berubah jadi latar konten TikTok. Gedung-gedung bergaya kolonial jadi background outfit of the day.

Dan di antara hiruk-pikuk kafe baru, pertunjukan wayang golek nyaris tak terdengar lagi,  kalah volume dari live music lagu-lagu Top 40.

***

Coba jalan kaki di sekitar Braga atau Asia-Afrika. Di situ, masa lalu Bandung berdiri gagah tapi dengan aroma kopi modern dan papan nama yang bersinar dari LED.

Bangunan tua tampak terawat dari luar, tapi isinya sering sudah berubah jadi toko baju, restoran fusion, atau kafe yang menjual nostalgia versi premium.

Tak salah tentu. Ekonomi kreatif butuh ruang, dan pariwisata perlu berkembang. Tapi di sisi lain, kita pelan-pelan menjadikan warisan budaya bukan untuk dipelajari, melainkan untuk dijual.

Seperti seseorang yang mencintai Bandung hanya karena tampilannya yang “vintage”, tapi tak tahu kisah di balik tiap dinding tuanya.

Ada lebih dari 1.200 bangunan cagar budaya di kota ini. Tapi hanya sekitar 30 persen yang benar-benar dipelihara dengan baik. Sisanya entah rusak, dialihfungsikan, atau terlupakan.

Tampaknya, yang paling terawat justru papan nama “Cagar Budaya”-nya.

Budaya Sunda dan Panggung TikTok

Bandung dikenal sebagai pusat kreativitas, tapi juga kota di mana budaya lokal sering kehilangan panggungnya sendiri.

Coba cari pertunjukan wayang golek di pusat kota, bisa jadi lebih sulit daripada mencari tempat parkir di Dago saat weekend.

Seni tradisi seperti karinding, jaipongan, atau angklung buhun kini lebih sering tampil di acara seremonial atau festival tahunan, bukan bagian dari keseharian kota.

Sementara itu, busana kebaya Sunda munculnya hanya saat 17 Agustus atau wisuda.

Minat generasi muda Bandung terhadap seni tradisional menurun sekitar 40 persen dalam lima tahun terakhir. Alasannya? “Kurang relevan dan kurang hits.”

Padahal, di saat yang sama, konten “tutorial make up ala mojang Sunda” di TikTok bisa menembus ratusan ribu views. Ironi yang cukup manis-pahit, bukan?

Masalah budaya di Bandung bukan hanya persoalan selera, tapi juga kesejahteraan.

Pentas wayang golek tak bisa bersaing dengan konser indie pop di kafe rooftop. Satu tiket konser Rp150 ribu, sementara nonton kacapi suling masih dianggap “hiburan gratisan”. Kita semua cinta budaya, sampai waktunya bayar tiketnya.

Padahal, jika dikelola dengan cara yang kreatif, budaya bisa menjadi daya tarik wisata kelas dunia. Lihat saja Yogyakarta dengan gamelan dan batiknya, atau Bali dengan ritual dan keseniannya yang hidup berdampingan dengan pariwisata.

Bandung juga bisa. Tapi perlu pergeseran cara pandang, budaya jangan hanya dijadikan pelengkap brosur wisata, melainkan jiwa dari kota itu sendiri.

Dago, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Heritage yang Jadi Hiasan

Beberapa tahun terakhir, muncul fenomena “heritage tourism” di Bandung, wisata sejarah yang dikemas modern. Kegiatan walking tour bersama komunitas seperti Aleut atau Heritage Walk mulai diminati. Tapi masih terbatas pada kalangan muda yang haus pengalaman, bukan kebijakan besar yang mendukung pelestarian secara sistemik.

Belum lagi persoalan ekonomi, banyak bangunan tua yang dikuasai swasta, sehingga pelestarian sering tergantung pada “niat baik pemilik gedung”. Dan niat baik itu, seperti promo hotel saat liburan, sering datang musiman.

Tantangan terbesar Bandung adalah menjaga keseimbangan antara ekonomi kreatif dan ekologi budaya. Karena kalau terlalu fokus mengejar hype, kita bisa kehilangan heritage; dan kalau terlalu sibuk dengan heritage, kita bisa tertinggal dari hype.

Baca Juga: Mengintip Cara Pengobatan Hikmah Therapy yang 'Nyentrik' di Bandung

Meski begitu, Bandung belum kehilangan napas budayanya. Masih ada komunitas yang rutin menggelar ngadu tembang Sunda, pementasan teater rakyat, atau workshop aksara Sunda digital.
Seniman muda mulai memadukan karinding dengan musik elektronik, menulis puisi Sunda di Instagram, atau melukis wayang golek dalam gaya street art.

Budaya tak mati, ia hanya sedang berganti platform. Pemerintah Kota Bandung pun mulai menyiapkan revitalisasi ruang budaya publik, dari Gedung YPK, Taman Cikapayang, sampai pendirian pusat seni kontemporer. Tapi semua ini baru awal.

Karena pelestarian budaya bukan sekadar proyek, melainkan proses seperti menghidupkan rasa bangga dan rasa memiliki di hati warga.

Baca Juga: Potret Inspiratif Cipadung Kidul dari Sales Keliling hingga Kepala Seksi Kelurahan

Bandung memang indah, tapi keindahan sejati tak cuma soal bangunan dan lampu. Kota ini pernah menjadi pusat ide besar mulai dari Konferensi Asia-Afrika sampai lahirnya musik indie pop pertama di Indonesia. Kini, tantangannya bukan hanya menjaga warisan fisik, tapi juga ruh di baliknya.

Kita boleh punya 1.200 bangunan cagar budaya, tapi kalau tak ada yang memahami ceritanya, semua itu cuma dekorasi mahal. Dan seperti kata pepatah Sunda, “Mun teu ngarti kana sajarah, moal ngarti kana arah.” Kalau kita tak mengerti asal, bagaimana bisa menentukan masa depan?

Jadi, Bandung tersayang, jangan biarkan dirimu jadi kota yang hanya dikenang, tapi tak lagi dihayati. Sebab kota tanpa budaya ibarat kopi tanpa aroma, masih bisa diminum, tapi kehilangan rasa yang membuatnya istimewa. (*)

Tags:
budaya BandunghypeheritageBandung

Guruh Muamar Khadafi

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor