Membicarakan literasi selalu menjadi topik yang menyenangkan bagi saya. Di tengah isu minimnya tingkat literasi di Indonesia--para penggiat tak hentinya berupaya membawa perubahan bagi Indonesia dan khususnya bagi Kota Bandung.
Sabtu, 15 November 2025 saya berkesempatan mengikuti workshop menulis novel: Untuk Laut dalam Diriku dan Dirimu. Acara kali ini merupakan kolaborasi Tale Tingker bersama The Room 19. Hadir di The Room 19 menarik ingatan saya ketika pekan sebelumnya menghadiri acara Pra Event Veritas di Salman ITB. Di mana dalam acara tersebut salah satu pengisi acaranya adalah Reiza Harits selaku salah satu founder The Room 19.
Menarik kembali dari apa yang disampaikan Reiza dalam materi yang dipaparkannya bahwa solusi dari literasi itu bisa ditingkatkan. Beberapa diantaranya memperbanyak ruang publik, mempermudah akses persebaran buku, membuat baitul hikmah (rumah penerjemahan), belajar melamun untuk memunculkan imajinasi yang selanjutnya bisa meningkatkan empati dengan cara mempopulerkan bacaan fiksi.
The Room 19 menjadi bukti nyata bagaimana para penggiat literasi bisa menciptakan ruang publik yang bisa menjadi penggerak bagi perubahan di Kota Bandung. The Room 19 tidak hanya mengkampanyekan perubahan tapi juga ikut memfasilitasi berkumpulnya sejumlah masyarakat Kota Bandung untuk menciptakan ruang baca, ruang diskusi dan lingkungan yang kondusif untuk saling berkolaborasi.
Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh salah satu peserta workshop menulis novel bernama Daniel bahwa The Room 19 menjadi pilihan tempat yang nyaman untuk kalangan anak muda yang memiliki daya tarik yang sama dalam bidang kepenulisan.

Acara yang dihadiri secara intimate ini menghadirkan sejumlah 13 peserta dengan Chythia Agustin selaku pemateri. Sebelum acara dimulai seluruh peserta diajak untuk merefleksikan diri tentang makna laut dalam diri setiap orang. Mungkin laut dalam setiap diri kita memiliki makna yang berbeda, ada yang tenang, ada yang penuh dengan badai juga ada yang pasang dan surut. Bagi saya refleksi ini membawa keyakinan pada tema tentang laut yang akan saya torehkan melalui tulisan.
Selanjutnya para peserta memperkenalkan diri dan menceritakan sedikit mengenai novel yang akan ditulisnya. Kemudian pemateri menuntun para peserta melalui materi yang sedang dipresentasikan sehingga mempermudah langkah awal untuk menulis. Dalam workshop kali ini peserta diberikan waktu 60-90 menit untuk memulai membuat cerita sebanyak apapun. Dan setelah acara selesai peserta bisa melanjutkan tulisannya dengan deadline 7 hari sebelum buku secara keseluruhan akan dicetak.
Meski novel yang dicetak tidak ber-ISBN tapi ini menjadi langkah awal bagi saya atau mungkin bagi peserta lain untuk memantik keberanian dalam menulis. Bagi saya pribadi kegiatan workshop menulis novel ini menjadi obat bagi salah satu mimpi saya yang sejak dulu ingin mengabadikan karya juga ide-ide menjadi sebuah novel.
Saya percaya langkah kecil akan membawa kita pada sesuatu yang lebih besar. Bukan soal berapa lama hasilnya tapi bagaimana kita konsisten dan sabar menjalani prosesnya. Terus melangkah menjadi awal untuk menemukan "Waktunya" kita.
Menurut saya kegiatan literasi memang perlu secara konsisten digaungkan demi mencapai masyarakat yang memiliki peradaban, khususnya bagi seluruh masyarakat di Kota Bandung. Kegiatan seperti membaca bersama, menulis sebuah karya, berdiskusi dan berdialetika dari buku yang sudah dibaca menjadi api yang akan membakar semangat perubahan bagi dunia dan khususnya bagi masing-masing individu.
Saat ditemui di The Room 19, Daniel sebagai salah satu peserta juga mengungkapkan urgensi menulis bagi kemajuan literasi di Kota Bandung.
Bagi Daniel menulis adalah bagian dari literasi yang secara kontinyu perlu dibudayakan. Melalui giat literasi harapannya tulisan bukan sekedar memiliki nilai informatif tapi juga memiliki value yang mampu memberikan insight bagi generasi saat ini ataupun generasi mendatang. (*)