Menulis Ignas Kleden dari Perut Buncitnya

MH. D. Hermanto
Ditulis oleh MH. D. Hermanto diterbitkan Jumat 19 Sep 2025, 14:31 WIB
Ilustrasi Ignas Kleden. (Sumber: Istimewa | Foto: Istimewa)

Ilustrasi Ignas Kleden. (Sumber: Istimewa | Foto: Istimewa)

Saya tidak tahu persis kapan terakhir kali mendengar nama Ignas Kleden disebut di luar forum-forum akademik. Mungkin sudah lama atau mungkin kita sedang hidup di masa yang tak lagi sabar membaca esai panjang yang tidak menjanjikan tepuk tangan.

Beberapa minggu lalu saya membaca ulang satu esainya. Tentang sasata, dan tentang bagaimana menulis bisa menjadi cara bertahan hidup. Saya lupa judulnya. Tapi saya ingat suasana setelahnya—hening, seperti duduk sendirian di dalam perpustakaan yang lampunya tinggal satu.

Saya lalu membayangkan tubuh Ignas. Tidak kecil, tidak ringkih, tubuh besar, perut buncit, dan wajah yang tenang. Seolah sedang menyimpan terlalu banyak pengetahuan, juga terlalu banyak kesabaran.

Dan saya bertanya dalam hati: bagaimana rasanya menulis dari dalam perut itu? Dari tubuh yang kenyang oleh buku, kenyang oleh forum, kenyang oleh sejarah panjang menulis tapi tidak berteriak? Mungkin dari situ tulisan ini bermula. Dari keinginan untuk menyelinap kedalam kenyang yang tenang itu, dan bertanya kenapa di luar tubuhnya, dunia tampak begitu bising tapi mandul?

Saya membaca Ignas Klenden seperti seseorang yang duduk diam di tengah ruangan dan tahu persis kapan harus bicara. Ia tidak meledak. Tidak memukul meja. Tapi sekali dua kali ia mengangkat tangan, kemudian menulis. Esai demi esai mengalir. Topiknya macam-macam. Dari puisi Afrizal Malna sampai teori Habermas. Dari demokrasi sampai puisi kampus. Ia seperti orang yang tidak terburu-buru, tapi tahu ke mana harus berjalan.

Yang saya heran, mengapa tulisannya tak lagi ramai dibicarakan? Padahal hampir semua soal sudah dia tulis. Tentang sastra yang kehilangan keberanian. Tentang politik yang kehilangan nalar. Tentang intelektual yang kehilangan malu. Saya pikir, bukan karena Ignas berhenti menulis. Tapi karena kita sendiri berhenti mendengarkan.

Atau mungkin karena zaman sudah berubah. Orang lebih tertarik dengan tulisan yang pendek dan cepat viral. Teks yang bisa disalin lalu ditempel di Instagram. Sementara Ignas menulis dengan ritme lambat. Ia bukan hanya berfikir, tapi juga mengunyah. Dan itu membuat tulisannya tidak bisa ditelan bagitu saja.

Lalu saya tersadar, apa yang ditawarkan Ignas bukan untuk semua orang. Ia menulis bukan untuk memikat, tapi untuk membentuk. Saya lalu mulai masuk lebih jauh ke karya-karya akademiknya. Ignas tidak hanya menulis esai popular. Ia punya pengaruh besar dalam dunia akademik, terutama dalam memperkenalkan pendekatan sosialogi sastra kepada generasi penulis dan peneliti Indonesia.

Ia menekankan bahwa sastra tidak pernah lahir dari ruang kosong. Setiap cerita, setiap puisi. Membawa bekas dari struktur sosial tempat ia ditulis, mewujudkan bahasa adalah rumah ideologi, dan sastra adalah ruang negosiasinya.

Di buku sastra dan politik, juga dalam banyak artikelnya di Basis  atau Kompas, Ignas menunjukan bagaimana karya sastra bisa menjadi alat baca atas perubahan sosial. Tapi pembacaannya yang dia usulkan bukan pembacaan revolusioner. Ia tidak memanggil pembaca  untuk turun ke jalan, tapi mengajak duduk dan menganilisis. Sastra adalah objek kajian, bukan peluru.

Saya tidak bilang itu keliru. Tapi pendekatan ini, yang kemudian banyak diikuti oleh kalangan akademik dan kampus sastra, secara tidak sadar telah menjauhkan sastra dari konfliknya yang nyata. Puisi yang dulu jadi alat protes berubah jadi bahan skripsi. Novel tentang buruh ditelaah dengan teori semiotik, tapi tidak pernah menyentuh buruh itu sendiri.

 Dalam hal ini, warisan Ignas bekerja dalam dua arah. Ia membukakan jalan untuk melihat sastra sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan. Tapi juga mungkin tanpa sengaja membentuk tradisi intelektual yang rapi, akademis, dan semakin jauh dari lumbung, dari pabrik, dari jalan raya.

Saya pikir itulah yang kini membatasi kita. Bukan karena Ignas salah. Tapi karena kita terlalu patuh pada bentuk yang dia bangun. Kita lupa bahwa teori juga bisa ditantang, bukan hanya dilestarikan. Dan sastra juga bisa digunakan, bukan sekedar dibedah.

Ilustrasi Ignas Kleden. (Sumber: Istimewa | Foto: Istimewa)
Ilustrasi Ignas Kleden. (Sumber: Istimewa | Foto: Istimewa)

Aktivisme sekarang berjalan seperti panggung. Cepat, penuh slogan, dan sering kehilangan konteks. Tapi di saat yang sama, banyak tulisan, termasuk yang mengaku kritis justru kehilangan arah. Mereka terlalu nyaman. Terlalu banyak kutipan. Terlalu takut salah.

Sastra tidak lagi punya peran mengguncang seperti dulu. Ia kehilangan ketajamannya karena pembacanya pun kehilangan keberaniannya. Aktivisme kehilangan napas karena para pelakunya lupa membaca kemudian menuliskannya. Dan Ignas, meski banyak memberi fondasi berpikir, tampaknya berhenti di batas itu saja, ia memberi tapi tidak membongkar.

Barangkali itu bukan kesalahannya. Ia juga menulis dalam konteks Orde Baru. Di masa ketika ruang demokrasi begitu sempit, dan menulis adalah tindakan yang berisiko kala itu. Maka saya tidak ingin membandingkan secara langsung. Tapi saya ingin bertanya, setelah rezim itu tumbang, setelah kita punya ruang bicara, mengapa tulisannya tak dilanjutkan dengan tindakan yang lebih kongkrit?

Saya mulai berpikir soal kenyamanan. Perihal bagaimana Ignas bisa membaca begitu banyak, menulis begitu jernih, dan tetap berada dalam ruang yang aman. Ia tidak pernah terlihat sebagai orang yang bertabrakan dengan kekuasaan secara frontal. Tapi ia juga bukan penonton. Ia seperti berdiri di tepi, mengamati, mencatat, menulis, dan kadang memberi arah.

Beberapa orang menganggap itu cukup. Menulis adalah tindakan. Saya juga percaya itu, sampai pada titik di mana menulis menjadi kegiatan yang tak lagi berisiko. Tak ada yang dikejar. Tapi ada yang ditantang. Hanya berputar di ruang yang saling sepakat.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Artikel Khusus Member

Untuk melanjutkan membaca artikel ini dan mendapatkan akses tak terbatas ke semua artikel, jadilah anggota hari ini.

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

MH. D. Hermanto
Menulis dan melukis di Gasebu Pembebasan, dan berprofesi menjadi Mahasiswa Filsafat UINSUKA
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

Filsafat Seni Islam

Ayo Netizen 18 Sep 2025, 20:01 WIB
Filsafat Seni Islam

News Update

Ayo Netizen 25 Des 2025, 20:41 WIB

Menunda Kepastian, Merawat Percakapan ala Richard Rorty

Richard Rorty menolak hasrat epistemologis, keinginan obsesi manusia dalam kepastian dan soloidaritas daripada objektivitas.
Richard Rorty menolak hasrat epistemologis, keinginan obsesi manusia dalam kepastian dan soloidaritas daripada objektivitas. (Sumber:Dokumentasi Penulis)
Mayantara 25 Des 2025, 17:35 WIB

Infinite Scrolling dan Hilangnya Fokus

Dalam beberapa tahun ini, mengakses media sosial menjadi ritual yang seolah tanpa batas.
Dalam beberapa tahun ini, mengakses media sosial menjadi ritual yang seolah tanpa batas. (Sumber: Pexels | Foto: Ron Lach)
Ayo Netizen 25 Des 2025, 16:25 WIB

Gus Dur, Toleransi, dan Harmoni

Gus Dur hadir untuk memastikan martabat dan keutuhan negara tetap terpelihara dan terjaga. Perjuangannya dalam membela kemanusiaan, demokrasi, keadilan sosial, berbagai aspek kehidupan
"Dialog adalah budaya perdamaian" - Abdurrahman Wahid (Sumber: Instagram | Foto: @pamerandialogperadaban)
Ayo Netizen 25 Des 2025, 15:13 WIB

Banjir namun Hidup Tetap Harus Berjalan

Banjir setinggi lutut kembali merendam Komplek Griya Bandung Asri 1, Bojongsoang, menghambat mobilitas warga.
Banjir terjadi di komplek Griya Bandung Asri 1 Bojongsoang. (05/12/2025) (Sumber: Khalidullah As Syauqi)
Ayo Netizen 25 Des 2025, 14:47 WIB

Cidulang, Cekung seperti Dulang

Di Tatar Sunda, dulang itu berbentuk seperti tabung yang mengecil di bagian bawahnya.
Gambaran seorang perempuan sedang ngakeul nasi di dalam dulang. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: T Bachtiar)
Ayo Jelajah 25 Des 2025, 11:58 WIB

Hikayat Christmas Island, Pulau Kecil dengan Sejarah Besar di Samudra Hindia

Christmas Island menyimpan sejarah kolonial fosfat perang dunia dan migrasi lintas Asia yang membentuk identitas unik hingga kini.
Christmas Island. (Sumber: Flickr)
Beranda 25 Des 2025, 09:41 WIB

Di Sore yang Pelan, Ngafe Menjadi Ruang Rehat Warga Kota Bandung

Pada sore, ruang ini berfungsi sebagai tempat singgah yang lebih tenang, menjadi bagian dari gaya hidup warga kota dalam bekerja, beristirahat, dan mengatur ritme hidup di tengah kesibukan urban.
Coffee shop di Kota Bandung menjadi salah satu pilihan tempat untuk rehat dari rutinitas. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ilham Maulana)
Beranda 25 Des 2025, 08:09 WIB

Panggung Tanpa Lampu Sorot, Cerita di Balik Suara Emas Penyanyi Jalanan Kota Bandung

Namun, rupiah yang mereka kumpulkan dengan cucuran keringat dari pagi hingga malam itu kerap harus dibayar dengan rasa waswas.
Penyanyi jalanan di perempatan Jalan Pahlawan, Kota Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Beranda 24 Des 2025, 20:45 WIB

Workshop Google AI Tools for Journalist di Bandung Bekali 28 Peserta Tingkatkan Kapasitas Media Lokal

Pelatihan intensif tersebut diikuti 28 peserta terpilih yang terdiri atas pengelola media lokal, jurnalis, serta konten kreator komunitas dari berbagai daerah.
Program Google AI Tools for Journalist yang digelar selama dua hari, 23–24 Desember 2025 di Kantor Ayo Media Network. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 17:03 WIB

Terminal Cicaheum Harus Siap Sambut Bus AKAP Double Decker

Banyaknya Bus AKAP Premium yang melirik kota Bandung sebagai trayek berpotensi tertinggi ketiga di Pulau Jawa, maka bersiap untuk banyaknya pemandangan bus Double-decker mewah melintas
Terparkir 3 Bus Gunung Harta Transport Solustions (GHTS) saat malam hari di garasi GHTS (19/11/2025). (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Dean Rahmani)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 16:40 WIB

Ujian Nyata Walikota Farhan: Normalisasi Sungai Cinambo atau Banjir Warisan?

Banjir Sungai Cinambo bukan sekadar dampak curah hujan, tetapi cerminan lemahnya tata kelola lingkungan Kota Bandung.
Kondisi Sungai Cinambo di Bandung Timur, yang dinilai mengalami pendangkalan dan penyempitan, menjadi bukti kegagalan tata kelola infrastruktur kota, (2 Desember 2025). (Sumber: Dok. Pribadi | Foto: Khansa Khairunsifa)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 15:41 WIB

Taman Lansia Bandung usai Revitalisasi: Antara Harapan Baru dan Beragam Tantangan di Lapangan

Taman Lansia Bandung hadir dengan wajah baru setelah revitalisasi, namun masih menghadapi berbagai tantangan dalam hal keamanan, fasilitas, dan pengelolaan untuk kenyamanan bersama.
Lampu taman malam hari yang menerangi jalur pejalan kaki menunjukkan suasana sepi setelah hujan mengguyur Taman Lansia pada Rabu, 3 Desember 2025. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Hilyatul Auliya)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 15:07 WIB

Bandung Waras

Bandung harus punya otak yang waras dan hati yang peka.
Festival seni dan budaya bukan sekadar hiburan. Itu pengingat bahwa kota hidup dan waras. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Muslim Yanuar Putra)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 13:26 WIB

Mendidik dengan Ikhlas, Mengabdi dengan Cinta: Kisah di Balik Seragam Cokelat Herna Wati

Kisah ini mengambarkan Herna Wati yang menjadikan Pramuka sebagai ruang untuk belajar ikhlas, mandiri, dan tempatnya untuk mengabdi dengan penuh cinta.
Foto Herna Wati Pembina Pramuka MTs Baabussalaam Kota Bandung. (Foto: Lutfiah Nurrahma Faisal)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 12:23 WIB

Warisan Humanis Gus Dur bagi Bangsa yang Majemuk

Perjalanan panjang bangsa yang penuh warna dan dinamika, nama Gus Dur selalu hadir seperti lentera yang menerangi ruang-ruang gelap kemanusiaan.
Illustrasi Peringatan Haul 16 GUS DUR. (Sinan)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 09:57 WIB

Tahura Djuanda Hadirkan Wisata Edukasi Bernilai Konservasi: Batu Batik dan Flora Langka Jadi Daya Tarik Baru

Keunikan wisata Taman Hutan Raya Ir. Djuanda menjadi daya tarik.
Anggrek terkecil di dubia jadi bintang baru kawasan konservasi (04/11/2025) (Sumber: Dok.pribadi | Foto: Nazwa Revanindya)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 09:29 WIB

Remaja dan Luka Sunyi Dunia Maya

Opini ini mengajak pembaca menyelami sisi gelap dunia maya yang kian membelenggu remaja Indonesia.
Seorang remaja duduk terpukul di tengah serangan komentar kasar dan ejekan di media sosial. (Sumber: Dok. Pribadi | Foto: jajang shofar)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 08:47 WIB

Masyarakat Bandung Sudah Bersahabat dengan Gelapnya Jalanan Kota Bandung

Masyarakat Bandung sudah pasrah dengan penerangan jalan yang tidak kunjung diperbaiki oleh Wali Kota Bandung.
Suasana jalanan daerah Tegallega di jam 21.00 WIB yang sudah tidak terlihat oleh pengendara, Jumat (28/11/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis Foto: Nadya Ulya Zagita)
Ayo Jelajah 23 Des 2025, 21:48 WIB

Sejak Kapan Pohon Cemara Digunakan jadi Hiasan Natal?

Tradisi pohon Natal berakar dari kebiasaan masyarakat Eropa kuno yang memuliakan tanaman hijau di tengah musim dingin, jauh sebelum Natal dirayakan secara modern.
Ilustrasi Pohon Cemara saat Natal.