KOTA Bandung -- yang kini kian heurin -- pernah beken disebut Paris van Java, bukan hanya karena kotanya yang estetik mirip Paris, tapi juga karena aura jalan-jalannya yang asyik untuk dilalui.
Sayangnya, aura asyik itu kiwari tak lagi merata. Bandung seperti memiliki dua wajah. Wajah pertama, yang ramah pejalan kaki dan wajah kedua, yang tunduk pada mesin bermotor.
Lalu, apa yang perlu dilakukan?
Ukuran kebudayaan
Membayangkan pedestrian kota berarti membayangkan langkah kaki di pusat tata kota sebagai awal dari perencanaan kota. Ini bukan sekadar perkara memperlebar trotoar semata, melainkan perkara memikirkan kembali prioritas ruang publik.
Jalan kaki selalu jadi ukuran kebudayaan sebuah kota. Di kota yang sehat, trotoar adalah urat nadi sosial, tempat orang bersua, pedagang kecil berjualan, sepeda anak melaju pelan, dan obrolan santai warga mengalir penuh keakraban.
Bandung sesunguhnya punya keuntungan. Ukuran kota yang relatif kompak, cuaca yang ramah, dan keragaman fungsi kota -- kampus, pasar, kawasan kreatif -- membuat berjalan kaki potensial jadi kebiasaan harian di kota ini. Tantangannya adalah menjadikan potensi itu konkret, bukan semata angan dan retorika.
Tak bisa kita mungkiri, infrastruktur trotoar Bandung kiwari sering tercabik-cabik oleh parkir liar, pedagang, dan utilitas kota yang menonjol tanpa penyelarasan. Ketika trotoar dipakai untuk kepentingan lainnya, pejalan kaki dipaksa turun ke jalan, berbaur dengan kendaraan.
Kebiasaan jalan kaki warga juga dibentuk oleh persepsi terkait aman atau tidaknya jalan, nyaman atau tidaknya berjalan di trotoar, dan seberapa cepat perjalanan sampai tujuan.
Kalau warga merasakan berjalan kaki lebih ribet atau membahayakan, mereka akan memilih menunggang motor atau mobil, kendati secara logis nikreuh lebih murah dan kadang lebih cepat untuk menjangkau tujuan dalam rentang jarak yang pendek.
Solusi teknis

Perencanaan kota kerap terjebak pada solusi teknis -- memperlebar jalan untuk mengurai macet -- tanpa bertanya mengapa mobil kian dominan. Padahal, memperlebar jalan untuk mobil bukanlah solusi murni bagi kemacetan.
Kebijakan zoning, desain trotoar, pengaturan parkir, dan kebijakan angkutan umum mestinya lebih diperhatikan.
Soal apakah Bandung ingin dipandang sebagai kota yang memanjakan kendaraan atau sebagai kota yang memuliakan langkah-langkah kecil warganya, ini bukan perkara estetika semata, ini menyangkut pula perkara menentukan pilihan anggaran dan prioritas kebijakan.
Mengubah kebiasaan dari bergantung pada kendaraan kepada bergantung pada langkah kaki memerlukan pula kampanye yang menyentuh hati. Dan kampanye itu harus konkret. Misalnya, dengan menghitung waktu tempuh, menunjukkan rute alternatif, dan melibatkan komunitas lokal.
Mobilitas alternatif seperti sepeda, angkot terintegrasi, dan layanan peningkatan aksesibilitas untuk lansia dan difabel harus jadi bagian dari ekosistem pedestrian kota. Budaya jalan kaki butuh sinergi dengan moda lain.
Ruang publik yang berkualitas juga menyangkut penyediaan fasilitas mikroklimat, seperti keberadaan pohon peneduh, kursi, lampu jalan yang baik, dan kebersihan. Hal-hal kecil ini krusial karena mempengaruhi keputusan seseorang untuk berjalan kaki atau naik kendaraan.
Tentu, kebijakan untuk mendorong budaya jalan kaki tak akan berhasil tanpa enforcement. Contohnya, larangan parkir di trotoar harus disertai penegakan yang konsisten dan sanksi yang diberlakukan dengan adil. Penegakan yang tebang pilih hanya akan memperparah ketidakpercayaan publik.
Menguntungkan wisata
Investasi pada infrastruktur pejalan kaki jangan dipandang sebagai beban, melainkan sebagai tabungan jangka panjang, yakni pengurangan polusi, berkurangnya biaya kesehatan, dan peningkatan produktivitas.
Selain itu, sektor wisata juga bisa diuntungkan. Bandung dikenal karena kawasan-kawasan yang asyik dilalui: Braga, Dago, dan beberapa gang kreatif. Memperluas dan menghubungkan jaringan pejalan kaki bisa memperpanjang durasi kunjungan wisatawan dan menyebarkan manfaat ekonomi ke kawasan yang lebih luas.
Ada pula dimensi sosial di mana trotoar adalah arena publik yang egaliter. Ketika orang berjalan, kesempatan bertemu antarwarga lebih besar, dan sekat sosial menipis. maka, kota yang ramah pejalan kaki cenderung lebih inklusif secara sosial
Tetapi, kita juga harus realistis tidak semua rute jalan kaki bisa langsung diprioritaskan. Perlu peta jalan (roadmap) yang memetakan koridor prioritas, fase pembangunan, dan indikator keberhasilan yang jelas. Tanpa roadmap, proyek sering putus di tengah jalan.
Partisipasi sektor privat menjadi salah satu bagian penting. Investasi pada perbaikan atau peningkatan area lahan yang menghadap jalan umum (frontage improvement), program CSR untuk penanaman pohon, dan kemitraan untuk menciptakan pedestrian plaza dapat mengurangi beban fiskal pemerintah dan mempercepat realisasi program kebijakan.
Komunitas lokal -- RT, pedagang kaki lima, warga -- harus diajak untuk merumuskan desain pembangunan. Trotoar yang dirancang tanpa dialog dengan komunitas lokal bisa saja tidak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan warga, yang akhirnya malah bisa mubazir.
Teknologi dapat turut membantu dalam realisasi program kebijakan. Contohnya, aplikasi yang memetakan rute pejalan kaki, pelaporan parkir liar secara real-time, dan simulasi dampak desain trotoar. Namun, teknologi hanyalah alat. Keputusan politik dan budayalah yang menentukan apakah alat itu dipakai atau tidak.
Pilihan ada di tangan bersama. Pemerintah mengarahkan, swasta berinvestasi, dan warga menuntut serta merawat ruangnya. Jika langkah-langkah kecil hari ini bisa menjadi habit untuk esok, Bandung bisa berubah dari Paris van Java menjadi Pedestrian van Java, sebuah kota yang berjalan, bernafas, dan hidup bersama langkah-langkah para warganya. (*)