Matahari tersenyum perlahan di balik perbukitan. Udara segar, aroma sawah dan air terjun Curug Bugbrug bertumpuk menyimpan kisah alam, manusia bersatu pada satu tempat di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Sabtu (01/11/2025).
Pengelola Curug Bugbrug bernama Mansur, dia menjelaskan bahwa sekitar tahun 1998, lahan di sekitar Curug Bugbrug hanyalah area pertanian milik orangtuanya. Tapi kemudian, atas dorongan masyarakat, pemerintah desa meresmikan Curug Bugbrug sebagai destinasi wisata alam pada tahun 2001.
“Keindahan yang alami dari curug bugbrug dan air kahuripan yang dipercayai warga lokal menarik minat banyak orang untuk datang,” ujarnya.
Sejak saat itu, curug ini mulai dikenal bukan hanya sebagai tempat rekreasi, tapi juga sebagai ruang spiritual dan sosial bagi masyarakat sekitar. Di balik keindahan alamnya, Curug Bugbrug menyimpan kisah spiritual yang diwariskan turun-temurun.
Masyarakat setempat percaya bahwa air yang mengalir di curug ini merupakan air kahuripan atau air kehidupan. Bagi warga sekitar, keyakinan ini bukan takhayul, melainkan bagian dari cara mereka menghormati alam.
Yang menarik dari Curug Bugbrug adalah semangat dari masyarakatnya. Tanpa bantuan modal besar atau bantuan dari pihak luar, warga Kertawangi memulai pengelolaan wisata ini gotong royong Sejak 1999, bangku-bangku bambu, lapangan kecil, hingga area istirahat dibangun secara sederhana atas permintaan pengunjung. Bagi warga, wisata bukan sekadar bisnis. Ia adalah bentuk hubungan baru antara manusia dan alam. Semua dilakukan dengan niat agar siapa pun yang datang dapat menikmati alam dengan nyaman tanpa mengubah keaslian tempat.
“Tahun 2008 banyak pro kontra karena masil lahan warga, curug bugbrug sempat ditutup sementara dan wisatawan tidak diperbolehkan untuk berkunjung,” ujar pengelola curug.
Perjalanan Curug Bugbrug sempat terhenti akibat konflik kepemilikan tanah pada tahun 2008 yang membuat kawasan ini ditutup dan terbengkalai selama bertahun-tahun, meninggalkan kesunyian bagi warga Kertawangi yang kehilangan sumber penghasilan serta ruang berinteraksi dengan alam.
Baru pada tahun 2020, di tengah pandemi, semangat warga bangkit kembali untuk menata ulang kawasan hingga Curug Bugbrug perlahan dibuka kembali berkat ketulusan dan kerja keras masyarakat lokal. Meski kini telah memiliki fasilitas dasar seperti toilet, warung, dan area duduk, Curug Bugbrug masih menghadapi tantangan seperti akses jalan yang masih berupa bebatuan, sehingga beberapa pengunjung, terutama yang berusia lanjut, harus berjalan dengan hati-hati.
Menurut Euis pemandangan curug bugbrug ini sudah sangat indah, namun perlu perbaikan lagi untuk akses perjalanannya untuk membuat wisatawan lebih nyaman.
“Saya datang ke sini untuk healing karena udara di sini sangat sejuk dan pemandangannya indah. Tapi, kalau jalannya bisa diperbaiki, pasti akan lebih nyaman,” ungkap wisatawan berkerudung hitam.
Harapan warga dan pengelola Curug Bugbrug sederhana yaitu agar pemerintah dan pihak terkait turut memperhatikan potensi besar yang dimiliki curug ini. Bagi mereka, Curug Bugbrug adalah contoh nyata bagaimana masyarakat bisa berdaya mengelola alamnya sendiri. Dukungan berupa perbaikan akses jalan, bantuan fasilitas, dan promosi yang berkelanjutan diharapkan dapat memperluas manfaat bagi masyarakat sekitar.
Menuruni jalan menuju Curug Bugbrug adalah perjalanan yang membawa kita pada keheningan.
Curug Bugbrug mengajarkan bahwa wisata sejati bukan tentang seberapa jauh kita pergi, tapi seberapa dalam kita bisa merasakan. Di sini, setiap tetes air menjadi doa, setiap hembusan angin adalah pengingat bahwa alam selalu punya cara untuk menyembuhkan.
Kita pulang bukan hanya dengan foto, tetapi juga dengan hati yang lebih ringan hati yang belajar untuk berhenti sejenak, mendengar, dan memaafkan. (*)