Warga memanfaatkan delman untuk melintasi jalan permukiman yang terendam banjir, saat akses kendaraan bermotor terganggu akibat genangan air. (Sumber: Dokumentasi Warga | Foto: Dokumentasi Warga)

Ayo Netizen

Bandung Dikepung Awan Gelap: Mengapa Banjir Kilat dan Angin Ekstrem Kini Sering Terjadi?

Selasa 16 Des 2025, 20:46 WIB

Beberapa tahun terakhir, warga Bandung semakin sering dibuat kaget oleh cuaca yang berubah secara drastis. Kadang sehari bisa hujan deras dua kali, atau udara yang terasa panas langsung berubah menjadi badai tiba-tiba. Fenomena seperti banjir kilat, genangan air dalam hitungan menit, serta angin kencang yang merobohkan pohon kini bukan lagi hal yang jarang. Kejadian-kejadian ini juga tercatat dalam data resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), yang menunjukkan tren peningkatan kejadian cuaca ekstrem di provinsi Jawa Barat sejak 2020 (BMKG, 2022). Artinya, bukan hanya perasaan kita saja, data juga berkata bahwa kondisi cuaca sudah berubah.

Salah satu alasan utama yang membuat banjir kilat makin sering terjadi adalah karena curah hujan ekstrem yang meningkat. Curah hujan ekstrem berbeda dari hujan biasa karena jumlah airnya sangat besar dalam waktu yang singkat. BMKG mencatat bahwa kejadian hujan dengan intensitas tinggi (lebih dari 100 mm dalam satu hari) semakin sering muncul di wilayah seperti Bandung sejak tahun 2020 hingga 2023. Penelitian juga menunjukkan bahwa peningkatan suhu permukaan laut di Indonesia membuat awan konvektif, awan besar yang menghasilkan hujan deras lebih mudah terbentuk di musim hujan, terutama di daerah pegunungan dan dataran tinggi seperti Bandung (Suwarso et al., 2021). Jadi, ketika awan besar ini datang, hujannya turun bukan sedikit-sedikit, tetapi deras dan terus menerus.

Selain karena meningkatnya hujan ekstrem, topografi Bandung juga membuat banjir kilat menjadi masalah serius. Bandung berada dalam sebuah cekungan besar yang dikelilingi oleh pegunungan. Secara fisik, ini seperti area datar yang “mengumpulkan” air dari sekelilingnya. Ketika hujan deras turun, air dari dataran tinggi dan lereng pegunungan akan mengalir ke daerah rendah di tengah kota. Penelitian dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menunjukkan bahwa cekungan Bandung memperlambat aliran air keluar dari kota, sehingga air lebih cepat terakumulasi di permukaan, sementara drainase kota tidak cukup kuat untuk mengatasi volume air yang besar (Rizaldi & Setiawan, 2020). Akibatnya, banjir kilat bisa terjadi dengan sangat cepat, bahkan hanya beberapa menit setelah hujan deras mulai turun.

Selain faktor alamiah, tekanan manusia terhadap lingkungan juga memperburuk situasi. Bandung sebagai salah satu kota besar di Indonesia mengalami urbanisasi yang pesat dalam satu dekade terakhir. Banyak lahan yang dulu hijau kini berubah menjadi perumahan, tempat usaha, dan jalan beton. Ketika permukaan tanah tertutup oleh beton dan aspal, air hujan tidak bisa meresap ke dalam tanah seperti dahulu. Penelitian Pratama (2022) menunjukkan bahwa kemampuan tanah di Bandung untuk menyerap air berkurang drastis, hingga sekitar 40% dalam sepuluh tahun terakhir. Akibatnya, air hujan yang dulu terserap oleh tanah kini malah ikut mengalir di permukaan menuju saluran drainase. Saat hujan ekstrem turun, air tidak punya tempat untuk meresap lagi, sehingga langsung memenuhi permukaan dan menyebabkan banjir kilat.

Baca Juga: Siklus Tahunan yang Tak Kunjung Diakhiri di Kota Bandung

Tak hanya soal banjir, angin ekstrem juga semakin sering terjadi di Bandung. Banyak warga yang melaporkan angin kuat tiba-tiba saat hujan turun, atau bahkan sebelum hujan. BMKG menyebut bahwa ini sering disebabkan oleh pembentukan awan cumulonimbus, awan badai besar yang tidak hanya menghasilkan hujan deras, tetapi juga pusaran udara yang kuat. Ketika udara panas di permukaan bumi naik dan bertemu dengan udara dingin di lapisan atas, perbedaan temperatur ini menciptakan kondisi yang tidak stabil dan memicu angin kencang dalam skala lokal. Penelitian oleh Wiratama (2023) menyatakan bahwa peningkatan suhu rata-rata kota akibat efek urban heat island di kota seperti Bandung memperbesar kemungkinan terbentuknya fenomena angin ekstrem. Dalam bahasa sederhana, semakin panas kota di siang hari, peluang munculnya angin kencang saat hujan turun pun semakin besar.

Jika kita gabungkan semua faktor ini, cuaca ekstrem, bentuk cekungan kota, dan perubahan penggunaan lahan, maka akan terlihat bahwa banjir kilat dan angin ekstrem bukan fenomena acak, melainkan hasil dari perubahan besar dalam pola cuaca dan lingkungan perkotaan Bandung. Tren menunjukkan bahwa jika tidak ada upaya serius untuk menata ulang tata ruang kota, meningkatkan kapasitas drainase, atau memperbanyak area resapan air, kejadian banjir kilat akan terus terjadi bahkan bisa menjadi lebih sering dan lebih parah di masa depan (BMKG, 2022; Wiratama, 2023).

Banjir kilat dan angin ekstrem bukan hanya soal “air yang banyak turun” atau “angin yang kuat”, tetapi juga tentang bagaimana kota bereaksi terhadap perubahan cuaca yang makin cepat dan tidak menentu. Perubahan iklim global mempengaruhi pola hujan ekstrem, struktur kota mengubah cara air bergerak di permukaan tanah, dan kondisi geografis Bandung membuatnya menjadi salah satu wilayah yang paling rentan. Kesadaran masyarakat dan perbaikan kebijakan tata ruang akan menjadi kunci untuk menghadapi tantangan ini di masa mendatang. (*)

DAFTAR PUSTAKA 

Tags:
bencana alam angin ekstremawan gelap

Seli Siti Amaliah Putri

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor