Mari kita bicarakan tentang Citatah, sebuah tempat yang kelihatannya santai dari kejauhan, tapi jika didekati, isinya penuh cerita, debu sejarah, dan napas alam yang masih setia bertahan. Dunia bergerak sangat cepat, tetapi Citatah memilih diam sambil menyimpan rahasia.
Citatah bukan sekadar nama daerah di Kabupaten Bandung Barat. Ia adalah halaman lama dari buku alam yang belum sepenuhnya dibaca manusia. Di sini, tebing-tebing kapur berdiri seperti arsip raksasa, menyimpan jejak waktu jutaan tahun yang lalu, jauh sebelum manusia menemukanya.
Kawasan tebing Citatah dikenal dengan formasi karst-nya yang sangat ikonik. Tebing-tebing putih menjulang, keras dan dingin. Ada Stone Garden kawasan bebatuan dengan formasi yang tidak beraturan sehingga tercipta taman batu yang sangatlah indah.
Kawasan yang terbentuk pada zaman Miosen, periode geologi yang berlangsung sekitar 20 sampai 30 juta tahun silam. Ada gua-gua purba seperti Gua Pawon, Gua Cikaracak , Gua Kopi, dan Gua-gua lainya yang tak kalah indahnya. Lalu datanglah manusia-manusia modern yang datang bukan untuk belajar, tetapi datang untuk menambangnya.
Sekarang kita masuk ke topik yang mulai berat, berdebu, dan jujur saja bikin kepala menggeleng pelan. Yaitu perihal ketika batu-batu indah yang banyak sejarah nya serta tempat cadangan air dan keanekaragaman hayati mulai dikikis oleh keserakahan manusia
Citatah, kawasan karst di Kabupaten Bandung Barat, sejak lama dikenal sebagai lanskap batu kapur yang unik dan bernilai tinggi. Tebing-tebing putihnya bukan cuma latar foto atau arena panjat tebing, tapi juga arsip alam yang menyimpan sejarah geologi dan jejak kehidupan manusia purba. Sayangnya, bagi sebagian pihak, Citatah hanya dilihat sebagai tumpukan material bangunan yang siap dikeruk dan dijual.
Aktivitas penambangan batu kapur di Citatah berlangsung bertahun-tahun. Alat berat datang dengan suara bising, memotong tebing yang terbentuk selama jutaan tahun hanya dalam hitungan hari. Batu-batu yang seharusnya menjadi saksi zaman justru berubah menjadi semen, pondasi, dan dinding kota. Prosesnya cepat, dampaknya panjang, dan penyesalannya biasanya datang terlambat.
Baca Juga: Satu Tangan Terakhir: Kisah Abah Alek, Pembuat Sikat Tradisional
Dampak penambangan tidak berhenti pada hilangnya tebing. Ekosistem karst yang rapuh ikut runtuh perlahan. Mata air mengering, gua-gua rusak, debu kapur beterbangan dan mengganggu kesehatan warga sekitar. Ironisnya, masyarakat lokal sering berada di posisi serba salah. Di satu sisi, tambang memberi pekerjaan. Di sisi lain, ia mencabut hak mereka atas lingkungan yang sehat dan berkelanjutan.
Yang paling menyedihkan, penambangan sering dibungkus dengan narasi pembangunan. Seolah-olah merusak alam adalah satu-satunya jalan menuju kesejahteraan. Padahal pembangunan tanpa etika hanya memindahkan masalah ke generasi berikutnya. Anak cucu kelak tidak mewarisi manfaat, hanya lubang, debu, dan cerita tentang tebing yang dulu pernah ada. (*)