AYOBANDUNG.ID – Di tebing batu kapur Citatah, Kabupaten Bandung Barat, seorang mahasiswa muda dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menggantungkan tubuhnya di antara cadas dan semak. Tahun itu, awal 1970-an, belum ada yang tahu apa itu panjat tebing. Namun, dari tempat sepi itulah nama Harry Suliztiarto kelak menggema hingga ke tebing paling berbahaya di dunia: Gunung Eiger di Swiss.
Harry Suliztiarto, pria kelahiran 1955, bukan sekadar pendaki biasa. Ia adalah sosok yang memperkenalkan olahraga panjat tebing ke Indonesia dan kemudian menjadi orang Indonesia pertama yang menaklukkan tebing utara Eiger—jalur maut yang telah menelan banyak korban jiwa dari berbagai negara.
Kisahnya bukan tentang keberanian semata, melainkan tentang kegigihan, kesepian, dan cinta yang tak pernah padam terhadap dinding batu. Semuanya berawal dari rasa penasaran dan sebuah buku ensiklopedia.
Saat itu, panjat tebing belum dikenal di Indonesia. Harry muda menemukan istilah “rock climbing” di sebuah buku dan terpikat oleh gambar-gambar manusia yang menggantung di tebing curam. Ia tak punya pelatih, tak punya komunitas, bahkan tak punya peralatan yang layak.
Peralatan panjatnya ia buat sendiri, seadanya, dari bahan-bahan yang bisa ia temukan di sekitar kampus. Tali yang dipakai bukan tali khusus, melainkan tali tambang yang biasanya dipakai tukang. Pengamannya pun sederhana. Namun semangatnya besar.
Karena tidak ada siapa pun yang bisa diajak berlatih, Harry akhirnya berlatih seorang diri di tebing Citatah. Lokasinya tidak terlalu jauh dari kampus ITB, sehingga setiap akhir pekan ia datang ke sana untuk menaklukkan dinding batu kapur.
“Awal-awalnya hanya ditemani tukang batu yang sedang memecahkan batu-batu di Citatah,” tutur Harry kepada Ayobandung.id saat pemutaran film Tebing, Tuhan, dan Aku, Kamis 2 Oktober 2025.
Dari latihan-latihan sepi itu, ia mulai memupuk kecintaan mendalam terhadap tebing. Namun kesepian itu lama-kelamaan terasa berat. Ia mulai berpikir, jika ia ingin terus memanjat, maka ia harus mengajak orang lain agar tidak sendiri.
“Saya merasa kesepian. Akhirnya berpikir bagaimana caranya supaya mengajarkan panjat tebing kepada orang agar tidak kesepian,” ungkapnya dengan senyum yang masih menyimpan kenangan masa lalu.
Ia pun mulai mengajak teman-temannya di kampus untuk ikut mencoba olahraga ini. Ia mengajari mereka teknik dasar panjat tebing dengan alat seadanya. Dari situlah cikal bakal komunitas panjat tebing pertama di Indonesia terbentuk.
Semakin lama, jumlah pemanjat bertambah. Mereka mulai menjelajahi berbagai tebing di Jawa Barat dan daerah lain. Dari sinilah lahir semangat ekspedisi—keinginan untuk menaklukkan tebing di luar negeri, menantang batas kemampuan manusia Indonesia.
Pilihan mereka jatuh pada Gunung Eiger, gunung setinggi 3.967 meter di Pegunungan Alpen, Swiss. Tebing utaranya terkenal berbahaya, sering disebut The Murder Wall karena banyak pendaki tewas di sana.
Keputusan itu dianggap gila. Pengalaman mereka masih terbatas di tebing-tebing tropis, belum pernah berhadapan dengan salju atau es. Tapi bagi Harry dan timnya, tantangan itulah yang membuat hidup berarti.
“Kalau pun gagal, ya tempat gagalnya di Eiger—tebing paling ekstrem. Tapi kalau berhasil, tentu akan tercatat dalam sejarah,” katanya dengan nada penuh tekad.
Persiapan panjang pun dilakukan. Mereka melatih fisik dan mental, mengasah kekompakan tim, sekaligus mencari sponsor untuk membiayai ekspedisi. Salah satu rekan setianya adalah Mamay Salim, sesama pemanjat yang ikut dalam tim.
Awalnya, banyak pihak menolak menjadi sponsor. Mereka menilai Eiger bukan gunung populer seperti Everest. Namun setelah dijelaskan bahwa Eiger merupakan tebing paling menantang di dunia, akhirnya ada juga yang bersedia mendukung mereka.
Pada 1985, ekspedisi Eiger pertama berangkat. Mereka berangkat dengan keyakinan bahwa musim panas akan membuat salju menipis. Namun, sesampainya di Swiss, cuaca justru memburuk. Salju tebal menutupi jalur, suhu membekukan.
Gunung Eiger bukan sekadar curam, tapi juga berbahaya. Batuan yang rapuh sering runtuh. “Batu yang jatuh dari atas itu kalau mengenai tubuh pasti menyebabkan luka parah. Helm juga tidak akan bisa menahannya, akan tembus,” ucapnya mengenang.
Hujan batu sempat mengguyur mereka di tengah pemanjatan. Meski tak ada yang terkena langsung, pengalaman itu membuat jantung berdegup kencang. Namun mereka terus mendaki, menantang maut dengan tekad baja.
Sampai suatu ketika, longsoran salju besar menerjang dan menyeret mereka. Nyawa serasa melayang. Setelah selamat, tim berkumpul dan berdiskusi panjang di tengah badai dingin. Keputusan pahit pun diambil: mereka harus mundur.
“Kami putuskan untuk saat ini gagal. Tapi tahun depan harus kembali lagi dan berhasil,” ujar Harry.
Sekembalinya ke Indonesia, banyak yang menganggap mereka gagal karena tidak kompak. Namun justru sebaliknya—mereka makin solid. Harry dan timnya berlatih lebih keras. Mereka mendatangi berbagai tebing di Indonesia, bahkan berlatih membawa kayu di hutan untuk memperkuat fisik dan kebersamaan.
Setahun kemudian, 1986, mereka kembali ke Eiger. Tim dan sponsor masih sama, semangat pun tetap menyala. Dengan pengalaman dan tekad yang lebih matang, mereka kembali menapaki jalur utara yang ganas itu.
Kali ini, keberuntungan berpihak. Walaupun Mamay Salim harus berhenti karena sakit, Harry berhasil menuntaskan pendakian legendaris itu. Ia menjadi orang Indonesia pertama yang menjejakkan kaki di puncak Eiger melalui jalur utara.
Berita keberhasilan itu tersiar luas di tanah air. Ida, istri Harry yang berprofesi sebagai jurnalis, menulis kisah tersebut hingga menjadi perbincangan nasional. Nama Harry pun melejit menjadi simbol ketangguhan dan inspirasi generasi muda.
Sejak saat itu, panjat tebing di Indonesia berkembang pesat. Banyak pemuda terinspirasi mengikuti jejaknya. Gunung Eiger pun menjadi nama yang akrab di telinga pecinta alam negeri ini.
Atas prestasinya, Harry menerima penghargaan dari Gubernur Jawa Barat saat itu, Yogi S.M. Namun bagi Harry, penghargaan bukanlah tujuan akhir. Yang ia cari hanyalah kepuasan batin saat menatap tebing dan mendengar desir angin di ketinggian.
Kini, di usianya yang telah menginjak 70 tahun, Harry masih setia pada tebing. Ia memang tak lagi mengejar ekspedisi, tapi tetap aktif memanjat—biasanya untuk misi kemanusiaan, seperti penyelamatan korban di alam terbuka.
Pria yang dulu merasa kesepian di Citatah itu kini menjadi legenda. Ia tak pernah benar-benar berhenti memanjat, seolah nadinya menolak tua. Bagi Harry Suliztiarto, hidup adalah soal menatap tebing, menggenggam batu, dan terus mendaki—sampai Tuhan sendiri yang memintanya berhenti.