AYOBANDUNG.ID - Coba hitung dengan jarimu, berapa kali kamu memutuskan butuh self reward ketika baru saja menyelesaikan suatu tugas. Bahkan yang lebih parahnya sudah mulai "mengapresiasi diri" saat baru menulis satu paragraf dari tugasmu.
Pasti jumlah jarimu tidak akan cukup buat menghitungnya atau malah kamu lupa sudah berapa kali karena terlalu banyak kamu melakukannya.
Salah satu self reward yang paling mudah ialah rebahan. Siapa sih orang yang gak suka rebahan? Mungkin saat ini orang yang tidak suka rebahan dianggap aneh. Zaman sekarang pasti semua orang tahu apa itu “rebahan”. Sesibuk aktifnya orang kalau ada waktu luang pasti milih buat rebahan bersantai dan berselancar asik di media sosial. Seorang “pengacara” alias pengangguran banyak acara saja butuh rebahan. Untuk kalangan anak muda rebahan pun menjadi hal yang wajib dilakukan agar tidak burnout, katanya. Apalagi buat para remaja jompo yang gerak dikit aja encok seperti kamu yang baca.
Kini rebahan sambil scroll Tiktok seharian menjadi sebuah kegiatan yang melelahkan. Bisa membuat jari-jemari kita pegal karena terus memijat handphone. Bahkan untuk mengubah posisi rebahan dari terlentang ke miring saja itu butuh usaha yang besar. Setelah melakukan kegiatan yang sangat melelahkan tersebut dapat mengganggu mental health. Tapi, tenang semua masalah pasti ada solusinya yaitu healing berupa self reward.
Kelelahan yang berarti ini menjadi alasan yang kuat untuk melakukan self reward. Kelelahan yang dimaksud di sini seperti, usaha untuk berdiam diri di kamar sembari berselancar di sosial media, menarik merapikan selimut, mengirim gosip terkini bersama teman di WhatsApp, menulis to-do list yang tujuan awalnya agar memerinci tugas malah berubah jadi tekanan tidak mengerjakannya karena melihat banyaknya tugas (jadi malah malas mengerjakannya), dan bahkan sekedar berpindah posisi rebahan,
Arti Self Reward secara Normalnya
Kata “Self Reward” sudah sangat nyaman dikenal oleh telinga para Gen Z. Self reward sendiri adalah bentuk menunjukkan rasa terima kasih atas berhasil mencapai tujuan atau melewati proses tertentu. Memberi hadiah kepada diri sendiri sebagai cara untuk menghargai hal yang telah dicapai atau setelah kita melalui masa sulit.
Sebagai contoh, seseorang mungkin memiliki kemungkinan untuk membeli sesuatu yang diinginkan, seperti makanan lezat, setelah menyelesaikan ujian.
Salah satu kajian dari Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul menyatakan bahwa self reward adalah bentuk cara menghindari diri dari stres yang berlebih.
Anggapan Mental Health Nomor Satu
Pada era modern ini dengan kemudahan akses sosial media munculnya anggapan “aku berhak bahagia” dan banyak bermunculan kampanye mengenai mental health.
Sebenarnya mentalitas tersebut bukan merupakan hal yang buruk. Anggapan “aku berhak bahagia” bisa menjadi pegangan dan pengingat jika melakukan usaha dalam hidup perlu berhenti sejenak untuk membahagiakan diri.
Pernyataan “aku berhak bahagia” dapat menjadi perlindungan pada kesehatan mental dan bentuk penghargaan pada diri sendiri. Di tengah masyarakat yang memiliki pola pikir bahwa kelelahan atau kerja keras adalah tolok ukur keberhasilan kesuksesan kehidupan. Dengan adanya kampanye mengenai mental health dengan menolak standar kehidupan atas pencapaian yang membebani kita dan berkebalikan dengan usaha menjaga kesehatan mental.
Namun, seiring berjalannya waktu pada akhirnya mentalitas ini berubah menjadi bumerang bagi diri sendiri. Anggapan “aku berhak bahagia” justru malah menjadi senjata alasan pembenaran atas hedonisme, pemborosan, dan kemalasan.
Memang pada dasarnya kebahagiaan adalah hak asasi semua orang sebagai penjagaan terhadap kesehatan mental tetapi, bukan berarti menjadi pembenaran atas perilaku pemborosan untuk memuas diri dengan menghalalkan segala cara yang justru merugikan kita.
Baca Juga: Ayobandung.id Ajak Mahasiswa se-Bandung Raya Menulis di AYO NETIZEN
Penyiksaan Dompet

Dompet, entah itu digital maupun konvensional secara tertutup menjadi korban yang paling sering dianiaya. Karena ia terus terjebak dalam kemiskinan demi keuntungan pribadi. Jika dia bisa bicara, ocehannya mungkin lebih pedas dari nasi kucing dua karet angkringan.
Alih-alih tidur, ia hanya bisa menghela napas saat membeli barang di tengah malam. Seolah-olah generasi sekarang percaya bahwa belanja, makan makanan yang enak, atau pengobatan cepat akan menyembuhkan setiap emosi negatif.
Akibatnya, dompet menjadi tameng untuk kebahagiaan yang sementara. Kita merelakan nyawa dompet terkikis terus menerus demi kebahagiaan yang cepat dan terburu-buru.
Baca Juga: Menulis di Ayobandung.id seperti Melukis, Kamu Tak Perlu Dituliskan oleh AI
Baik Vs Buruk
Banyak dari Gen Z beranggapan salah satu cara terbaik untuk mengatasi stres dengan membahagiakan diri sendiri adalah bentuk penyembuhan diri dari segala tekanan kehidupan. Setelah seharian bekerja keras, tubuh dan mental sangat membutuhkan penyegaran kembali.
Apalagi, dengan banyak pilihan hiburan yang tersedia di ujung jari, seperti belanja online, layanan streaming, atau bahkan makan enak melalui aplikasi pengiriman makanan akan datang sendirinya sedangkan kita tetap rebahan, sulit untuk menahan keinginan untuk menonton. Ini adalah awal masalah.
Awalnya anggapan “aku berhak bahagia” memiliki tujuan yang positif untuk menjaga kesehatan mental. Self reward menjadi bentuk keseimbangan kehidupan (work life balance) antara kerja keras usaha dalam menjalani kehidupan dan memberi apresiasi atas kerja keras tersebut.
Namun, self reward menjadi buruk ketika kesehatan mental menjadi alasan dihalalkannya perilaku konsumtif. Self reward bukan jadi bentuk apresiasi diri atas kerja keras justru menjadi apresiasi diri karena kita bosan tidak melakukan sesuatu.
Ketika self reward yang dilakukan secara sering hal itu membuat tingkat kepuasan kita juga menurun dan menganggap self reward adalah hal yang biasa. Kemudian mendorong kita untuk melakukan hal yang lebih besar dan lebih merugikan. Namun, kembali lagi kepada individu masing-masing dalam mengaturnya. Semua hal yang berlebih-lebihan itu tidak baik kita melakukan hal sesuai dengan porsinya.
Baca Juga: Kamu Dapat Berbagi Cerita tentang Bandung Raya ke AYO NETIZEN
Solusi bagi Kaum Rebahan
Rebahan sebagai cara mengistirahatkan fisik ketika lelah itu bukan menjadi masalah. Self reward juga suatu hal yang salah jika dilakukan dengan alasan sekadar impulsif yang membenarkan pemborosan dengan dalih demi kebahagiaan diri sendiri.
Mulailah dengan mengubah pola pikir bahwa tidak semua emosi negatif harus segera diobati dengan memberi hadiah yang merugikan dompet kita. Healing tidak harus mengeluarkan biaya banyak cara healing yang tidak perlu mengeluarkan biaya seperti , menikmati waktu sendiri dengan menulis buku, journaling, menonton video hiburan yang membuat kita lebih rileks, dan masih banyak cara lainnya.
Reward atau hadiah yang kita dapat ketika sudah melewati proses yang sulit dan kerja keras akan terasa lebih bermakna bagi kebahagiaan diri. (*)
Penulis, Sekar Aghna Az Zahra, adalah mahasiswa Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sebelas Maret Surakarta.