Kota Bandung disebut kota termacet se-Indonesia pada 2024 oleh lembaga riset internasional yang berkantor di Belanda, TomTom. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al- Faritsi)

Beranda

Di Antara Macet dan Ongkos Mahal, Warga Kota Bandung Rindu Transportasi Umum yang Manusiawi

Minggu 21 Sep 2025, 10:58 WIB

AYOBANDUNG.ID – Di sejumlah titik jalan arteri dan lampu merah Kota Bandung, ratusan bahkan ribuan kendaraan bermotor merantai seperti ular raksasa yang tak bergerak pada jam-jam sibuk. Suara klakson bersahutan, berbalas dengan wajah lelah dan kening berkerut orang-orang yang akhirnya memilih pasrah, terkurung di pusaran kemacetan.

Pemandangan semacam ini bisa ditemui saban pagi dan sore di Kota Bandung. Kota yang dahulu dijuluki “Paris van Java” itu kini perlahan berubah cap menjadi “Padet bin Macet”. Label kota romantis kian memudar, tergantikan oleh stigma kemacetan tanpa henti.

Masih ragu? Cobalah melintas di jalan-jalan seperti Asia Afrika, Terusan Jakarta, Pasteur, Kopo, Soekarno-Hatta, hingga Cibiru. Berdasarkan laporan TomTom Traffic Index 2024, rata-rata waktu tempuh di Kota Kembang mencapai 32 menit 37 detik per 10 kilometer. Angka itu menempatkan Bandung di peringkat pertama di Indonesia sekaligus ke-12 di dunia dalam kategori waktu perjalanan terlama di jam sibuk.

Untuk jarak tempuh 10 kilometer, Bandung bahkan mengungguli Medan (32 menit 3 detik), Palembang (27 menit 55 detik), Surabaya (26 menit 59 detik), dan Jakarta (25 menit 31 detik). Meskipun Jakarta tercatat memiliki tingkat kemacetan lebih tinggi, yakni 43 persen, waktu tempuhnya justru lebih singkat. Karena itu, ibu kota hanya menempati urutan kelima nasional.

Kemacetan kini bukan sekadar tantangan, melainkan bagian tak terpisahkan dari identitas Bandung. Ia hadir sejak mentari terbit hingga kembali tenggelam, merampas waktu, mengikis kesabaran, dan mengubah tawa menjadi keluhan.

Bayangkan, satu kilometer perjalanan bisa memakan waktu hingga satu jam. Atau sebuah pertemuan penting harus batal hanya karena terjebak di persimpangan jalan. Cerita-cerita semacam ini bukan lagi bualan, melainkan realitas sehari-hari yang dialami jutaan warganya.

Transportasi umum di Kota Bandung yang murah, nyaman, dan terintegrasi sangat dibutuhkan warganya dalam mendukung aktivitas sehari-hari. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Ongkos Mahal

Nasya Melody (18) bercerita tentang perjalanan sehari-hari yang harus ditempuh dari rumahnya di Cisaranten Kulon, Arcamanik, menuju kampusnya di Jalan Pasir Kaliki, Kota Bandung.

Sebagai mahasiswa baru program studi Digital Psikologi, Nasya masih bersemangat meski harus menempuh perjalanan sekitar 13 kilometer setiap hari. Ia lebih sering memesan jasa ojek online dibandingkan naik transportasi umum. Alasannya sederhana: akses menuju transportasi umum cukup jauh, dan ia harus berpindah-pindah angkot sebelum akhirnya bisa naik bus dari Terminal Cicaheum ke arah Pasir Kaliki.

Menurut Nasya, perjalanan dengan ojol memang lebih praktis, tetapi tetap saja sering terjebak macet di beberapa titik. Rute yang kerap ia lalui di antaranya Jalan Terusan Jakarta, Laswi, Asia Afrika, Jalan Kelenteng, hingga Pasteur. Semua jalur itu hampir selalu padat pada jam-jam tertentu.

Biaya perjalanan pun tidak sedikit. Untuk pulang-pergi, Nasya harus merogoh kocek sekitar Rp70 ribu per hari. Jika menggunakan angkot, ongkos memang lebih murah, tetapi ia mengaku sering kebingungan dengan trayek dan warna angkot yang beragam di Kota Bandung. Belum lagi ada sopir yang kadang mematok harga lebih mahal meskipun jaraknya dekat.

"Dengan ongkos 70 ribu sehari sih lumayan ya, karena orang tua juga harus ngasih uang jajan," katanya.

Karena itu, ojol menjadi pilihan utama. Baginya, meskipun lebih mahal, jalur yang ditempuh relatif lebih jelas, dan ia tidak perlu repot mencari-cari angkot. Ia pun hanya bisa bersabar menghadapi titik-titik macet langganan di sepanjang perjalanan.

Menurut data BPS Kota Bandung, jumlah angkutan kota atau angkot pada 2020 mencapai 5521 unit. Namun jumlah tersebut berkurang setelah pandemi dan munculnya berbagai macam platform angkutan umum daring. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al- Faritsi)

Nasya pernah mencoba naik angkot, namun pengalaman yang kurang menyenangkan membuatnya enggan mengulang. Selain persoalan tarif, ia merasa kenyamanan transportasi umum di Bandung masih kurang.

Dia juga mengku pernah mencoba memakai bus, namun setali tiga uang. kurang nyaman. Salah satu yang cukup mengganggu, katanya, adalah keberadaan tunawisma yang tidur di halte-halte bus. Pemandangan itu sering ia temui saat menunggu, dan membuatnya waswas. Menurutnya, hal itu menurunkan kenyamanan pengguna transportasi umum, terutama bagi perempuan yang harus bepergian seorang diri.

"Sering juga lihat orang orang homeless (tunawisma) yang diam di situ dan bahkan sampai tiduran. Jadi sedikit mengganggu aja sih buat kenyamanan menunggu, kan takutnya gimana gitu," tuturnya.

Ia berharap transportasi umum di Bandung bisa lebih berkembang dan aksesnya makin mudah dijangkau. Baginya, meskipun layanan transportasi daring semakin marak, masih banyak warga yang bergantung pada bus dan angkot.

Sebagai mahasiswa, intensitas perjalanannya cukup tinggi. Ia tahu beberapa temannya masih memilih bus atau angkot karena rute mereka lebih dekat dengan jalur tersebut. Namun bagi dirinya, pilihan paling realistis saat ini tetap menggunakan ojol.

Ia juga meminta instasi terkait agar melakukan perbaikan akses transportasi umum dibarengi dengan literasi digital yang lebih masif bagi warga Bandung. Menurutnya, wacana menghadirkan angkot pintar tidak bisa dilepaskan dari pemahaman digital masyarakat.

Akses Angkot Terbatas

Pengalaman serupa juga dialami Mochammad Syahrial (35). Pria yang bekerja di wilayah Cinambo ini bercerita bagaimana ia dan motornya harus berjibaku dengan kemacetan setiap hari.

Berangkat dari rumahnya di Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Rial punya cara klasik untuk menyiasati padatnya lalu lintas Kota Bandung: memilih jam berangkat dan pulang di luar waktu sibuk.

Ia mengaku jarang terjebak kemacetan parah karena jam masuk kerja lebih siang dan pulang lebih malam. Namun, tetap saja ada titik-titik rawan yang kerap membuatnya melambat, seperti kawasan Borma Cikutra dekat Taman Makam Pahlawan.

Rial bercerita bahwa ia harus mengeluarkan sekitar Rp30 ribu setiap hari untuk membeli bahan bakar motornya. Biaya bahan bakar itu, menurutnya, setara dengan 10 persen dari pendapatannya per hari. Beban itu semakin terasa karena jalur pulangnya banyak menanjak.

Meski tidak sering terjebak macet panjang, Rial tetap merasakan dampak keterlambatan.

"Kalau lalu lintas lagi lumayan padat, atau ada kemacetan,seenggaknya ada minimal 15 menit yang terbuang, kalau lagi kena macet yang parah, bisa lebih dari itu," tuturnya.

Menurutnya, setiap detik sangat berharga. Karena itu, ia punya beberapa cara untuk menghindari macet. Rial biasanya tidak keluar rumah pada jam sibuk pagi dan sore, menghindari momen libur panjang, serta menahan diri untuk tidak bepergian setelah hujan deras karena sejumlah titik jalan kerap banjir. Jika terpaksa harus keluar, ia memilih mencari jalan alternatif meski harus masuk ke gang-gang sempit.

Deretan angkutan umum di Jalan Stasiun Timur. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al- Faritsi)

Senada dengan Nasya, Rial sebetulnya bukan tidak ingin naik transportasi umum. Namun, rasa takut terlambat dan sulitnya akses membuatnya lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Di Ciburial, tidak ada angkot yang bisa langsung ia naiki. Jika harus naik angkot, ia mesti berganti-ganti trayek, yang tentu menyita waktu. Alternatif lain adalah naik ojek, tetapi biayanya bisa empat kali lipat dibandingkan membawa motor sendiri.

Rial menyampaikan harapannya agar transportasi umum di Bandung bisa lebih tertata, nyaman, dan murah. Baginya, setiap warga berhak mendapat pelayanan publik yang layak, salah satunya berupa transportasi umum yang mudah diakses.

Ia menekankan bahwa pemerintah seharusnya tidak hanya menyediakan angkutan umum yang ramah, baik, dan terjangkau, tetapi juga memberikan sosialisasi serta edukasi kepada masyarakat. Dengan begitu, warga yang sudah terbiasa memakai kendaraan pribadi mau beralih menggunakan transportasi umum.

Pasrah Saja

Kemacetan di Jalan Setiabudi, tepatnya dari pintu masuk Universitas Pendidikan Indonesia hingga Terminal Ledeng, sudah menjadi langganan tetap bagi Ariskha Nur Syafira (21). Perempuan asal Lembang yang bekerja di sebuah lembaga pemerintahan di Jalan Dr. Djunjunan ini kerap harus menyiapkan kesabaran ekstra setiap kali berangkat maupun pulang kerja.

Satu tahun bekerja di Bandung, Ariskha sudah berkali-kali merasakan bagaimana lampu merah Pasteur dan jalur Setiabudi seolah menjadi ujian harian. Ia bercerita pernah terjebak di dalam angkot lebih dari satu jam hanya untuk menempuh perjalanan dari Pasteur menuju Paris Van Java Mall. Hujan deras, banjir, dan kendaraan yang berhenti di jalan membuat lalu lintas lumpuh total.

Biasanya, ia berangkat sekitar pukul 06.30 WIB agar bisa tiba di kantor sebelum pukul 08.00 WIB. Namun, kemacetan di kawasan UPI sudah menyambut sejak pagi hari, dan situasi semakin parah ketika jam pulang kerja.

Kenangan yang paling membekas adalah saat hujan deras mengguyur kawasan Dr. Djunjunan. Genangan air di dekat D’Botanica Mall (BTC) membuat arus lalu lintas tersendat. Ariskha terjebak lebih dari 60 menit di dalam angkot, menunggu banjir surut. Waktu perjalanan ke rumahnya di Lembang pun molor, bahkan sampai menjelang malam.

Meski sering kali macet, Ariskha tetap berusaha menggunakan angkutan umum jika pulang lebih awal. Namun, ia tak menampik bahwa pilihan moda transportasi umum di Bandung memang tidak mudah. Menurutnya, banyak warga yang akhirnya memilih transportasi daring karena lebih praktis dan cepat, terutama saat harus buru-buru.

Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan di Jembatan Layang Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Kota Bandung, Jumat 19 September 2025. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)

“Sebetulnya opsi transportasi umum cukup beragam, tapi peminatnya semakin berkurang karena sudah ada layanan yang bisa dipesan lewat ponsel. Kecepatan menjadi harga mahal yang harus dibayar,” ujarnya.

Soal biaya, angkutan umum pun tidak selalu murah. Dalam satu hari, ongkos perjalanan bisa mencapai Rp25 ribu. Jika dihitung sebulan, pengeluaran itu membebani sekitar seperempat penghasilannya. Belum lagi jika terpaksa naik ojol dari Pasteur menuju Lembang, tarifnya bisa menembus Rp50 ribu hingga Rp60 ribu sekali jalan.

Bagi Ariskha, salah satu penyebab utama kemacetan di Bandung adalah lonjakan jumlah kendaraan pribadi. Pertumbuhan jalan baru tidak sebanding dengan peningkatan volume kendaraan, sehingga ruang gerak semakin sempit dan arus lalu lintas makin tersendat.

“Kendaraan pribadi semakin banyak, jadi penyumbang terbesar kemacetan. Sementara pertumbuhan jalan baru nyaris tidak ada,” tuturnya.

Dilema antara Murah dan Kecepatan

Keluhan soal transportasi umum juga datang dari Kania Rahmatika, mahasiswa semester lima jurusan PGSD Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati, Kota Bandung. Sambil menunggu bus berangkat dari Halte Bus Damri Elang–Cibiru, ia menuturkan pandangannya tentang penyebab kemacetan di Bandung yang menurutnya tak lepas dari dominasi kendaraan pribadi.

“Jalanan di Bandung seperti dipenuhi kendaraan pribadi, entah sepeda motor atau mobil. Pada jam-jam tertentu, kemacetan di beberapa titik ruas Jalan Soekarno-Hatta bisa sangat parah,” ucapnya.

Kania menempuh perjalanan sekitar 15 kilometer setiap hari, dari rumahnya di Pasteur menuju kampus di Cibiru. Dalam kesehariannya, ia hanya memiliki dua pilihan transportasi efektif: bus atau ojek online. Pilihan pertama lebih murah, namun lambat. Pilihan kedua lebih cepat, tetapi ongkosnya jauh lebih mahal.

“Naik bus dari Elang ke Cibiru hanya Rp4 ribu sekali jalan, jadi pulang-pergi Rp8 ribu. Tapi kalau naik ojol, biayanya bisa Rp35 ribu sekali jalan,” katanya.

Bus Damri di halte Jalan Elang Raya. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)

Dilema itu membuat Kania harus pandai-pandai mengatur waktu sekaligus uang saku dari orang tuanya. Ia menyadari hampir setengah dari bekal hariannya harus dialokasikan untuk ongkos perjalanan agar bisa pulang dengan selamat ke Pasteur.

“Jadi memang harus bijak. Pilih cepat tapi mahal, atau pilih murah tapi harus siap macet dan lama,” ujarnya.

Di balik keluh kesah terjebak macet, ada harapan yang sama-sama disuarakan warga Kota Bandung: transportasi umum yang murah, nyaman, dan bisa diandalkan. Mereka ingin bisa berangkat tanpa waswas soal ongkos yang mencekik, duduk dengan tenang tanpa rasa sempit atau khawatir, serta berpindah dari satu moda ke moda lain tanpa harus berjibaku dengan kerumitan trayek. Lebih dari itu, warga mendambakan hadirnya transportasi yang tepat waktu, agar hidup mereka tak lagi diatur oleh kemacetan yang seolah tak kunjung menemukan ujung.

Tags:
Transportasi umumKemacetan Kota BandungAngkot Bandung

Ikbal Tawakal

Reporter

Andres Fatubun

Editor