Air Sungai Cibitung di Kabupaten Bandung Barat meluap akibat tak mampu lagi menahan debit besar akibat hujan deras. (Sumber: sekitarbandung.com)

Beranda

Sinyal Krisis Ekologis Mengintai Jawa Barat

Jumat 05 Des 2025, 07:38 WIB

AYOBANDUNG.ID - Hujan deras yang mengguyur sejumlah kawasan di Jawa Barat pada Kamis, 4 Desember 2025, menunjukkan betapa rentannya Jabar terhadap bencana hidrometeorologi. Dalam waktu hampir bersamaan, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Subang dilanda banjir dengan karakter berbeda namun berakar pada persoalan serupa: tekanan ekologis yang kian meningkat dan tata lingkungan yang tak lagi mampu menahan limpasan air.

Di Kabupaten Bandung Barat, air dari Sungai Cibitung tak mampu lagi menahan debit besar yang turun sejak siang. Luapannya berubah menjadi banjir bandang yang menyapu Desa Mukapayung, Kecamatan Cililin. Lokasi wisata, kolam ikan, dan hamparan sawah menjadi sasaran pertama sebelum air menyebar ke empat RW yang berada lebih rendah.

"Iya betul kejadian tadi sekitar pukul 16:00 WIB, banjir bandang terjadi dari sungai Cibitung. Sampai saat ini yang terdampak ada 4 RW. RW 12,15,18, dan RW 16," ungkap Kepala Desa Mukapayung, Firman Supianto Hadi saat dikonfirmasi.

Air yang masuk dengan kecepatan tinggi menandai terjadinya kiriman dari hulu. Firman menjelaskan bahwa hujan deras yang turun sejak pukul 13.00 WIB membuat aliran sungai tak lagi bisa dikendalikan. Volume yang terus meningkat mendorong air keluar dari palung sungai dan menyapu areal produktif yang berada di sekitarnya.

"Sampai sekarang sekira pukul 16.30 WIB hujan masih berlangsung dan banjir di lokasi juga masih besar," kata Firman.

Fasilitas publik menjadi korban pertama. Obyek wisata Lembah Curugan Gunung Putri lumpuh dihantam arus. Kolam budidaya ikan milik Bumdes rusak, sementara lima hektare lahan sawah warga terseret lumpur dan material banjir. Firman memastikan permukiman masih aman, namun kondisi cuaca membuat semua pihak tetap siaga.

"Yang terdampak ada obyek wisata, tempat kuliner, aset Bumdes seperti kolam ikan, dan lahan pertanian warga. Belum sampai ke permukiman karena memang agak jauh," paparnya.

Selain banjir bandang, longsor juga muncul di beberapa titik. Kontur tanah yang labil dan curah hujan tinggi menciptakan kombinasi yang berbahaya. Aparat desa dan relawan kini melakukan penelusuran menyeluruh untuk memastikan tidak ada warga yang terjebak ataupun infrastruktur vital yang rusak parah.

"Untuk korban jiwa tidak ada, kita sudah sampaikan imbauan kepada warga agar mewaspadai jika turun hujan lebat," tandasnya.

Sementara itu, di Kabupaten Subang, ancaman datang dari luapan sungai dan air pasang. Situasinya berbeda dari Cililin, namun sama-sama dipicu oleh curah hujan tinggi. Ratusan rumah terendam, terutama di kawasan permukiman yang berada dekat pesisir dan bantaran sungai.

Kapolres Subang, AKBP Dony Eko Wicaksono menyebut air naik ke rumah warga setelah sungai melimpas. “Itu sungai meluap tapi masuk ke rumah warga. Anggota lagi di sana. Bukan banjir, nggak ada. Itu air sungai meluap,” ujarnya.

BPBD Jawa Barat mencatat dua sumber penyebab: limpasan sungai dan banjir rob. Di Desa Mayangan, air pasang memperparah genangan. Ratusan rumah terendam, dengan ratusan keluarga terdampak. Situasi serupa terjadi di Legonkulon yang mencatat hampir 500 rumah terendam.

"Hingga saat ini, kondisi banjir masih berlangsung dan berpotensi mengalami peningkatan. Kami mengimbau warga untuk tetap waspada dan mengikuti arahan dari petugas di lapangan," tutur Pranata Humas BPBD Jabar, Hadi Rahmat.

Rentetan kejadian dalam satu hari itu menyampaikan pesan penting: Jabar berada di jalur rawan bencana. Dalam dokumen Kajian Risiko Bencana 2025, potensi luasan bahaya banjir di provinsi ini mencapai 1,3 juta hektare dan berstatus tinggi. Banjir bandang mengintai hampir 200 ribu hektare wilayah lain, terutama kabupaten yang memiliki daerah hulu rentan.

Fakta itu diperburuk oleh tren degradasi lingkungan. Dalam dua tahun terakhir, tutupan hutan di Jawa Barat menyusut hingga 43 persen. Berkurangnya pohon dan tutupan vegetasi mengurangi kemampuan tanah menyerap air dan menahan erosi, dua fungsi yang vital untuk mencegah banjir bandang dan longsor.

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Wahyudin Iwang menilai situasi ini bukan hanya soal cuaca ekstrem. "Banjir bandang, longsor, tanah amblas serta fenomena bencana alam lainnya bukan semata-mata pemicunya intensitas hujan yang tinggi, atau biasa sering dikatakan sebagai bencana hidrometeorologi," ucapnya.

Ia mencatat pembukaan lahan untuk tambang, properti, pariwisata, hingga proyek strategis nasional berlangsung masif tanpa diikuti kontrol yang memadai. Selain itu, lemahnya penegakan hukum membuat kerusakan terus terjadi tanpa rem yang jelas.

"Upaya pencegahan, pemulihan serta perbaikan lingkungan masih dapat dikatakan nyaris tidak dilakukan oleh pemerintah, bahkan pemerintah terkesan turut andil melegitimasi kerusakan lingkungan yang terus menerus," katanya.

Walhi juga menyoroti perusahaan tambang yang izin operasinya telah habis namun tetap berjalan tanpa sanksi, serta ratusan titik tambang ilegal yang beroperasi dalam radius permukiman. Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan permukiman dan industri semakin memperkecil resapan air.

Serangkaian dua banjir pada Kamis lalu bukan sekadar kejadian harian yang berulang, melainkan sinyal dari persoalan yang lebih dalam. Jawa Barat menghadapi ancaman ekologis yang menumpuk, dan setiap curah hujan ekstrem berpotensi mengubah ancaman itu menjadi kenyataan di lapangan.

Iwang mendesak agar pemerintah memperketat aktivitas di kawasan hutan dan memperkuat penegakan hukum sebelum kondisi berubah menjadi krisis ekologis yang lebih parah. "Pemerintah penting dan harus menjalankan rencana mitigasi dengan serius," pungkasnya.

Tags:
Lingkungan hidupJawa Barat

Gilang Fathu Romadhan, Restu Nugraha Sauqi

Reporter

Andres Fatubun

Editor