AYOBANDUNG.ID - Dosen Sosiologi UIN Bandung, Chisa Belinda Harahap, secara tegas menyampaikan adanya bahaya sosiologis terhadap kualitas generasi Indonesia. Bahaya ini dipicu oleh tekanan sosial berupa narasi biological clock yang menuntut perempuan untuk mengambil keputusan pernikahan terburu-buru, bukan karena kesiapan.
Istilah biological clock ini digunakan untuk menggambarkan tekanan waktu yang dialami individu, berkaitan dengan usia dan kemampuan biologis tubuh.
Dalam konteks kemampuan reproduksi, walaupun laki-laki dan perempuan memiliki penurunan kualitas biologis yang sama. Namun, narasi ini lebih sering ditekankan kepada perempuan terkait masa suburnya.
Sehingga, dalam fase hidupnya perempuan seringkali dituntut untuk mengambil keputusan berdasarkan pada tekanan sosial yang ada di masyarakat.
“Artinya (biological clock) ini bisa dibilang sebagai periode yang harus perempuan itu lakukan dalam kehidupan mereka, usia segini harus segini, lalu di atas usia 30 sudah dianggap tua,” ucap dia saat diwawancarai di Kampus 1 UIN Sunan Gunung Djati Bandung (3/12/2025)
“Padahal sebetulnya yang menganggap tua dan muda bukan lagi biologisnya. Tapi, dari perspektif sosial masyarakat,” tambahnya.
Beban stigma dan narasi biologis ini bisa berimplikasi luas, lebih dari sekadar personal perempuan saja. Misalnya dari kesehatan mental, keputusan dalam pernikahan yang tidak berbekal kesiapan, dan menimbulkan dinamika demografi yang panjang.
“Kalau kita ngomongin kuantitas, itu mungkin tidak terlalu berdampak signifikan, tapi pada kualitasnya,” ucap dia.
“Misalnya orang tuanya tidak mengerti cara mengasuh pola asli yang baik seperti apa, lalu tumbuh kembangnya, bahkan secara ekonomisnya seperti apa. Karena sekali lagi menikahnya bukan karena kesiapan, tapi karena tuntutan,” jelasnya.
Tidak hanya dari aspek sosial, media juga memiliki peran utama sebagai pembentuk narasi publik yang utama. Misalnya tokoh perempuan lajang dalam film, biasanya digambarkan negatif. Anggapan ini sering dikaitkan dengan perawan tua atau ‘tidak laku’.
Chisa berpendapat bahwa media arus utama ini masih memperkuat stereotip tradisional. Namun, media-media modern sudah cukup punya pembanding untuk menggeser stereotip lama tersebut.
“Ada paradoks, kadang kesendirian ini dianggap sebagai bahan olok-olok, artinya kita bisa meromantisasi kelajangan ini. Tapi juga di sisi lain, olok-olok tersebut bisa saja memuat konten biar perempuan itu segera menikah, jadi ada dua sisi sebetulnya,” tambahnya.
Sebagai penutup, Chisa berharap setiap lapisan masyarakat bisa menumbuhkan kesadaran terkait pentingnya menggeser stereotip lama yang menuntut keputusan vital dilakukan terburu-buru karena tekanan sosial semata.
Pertama, dia menyarankan dari keluarga, contoh kecilnya menghilangkan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah ke tekanan sosial, contohnya menikah, kapan hamil dan lain sebagainya.
Kedua, di institusi pendidikan, diharapkan bukan cuma sekedar simbolisasi saja, tapi harus diinternalisasi bukan hanya dari peserta didik, tapi dari pendidiknya itu sendiri.
"Ketiga, dari institusi kesehatan, harus mendukung setiap keputusan reproduksi yang ingin diambil oleh perempuan,” pungkasnya.
Beranda
Tekanan Biological Clock dan Ancaman Sosial bagi Generasi Mendatang
Jumat 12 Des 2025, 13:56 WIB