Ruang digital bukan sekadar saluran, melainkan juga altar baru tempat orang mencari makna. (Sumber: Pexels/MATAQ Darul Ulum)

Mayantara

Hijrah Pergerakan dan Gawai, Saat Dakwah Menemukan Ruang Digital

Jumat 25 Jul 2025, 14:03 WIB

Di zaman ketika banyak ruang publik bergeser ke ruang digital, sebagian anak muda memilih jalan sunyi yang kian hari justru semakin ramai. Mereka berkumpul bukan di aula masjid atau aula kampus, tetapi dalam notifikasi WhatsApp yang berdenting sepanjang malam.

Salah satunya adalah komunitas Kopdar Masjid Bandung Raya, tempat di mana dakwah tidak lagi berbentuk ceramah satu arah, melainkan dialog yang terus bertumbuh dari layar ke laku.

Grup WhatsApp ini telah menjelma menjadi simpul gerakan. Mereka tidak sekadar berbagi tautan kajian atau mengirim stiker Islami, tetapi juga merancang kerja sosial yang konkret.

Mereka menyebarkan poster dakwah, menyuplai dana untuk mualaf yang rutin mengikuti bimbingan setiap Minggu pagi, mendistribusikan 62 ribu paket makanan untuk semangat iftar berjamaah, bahkan hingga urunan bagi Binatang di Bandung Zoo yang sempat kesulitan imbas pandemi.

Semuanya lahir dari satu prinsip: bahwa keimanan butuh diwujudkan dalam perbuatan, bukan hanya narasi.

Tidak ada struktur organisasi yang kaku. Tidak ada panitia yang tercetak di baliho, namun setiap gerakan dirasakan teratur. Kolaborasi terjalin antara aktivis masjid dari berbagai penjuru Bandung Raya (Kota Bandung, Kab. Bandung, Kota Cimahi, dan Kab. Bandung Barat).

Satu pihak merancang materi, yang lain mendesain poster, ada yang mengatur logistik, dan ada pula yang diam-diam mentransfer donasi. Semuanya dilakukan dengan satu semangat bersama: menjadikan teknologi sebagai ruang amal, bukan sekadar saluran komunikasi.

Para penggeraknya juga sadar bahwa tidak semua orang cocok gaya ceramah massal. Maka mereka memilih pendekatan lain: tarbiyah berseri, sistematis, dan penuh empati.

Salah satu contohnya adalah 24 episode kajian tentang Ummahatul Mukminin yang ditayangkan di YouTube DKM Arrahman Kab Bandung Barat serta disebar pelan-pelan di aneka WAG. Ada yang menyimaknya sambil menunggu kereta, ada yang mendengarkannya saat mencuci piring.

Apa yang terjadi di komunitas ini dapat dibaca sebagai bentuk dari apa yang disebut Quintan Wiktorowicz (2004) sebagai Islamic activism. Ia bukan sekadar semangat keagamaan, melainkan suatu tindakan kolektif yang berakar pada kesadaran ideologis, kepedulian sosial, dan struktur jaringan.

Dalam aktivitas ini, Islam tidak hanya diajarkan, tetapi dijalankan secara komunal, merespons tantangan zaman melalui kerja yang terukur dan terhubung.

Wiktorowicz menekankan, Islamic activism bertumpu pada tiga fondasi: gagasan yang diyakini, komunitas yang terorganisasi, dan aksi yang dilakukan bersama. Komunitas Kopdar Masjid BDG Raya memenuhi ketiganya.

Mereka membentuk narasi keagamaan yang segar namun berbasis dalil, mengatur diri dalam ruang digital yang inklusif, serta merealisasikan ajaran dalam bentuk solidaritas nyata. Di sinilah agama hidup dalam bentuknya yang paling otentik: menjadi penggerak dan pengikat kehidupan sosial. 

Dalam kacamata lain, Ini bisa juga disebut sebagai praktik resistensi kultural, tepatnya adalah cara anak muda Muslim zaman now menegosiasikan identitas mereka di tengah era distraksi. Grup WhatsApp itu menjadi jembatan antar-masjid, penghubung antar-aktivis, dan ruang yang mempertemukan niat baik dengan gerak nyata.

Tetapi seperti semua ruang digital, ia juga mengandung potensi bias. Tidak semua narasi yang beredar sudah tervalidasi, tidak semua ustaz punya otoritas keilmuan yang kuat. Namun di sinilah dinamika itu menjadi refleksi, dan bukan menjadi distorsi tak bertepi.

Mimbar Baru

Saluran digital islami kini telah jadi hal lumrah dan mudah ditemukan. (Sumber: Pexels/esralogy)

Jeff Zaleski (1997), dalam karya sohornya, The Soul of Cyberspace: How New Technology Is Changing Our Spiritual Lives, pernah menuliskan, “cyberspace is not just a tool, but a realm where spiritual experiences are increasingly mediated and shaped.”

Artinya, ruang digital bukan sekadar saluran, melainkan juga altar baru tempat orang mencari makna. Dan itu persis yang sedang terjadi di WhatsApp Group tersebut: layar ponsel menjadi ruang sunyi yang menghadirkan Tuhan dalam bentuk yang bisa diputar ulang, dikirim ulang, dan direnungkan sendiri-sendiri.

Dunia maya tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi membentuk pengalaman batin, memungkinkan orang mengalami pencarian makna dalam ruang tidak berbatas.

Apa yang dulu hanya mungkin terjadi di halaqah atau ormas Islam pionir, kini berpindah ke WhatsApp, Telegram, atau YouTube. Dan di dalamnya, iman tidak kehilangan nyawanya, justru menemukan cara baru untuk tumbuh.

Tentu, tidak semua pihak langsung menerima cara dakwah demikian. Beberapa pengurus masjid lama menganggapnya sebagai bentuk pemisahan dari tradisi. Tetapi anak-anak muda ini tidak datang untuk melawan, mereka hadir untuk menambal renggang.

Juga, menawarkan pola yang lebih adaptif tanpa memutus akar karena mereka membaca perubahan zaman dengan mengubah layar menjadi panggung dakwah yang tenang namun konkrit.

Dalam komunitas ini, tidak ada suara yang lebih tinggi dari yang lain. Setiap orang bisa menjadi penggerak, setiap ide bisa menjadi program. WhatsApp menjadi semacam ruang musyawarah yang cair dan tempat saling menguatkan dan mengingatkan.

Dari sinilah muncul gagasan mengatur jadwal safari dakwah ke daerah pinggiran semacam Gambung dan Naringgul di tepi batas Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur. Bahkan, laporan keuangan kegiatan pun disebarkan terbuka demi membangun kepercayaan.

Hijrah, bagi mereka, bukan sekadar berpindah dari yang lama ke yang baru. Ia adalah keberanian membangun ekosistem keimanan yang bergerak nyata dan relevan dengan zaman.

Dan ketika ruang itu berhasil diciptakan di gawai yang kita genggam setiap hari, maka tidak berlebihan jika kita percaya bahwa Allah SWT pun kini hadir bukan sekedar eksis di balik mimbar. Tetapi juga dalam pesan yang diketik perlahan di layar ponsel, lalu dikirim dengan harap dibaca dengan hati-hati yang tergerak bertindak bersama. (*)

Tags:
dakwah digitalsaluran digitalruang digitalCDiCS

Muhammad Sufyan Abdurrahman

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor