AYOBANDUNG.ID -- Bandung bukan hanya kota dengan udara sejuk dan arsitektur kolonial yang memesona. Kota ini adalah 'rahim' dari gelombang musik yang membentuk identitas Indonesia sejak era 1960-an.
Di masa itu, dentuman rock menggema dari studio-studio kecil, panggung terbuka, hingga ruang-ruang komunitas yang melahirkan legenda seperti The Rollies dan Harry Roesli. Musik bukan sekadar hiburan di kota ini tapi juga menjadi bahasa perlawanan, ekspresi kebebasan, dan penanda zaman.
Sebagai salah satu kota yang disebut sebagai barometer musik Indonesia, Bandung memiliki sejarah panjang dalam melahirkan musisi yang tak hanya menguasai panggung lokal, tapi juga menembus pasar internasional.
Era 70-an menjadi tonggak ketika musisi Bandung mulai menorehkan jejak di luar negeri, membawa semangat eksperimental dan keberanian musikal yang tak dimiliki kota lain. Memasuki dekade 90-an, Bandung kembali menunjukkan taringnya. Kali ini lewat genre independen dan underground yang tumbuh dari akar komunitas.
Pas Band, dengan album debut “For True the Sharp” pada 1994, menjadi pionir musik indie Indonesia. Mereka membuka jalan bagi band seperti Puppen, Pure Saturday, dan banyak lainnya yang menjadikan Bandung sebagai pusat gravitasi musik alternatif.
Musik independen Bandung tak lagi terkungkung dalam metal atau punk. Pop, jazz, elektronik, hingga folk tumbuh subur. Tulus, misalnya, contoh musisi indie Bandung yang sukses secara nasional tanpa meninggalkan akar kreatifnya. Ia membuktikan bahwa independensi bukan halangan untuk meraih panggung besar, melainkan fondasi untuk membangun identitas musikal yang otentik.
Namun, tahun 2008 menjadi titik kelam dalam sejarah musik Bandung. Tragedi di Asia Afrika Cultural Center (AACC) yang menewaskan 11 penonton muda membuat musik independen Bandung dibatasi secara sistemik. Venue menjadi mahal, izin diperketat, dan banyak acara dibubarkan.
“Musik di Bandung kala itu dibilang enggak ada tapi ada, dibilang ada tapi enggak kelihatan,” ujar pengamat musik Idhar Resmadi saat berbincang dengan Ayobandung.
Meski dibatasi, komunitas musik Bandung tak menyerah. Mereka menggelar gigs di studio, pasar, bahkan gunung seperti Puntang dan Pangalengan. Militansi komunitas menjadi penopang utama keberlangsungan ekosistem musik independen. “Mereka bikin sendiri, memanfaatkan ruang alternatif karena tekanan dari tragedi tersebut,” kata Idhar.
Beberapa tahun terakhir, perusahaan rokok mulai melirik musik Bandung sebagai pasar. Gigs kecil bermunculan, tapi Idhar menyebutnya sebagai paradoks. Pasalnya, musik yang dulu lahir dari idealisme kini berhadapan dengan komodifikasi. “Munculnya paradoks ini karena yang dilihat para corporate itu adalah hanya potensi market dan pasar,” ujarnya.
Menurut data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, subsektor musik termasuk dalam 17 subsektor ekonomi kreatif yang aktif di 30 kecamatan. Dari 2022 hingga 2024, tercatat lebih dari 1.200 kegiatan musik independen berlangsung di berbagai titik kota. Angka ini menunjukkan bahwa meski sempat terpuruk, denyut musik Bandung tetap berdetak.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI mencatat bahwa subsektor musik menyumbang lebih dari Rp5,3 triliun terhadap PDB ekonomi kreatif nasional pada 2024, dengan Bandung sebagai salah satu kontributor utama. Angka ini menjadi bukti bahwa musik bukan hanya ekspresi budaya, tapi juga kekuatan ekonomi.
Dengan populasi muda yang dominan, Bandung memiliki basis penonton yang aktif dan loyal. Gigs lokal, merchandise, dan album fisik masih menjadi sumber pendapatan musisi indie. Namun, tantangan baru muncul yakni bagaimana membangun kepercayaan diri di tengah banjir konten digital dan algoritma yang tak selalu berpihak pada karya otentik.
Idhar menekankan pentingnya edukasi penonton agar tak hanya menjadi konsumen, tapi juga pendukung aktif. Dia menegaskan, musik independen membutuhkan ekosistem yang saling menghidupi, bukan sekadar panggung satu arah. “Melalui beli merchandise, tiket, dan album, itu yang bisa menghidupkan,” ujarnya.
Lebih dari sekadar hiburan, Idhar menyebut, musik Bandung harus menjadi alat perjuangan sosial. Di tengah krisis identitas urban, musik harus bisa menjadi medium refleksi dan perlawanan yang elegan. Oleh karenanya, konsistensi menjadi kunci di era digital ini. “Menjadikan musik sebagai alat untuk menyampaikan pesan kritik sosial, Bikin karya yang lebih produktif karena sekarang segala sesuatunya bisa lebih mudah,” ujar Idhar.
Idhar menilai, teknologi memang membuka akses, tapi hanya konsistensi yang bisa menjaga relevansi. Festival musik Bandung kini menjamur, tapi lineup-nya didominasi band luar kota. Idhar mengkritik fenomena ini. “Sayang aja kalau Bandung hanya jadi market,” katanya.
Kota ini harus menjadi panggung bagi talenta lokal, bukan sekadar tuan rumah bagi nama besar dari luar. Idhar menegaskan, musisi Bandung harus mewakili kotanya dengan bangga. Sebab, representasi bukan hanya soal tampil, tapi soal membawa semangat dan narasi kota ke panggung nasional. “Mereka harus mewakili kota ini dengan lebih baik,” tegas Idhar.
Meski potensi besar, Idhar mengakui, infrastruktur dan kebijakan masih belum sepenuhnya mendukung. Venue alternatif, regulasi izin, dan dukungan pemerintah perlu ditingkatkan. Tanpa itu, musik independen akan terus bergantung pada sponsor dan ruang-ruang informal.
Kolaborasi antara musisi, komunitas, pemerintah, dan sektor swasta menjadi kunci keberlanjutan ekosistem musik independen Bandung. Sinergi ini, lanjut Idhar, harus dibangun atas dasar visi bersama, bukan sekadar transaksi.
“Mendirikan musik bukan hanya jadi market tapi menjadikan musik sebagai alat-alat lain. Alat perjuangan sosial, alat untuk menyampaikan pesan kritik sosial, dan sebagainya,” pungkas Idhar.
Alternatif produk fesyen skena atau UMKM serupa: