Kehancuran akibat tragedi Bom Bali 2002 (Sumber: Australian Federal Police)

Ayo Jelajah

Hikayat Tragedi Bom Bali 2002, Teror Terbesar dalam Sejarah Indonesia

Minggu 09 Nov 2025, 15:01 WIB

AYOBANDUNG.ID - Sabtu malam, 12 Oktober 2002. Legian, Kuta, berkilauan oleh lampu neon. Musik house dan techno beradu keras dari bar-bar yang berderet rapat. Turis asing menyesap bir di bawah hawa lembap Bali, menikmati malam panjang yang seolah tak akan pernah habis. Tak ada satu pun yang mengira bahwa malam itu akan tercatat sebagai malam paling gelap dalam sejarah Indonesia modern.

Sekitar pukul sepuluh malam, sebuah mobil berhenti tepat di depan Sari Club. Macet mendadak mengular di Jalan Legian. Beberapa orang berusaha mendorong mobil itu ke pinggir jalan, tidak tahu bahwa di balik bodi besi itu tersimpan ratusan kilogram bahan peledak. Sopirnya baru saja kabur, menyalakan motor yang membawanya menjauh dari pusat keramaian.

Di dalam Sari Club, bartender sibuk mengocok shaker dan menyiapkan koktail bagi pengunjung yang terus berdatangan. Di seberang jalan, Paddy’s Pub bergemuruh oleh tawa turis dan dentuman musik. Lima belas menit kemudian, dunia berubah.

Pukul 23.05 Wita, ledakan pertama mengguncang Paddy’s Pub. Bom dalam tas seorang pelaku bunuh diri meledak di tengah kerumunan. Suara dentuman memekakkan telinga, kaca beterbangan, dan tubuh-tubuh terpental. Mereka yang masih hidup berlarian keluar dengan rambut terbakar dan kulit melepuh. Sebagian menyeberang ke Sari Club, mengira tempat itu aman.

Hanya lima belas detik berselang, bom kedua meledak dari mobil di depan Sari Club. Ledakan kali ini jauh lebih besar, memuntahkan bola api setinggi bangunan dua lantai. Jalan berlubang selebar empat meter dan sedalam hampir satu meter. Gelombang panas menyapu radius ratusan meter, kaca pecah, dan bangunan rubuh seperti domino. Sari Club, simbol gemerlap malam Bali, berubah jadi tungku raksasa.

Baca Juga: Hikayat Pelarian Eddy Tansil, Koruptor Legendaris Paling Diburu di Indonesia

Jeritan dan erangan menggema di tengah asap tebal. Api menjilat atap jerami, membakar manusia hidup-hidup. Banyak yang kehilangan pendengaran karena tekanan ledakan. Tubuh-tubuh bergelimpangan, sebagian hangus, sebagian mencari-cari orang yang mereka kenal di antara reruntuhan. Bau daging terbakar memenuhi udara.

Beberapa menit kemudian, bom ketiga meledak di kawasan Renon, Denpasar, dekat kantor Konsulat Amerika Serikat. Tak ada korban jiwa, tetapi cukup untuk menebar teror bahwa serangan ini bukan sekadar kebrutalan acak. Malam itu, Bali kehilangan wajah surgawinya.

Tengah malam tiba, petugas dan warga berlarian menuju lokasi. Polisi, pemadam, dan ambulans datang dari segala arah. Seorang fotografer tiba dan menatap ngeri: lubang besar di jalan, mayat-mayat bergelimpangan, dan bangunan yang tinggal arang. Ledakan susulan terdengar beberapa kali, entah dari tabung gas atau tangki mobil yang ikut meledak.

Sekitar pukul tiga dini hari, jenazah mulai dievakuasi. Beberapa relawan tak sanggup menahan air mata melihat tubuh yang hancur dan gosong. Suara tangis dan sirine bercampur dalam malam panjang itu.

Total 202 orang tewas dan 209 lainnya luka-luka. Dari 21 negara, Australia kehilangan 88 warganya, Indonesia 38, dan Inggris 28. Ada pula korban dari Amerika Serikat, Jerman, Swedia, Belanda, Prancis, hingga Korea Selatan dan Brasil. Dunia menatap ngeri ke Pulau Dewata yang berubah menjadi kuburan massal.

Dunia terperanjat. Serangan ini terjadi setahun setelah tragedi 11 September di Amerika Serikat. Pemerintah Washington langsung bereaksi: Bali menjadi bukti bahwa terorisme global benar-benar hidup di Asia Tenggara. Bagi pemerintahan George W. Bush, ledakan di Legian adalah konfirmasi bahwa jaringan radikal transnasional masih bergerak.

Pemerintah Australia, negara dengan korban terbanyak, bereaksi paling keras. Perdana Menteri John Howard segera terbang ke Bali lima hari setelah tragedi. Ia berdiri di antara puing-puing, menunduk, dan berjanji kepada warganya bahwa “mereka yang melakukan ini akan diburu sampai ke ujung dunia.” Pemerintah Australia mengirim tim forensik, ahli DNA, serta ratusan penyelidik untuk membantu Indonesia.

Inggris pun bergerak cepat. Perdana Menteri Tony Blair menyebut ledakan di Bali serangan terhadap kemanusiaan. London mengirim tim forensik untuk membantu identifikasi jenazah. Di seluruh dunia, kedutaan besar Indonesia menjadi titik berkabung. Ribuan bunga dikirim dari Australia, Selandia Baru, dan Eropa.

Reaksi internasional itu menempatkan Indonesia dalam sorotan tajam. Dunia menuntut hasil cepat, sementara pemerintah di Jakarta menghadapi tantangan besar: membuktikan bahwa mereka mampu menegakkan hukum dan menindak pelaku dengan adil.

Baca Juga: Hikayat Tragedi Lumpur Lapindo, Bencana Besar yang Tenggelamkan Belasan Desa di Sidoarjo

Drama Perburuan Para Teroris

Empat hari setelah tragedi, polisi mulai memeriksa saksi. Tim gabungan Polri dan kepolisian luar negeri menyisir reruntuhan. Pada 20 Oktober 2002, hasil awal keluar: bom di Paddy’s berjenis TNT, di Sari Club menggunakan RDX berkekuatan 50–150 kilogram, dan di Renon TNT 0,5 kilogram.

Di antara puing-puing, penyidik menemukan pecahan pelat nomor kendaraan yang masih utuh. Petunjuk kecil itu menjadi kunci. Dari nomor itu, jejak mengarah ke sebuah desa di Lamongan, Jawa Timur, bernama Tenggulun. Pada 30 Oktober, Polri merilis tiga sketsa wajah pelaku.

Presiden Megawati mendesak polisi menuntaskan kasus ini sebelum November. Empat hari kemudian, penyelidikan menemui terang: semua mengarah pada seorang pria bernama Amrozi bin Nurhasyim.

Kehancuran akibat tragedi Bom Bali 2002. (Sumber: Australian Federal Police)

Penelusuran membawa polisi ke Lamongan, Jawa Timur, tepatnya Desa Tenggulun. Di sanalah mereka menemukan nama Amrozi. Ia adaah seorang montir yang dikenal pendiam dan religius. Amrozi membeli mobil L-300 beberapa hari sebelum tragedi, lengkap dengan bahan kimia yang dipesan dari toko di Surabaya. Barang dikirim ke Bali dengan bus umum. Mobil itu pula yang diledakkan di depan Sari Club. Pada 5 November 2002, pukul dini hari, Amrozi ditangkap di rumahnya di Tenggulun. Enam puluh polisi mengepung rumahnya, dan ia ditangkap tanpa perlawanan.

Dari interogasi Amrozi, polisi mendengar nama-nama lain: Imam Samudra, Ali Gufron alias Mukhlas, dan Ali Imron. Mereka adalah jaringan lama yang pernah berhubungan dengan kelompok Jemaah Islamiyah (JI), organisasi yang berafiliasi dengan Al-Qaeda dan beroperasi di Asia Tenggara.

Baca Juga: Jejak Sejarah Bandung Dijuluki Kota Kembang, Warisan Kongres Gula 1899

Polisi lalu memburu Imam Samudra, otak teknis di balik peledakan. Ia ditangkap pada 26 November 2002 di Pelabuhan Merak saat akan menyeberang ke Sumatra. Penangkapannya berlangsung cepat, tanpa tembakan. Ia tidak melawan.

Beberapa hari kemudian, 3 Desember 2002, polisi menangkap Mukhlas, kakak Amrozi, di Klaten, Jawa Tengah. Mukhlas dikenal sebagai penghubung antara kelompok JI di Malaysia dan Indonesia. Ia memiliki hubungan langsung dengan Hambali, tokoh penting Jemaah Islamiyah yang kelak ditangkap di Thailand tahun 2003.

Penangkapan berlanjut. Pada 13 Januari 2003, polisi membekuk Ali Imron, adik Amrozi, di Samarinda. Berbeda dengan saudaranya, Ali Imron tidak melawan. Ia bahkan kemudian menjadi saksi kunci dalam kasus ini. Ia mengaku menyesal dan bersedia bekerja sama dengan penyidik.

Dari pengakuan mereka, polisi menemukan gudang senjata di Semarang berisi M-16, AR-15, Lee Enfield, FN, ribuan peluru, dan 26 bom rakitan siap ledak. Barang bukti itu memperkuat bahwa jaringan ini tak berdiri sendiri. Bom Bali hanyalah satu dari rencana besar pengeboman di Indonesia.

Pengadilan dan Eksekusi Para Pembom

Sidang pertama Amrozi digelar pada 12 Mei 2003 di Denpasar. Wajahnya selalu tersenyum di depan kamera. Wartawan menjulukinya “The Smiling Assassin.” Tak ada penyesalan, bahkan ia menganggap aksinya sebagai bentuk jihad. Ia menyebut korban sebagai “kafir yang layak mati.” Sikapnya memancing kemarahan publik dan keluarga korban. Pada 7 Agustus 2003, pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepadanya.

Imam Samudra diadili mulai Juni 2003. Dalam sidang, ia bersikeras bahwa bom Bali adalah pembalasan terhadap kekejaman Amerika dan sekutunya. Ia menolak disebut teroris, menyebut dirinya mujahid. Dari balik jeruji, ia menulis buku “Aku Melawan Teroris”, ironi yang menggambarkan pikirannya yang tetap keras. Pada 10 September 2003, ia dijatuhi hukuman mati.

Sedangkan Mukhlas disidang pada pertengahan Juni 2003. Ia membantah pengakuannya dalam berita acara polisi, menuding aparat melakukan penyiksaan. Tapi di ruang sidang, ia berpidato panjang menuduh Amerika dan Israel sebagai musuh Islam. Ia juga divonis hukuman mati pada 2 Oktober 2003.

Berbeda dari tiga lainnya, Ali Imron bersikap lain. Dalam persidangan, ia mengaku bersalah, meminta maaf, dan menyatakan penyesalan mendalam. Ia menjadi saksi penting yang membantu polisi membongkar jaringan Jemaah Islamiyah. Karena kerja samanya, jaksa menuntut hukuman penjara seumur hidup. Vonis itu dijatuhkan pada 18 September 2003. Ia kini menjalani hukumannya di LP Nusakambangan dan sering dijadikan narasumber deradikalisasi oleh BNPT.

Para terpidana teroris Bom Bali 2002.

Setelah divonis mati, Amrozi, Imam Samudra, dan Mukhlas dipindahkan dari Lapas Kerobokan ke Nusakambangan pada 2005. Dari balik jeruji, mereka tetap menolak menyesal. Mereka menulis surat, memberikan pesan terakhir, dan bahkan menuntut agar dieksekusi dengan cara pancung, bukan tembak, karena dianggap lebih Islami. Mahkamah Konstitusi menolak permohonan mereka.

Semuanya mengajukan banding, peninjauan kembali, bahkan uji konstitusional. Semua kandas. Hingga akhirnya, pada 24 Oktober 2008, Kejaksaan Agung mengumumkan bahwa eksekusi akan dilakukan awal November.

Baca Juga: Tragedi Tanjakan Emen Subang 2018, Rem Blong yang Renggut Kehidupan Puluhan Ibu

Jelang eksekusi, ketiganya masih tenang. Seorang pengacara yang menjenguk menceritakan bahwa Amrozi tersenyum, bahkan bercanda. Imam Samudra menulis pesan bahwa “akan ada pembalasan atas kematiannya.” Mukhlas menulis surat kepada sesama narapidana, menyebut bahwa “eksekusi terhadap mujahid adalah perbuatan jahat dan para pelakunya akan dilaknat.”

Pada malam 8 November 2008, iring-iringan mobil meninggalkan LP Batu menuju Bukit Nirbaya. Jalanan rusak, becek, dan gelap. Di belakang truk yang membawa regu tembak, tiga mobil lain membawa para terpidana. Mereka dikawal ketat. Tak ada perlawanan. Ketiganya duduk tenang, mata terbuka, tangan terborgol.

Sekitar pukul 00.15 dini hari, mereka tiba di lokasi. Masing-masing diarahkan ke tiang eksekusi. Seorang rohaniawan membacakan doa. Tiga tembakan menyalak hampir bersamaan, memecah sunyi Nusakambangan. Amrozi, Imam Samudra, dan Mukhlas tewas seketika.

Eksekusi itu menutup satu bab panjang penyelidikan teror paling mematikan dalam sejarah Indonesia. Tapi luka itu tak pernah benar-benar hilang. Setiap tahun, tanggal 12 Oktober diperingati sebagai hari duka di Bali. Di Jalan Legian, berdiri Monumen Ground Zero, tempat nama-nama korban diukir di batu marmer.

Bayangan Panjang di Balik Ledakan

Dua puluh tahun telah lewat, namun jejak tragedi itu masih terasa. Bagi banyak warga Bali, malam 12 Oktober 2002 bukan sekadar catatan sejarah, melainkan luka yang diwariskan. Bom Bali menjadi tonggak yang mengubah cara Indonesia memandang terorisme. Dari tragedi itu lahir Densus 88, satuan antiteror yang kini menjadi garda depan melawan ekstremisme.

Bagi dunia, bom Bali memperlihatkan bahwa terorisme tak mengenal batas. Ia bisa menyerang di mana saja: di gedung pencakar langit New York, di kereta Madrid, atau di pantai yang dulu dianggap surga wisata. Di tengah semua itu, Indonesia belajar dengan cara paling pahit: bahwa ideologi kebencian bisa tumbuh dari kampung sederhana, tapi dampaknya mengguncang dunia.

Hikayat Bom Bali 2002 bukan sekadar kisah ledakan. Ia adalah kisah tentang bagaimana sebuah negara bangkit dari reruntuhan, membangun sistem hukum baru, dan melawan teror bukan dengan bom balasan, tapi dengan penegakan hukum. Namun di atas semuanya, ia adalah kisah tentang kehilangan, 202 nyawa, ratusan keluarga, dan sebuah kepolosan yang tak akan pernah kembali ke Bali.

Tags:
Bom BaliTerorKriminalSejarahTragedi

Hengky Sulaksono

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor