AYOBANDUNG.ID - Jalanan pegunungan di Jawa Barat selalu punya kisah. Ada yang romantis—penuh kabut tipis dan suara serangga malam—ada pula yang getir, penuh cerita kecelakaan dan derai tangis. Tanjakan Emen di Subang masuk kategori terakhir. Ironisnya, jalur ini sebenarnya bukan tanjakan, melainkan turunan curam di kawasan Cicenang, Ciater, Subang. Tapi orang keburu telanjur menamainya Tanjakan Emen. Nama itu sudah lebih populer daripada sebutan resminya: Turunan Cicenang.
Turunan ini panjangnya sekitar 2–3 kilometer, dengan kemiringan mencapai 15–20 derajat. Jalannya mulus beraspal hotmix, tapi justru itu yang sering menipu. Dari kejauhan tampak indah, dikelilingi hutan pinus, semak liar, dan tebing batu yang menjulang. Udara pegunungan yang sejuk membuat orang merasa santai. Tapi begitu roda kendaraan menggelinding, ketegangan baru terasa. Tikungan-tikungan tajam bisa membuat kendaraan besar seperti bus pariwisata oleng, apalagi kalau remnya rewel.
Sabtu sore, 10 Februari 2018, jalur maut itu kembali menagih korban. Sekitar pukul 17.00 WIB, sebuah bus pariwisata berwarna putih, milik PO Premium Passion, meluncur tak terkendali. Bus ini mengangkut rombongan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Permata Ciputat Timur, Tangerang Selatan. Mayoritas penumpangnya ibu-ibu dan lansia. Ada juga beberapa anak kecil yang ikut serta. Mereka berangkat sejak dini hari pukul 05.30 WIB, penuh semangat untuk mengikuti Rapat Anggota Tahunan koperasi di Lembang, lalu jalan-jalan ke Gunung Tangkubanparahu.
Baca Juga: Jejak Dukun Cabul dan Jimat Palsu di Bandung, Bikin Resah Sejak Zaman Kolonial
Pagi itu, suasana meriah. Para ibu berangkat dengan jaket tebal, tas berisi camilan, dan obrolan riang tentang rencana wisata. Mereka sempat saling bercanda sambil menatap gunung dari jendela bus. Setelah rapat, mereka sempat berfoto-foto di kawah Tangkubanparahu, lalu makan bersama. Tak ada tanda-tanda buruk. Hingga sore menjelang, rombongan beriringan dengan tiga bus, meninggalkan Lembang menuju Subang. Bus pertama, yang dikemudikan Amirudin (32 tahun), membawa sekitar 35–40 penumpang. Dialah yang apes.
Begitu memasuki Turunan Cicenang, Amirudin sadar ada yang tidak beres. Rem bus terasa blong. Dari kecepatan normal 40 km/jam, laju bus meroket tanpa terkendali. Panik melanda. Penumpang yang tadinya santai mendadak teriak. Ada yang spontan melafalkan doa keras-keras. Ada pula yang berpegangan erat pada sandaran kursi depan. Suara tangis mulai terdengar. Beragam rupa teriakan bergema di dalam kabin.
Turunan di Tanjakan Emen memang tidak main-main. Jalan menurun panjang, dengan kelokan tajam di beberapa titik. Sopir biasanya menurunkan gigi ke rendah, agar mesin menahan laju kendaraan. Tapi sore itu, mesin bus tak lagi mampu. Kecepatan terus bertambah.
Bus semakin tak terkendali. Dalam hitungan detik, bus yang seharusnya menuruni jalur dengan perlahan itu justru melesat bagai anak panah. Di tikungan menurun yang tajam, malapetaka itu terjadi. Bus yang sudah kehilangan kendali menabrak sepeda motor Honda Beat yang dikendarai Agus Waluyo, warga Karawang. Motor ringsek, pengendaranya terlempar.
Suara hantaman keras terdengar. Bus lalu menabrak tebing batu di sisi jalan, memantul, dan terguling dengan posisi roda ke atas. Debu mengepul, jeritan penumpang pecah bersamaan.
Di dalam kabin, suasana kacau balau. Kursi-kursi terlepas dari dudukannya. Barang-barang bawaan berhamburan. Tubuh manusia bertumpuk, sebagian terjepit, sebagian tak lagi bergerak. Darah berceceran di lantai bus.
Beberapa penumpang yang masih sadar berusaha mencari jalan keluar. Ada yang memecahkan kaca jendela dengan benda keras. Suara tangis, rintihan, dan panggilan minta tolong menggema di antara tubuh-tubuh yang bergelimpangan.
Baca Juga: Hikayat Pembunuhan Subang yang Bikin Geger, Baru Terungkap Setelah 2 Tahun
Warga sekitar yang mendengar dentuman keras segera berlarian ke lokasi. Mereka menemukan pemandangan mengerikan: bus pariwisata tergeletak miring di pinggir jalan, dengan penumpang berusaha keluar sambil berlumuran darah. Sebagian korban tergeletak di aspal. Beberapa warga mencoba mengevakuasi dengan alat seadanya, mengangkat tubuh penumpang, sebagian masih bernafas, sebagian sudah tak bergerak.
Petugas kepolisian dan tim medis datang tak lama kemudian. Sirene ambulans meraung-raung memecah kepanikan. Jalan yang tadinya ramai wisatawan mendadak berubah jadi lokasi darurat. Satu per satu korban dibawa ke rumah sakit terdekat.
Kecelakaan itu menelan puluhan korban jiwa. Sebanyak 27 orang meninggal: 26 penumpang bus dan satu pengendara motor. Sebagian meninggal di lokasi, sebagian lain menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit. Puluhan lainnya luka-luka, mulai dari ringan hingga parah. Dalam sekejap, perjalanan wisata yang semula penuh tawa berubah jadi tragedi paling kelam di Tanjakan Emen.

Keluarga korban berdatangan malam itu juga. Suasana rumah sakit penuh tangis dan doa. Di Ciputat, gang-gang kecil segera dipenuhi bendera kuning. Sebanyak 22 korban kecelakaan bus yang terjadi di jalur maut itu akhirnya dimakamkan massal di TPU Legoso, Pisangan, Ciputat Timur, Tangerang Selatan. Keesokan harinya, mereka dibaringkan berdampingan dalam liang kubur yang berderet. Tangis keluarga, kerabat, hingga warga sekitar pecah ketika satu per satu jenazah yang sudah terbungkus kain kafan putih diturunkan dari mobil ambulans. Pemakaman itu terasa bukan sekadar prosesi, melainkan peringatan pahit tentang jalur yang sudah lama terkenal “angker”.
Penyelidikan polisi menyimpulkan penyebab utama adalah rem blong. Jalan curam membuat rem bekerja ekstra, lalu overheat, akhirnya gagal. Kasus klasik, tapi mematikan. Bukan kali itu saja Tanjakan Emen menelan korban. Sejak awal 2000-an, sederet kecelakaan besar pernah terjadi di sana.
Kecelakaan kali ini diduga dipicu rem blong. Sopir bus, Amirudin, selamat. Tak ada unsur human error ditemukan dalam penyelidikan. Polisi dari Polres Subang, dibantu Polda Jabar dan Korlantas Mabes Polri, menggelar olah TKP, memeriksa teknis kendaraan, dan menelisik manajemen PO Premium Passion. Dugaan kelalaian pemeliharaan bus ikut mengemuka.
Baca Juga: Sejarah Pertempuran Perlintasan Ciater Subang, Gerbang Terakhir Pertahanan Sekutu di Bandung
Tanjakan Emen memang bukan jalur biasa. Ia sudah mencatat sejarah panjang kecelakaan. Tahun 2004, bus pariwisata tergelincir dan menelan korban jiwa. Tahun 2011, minibus turis Belanda terguling, tiga tewas. Setahun kemudian, giliran bus turis Taiwan, dengan jumlah korban sama. Tahun 2014, bus siswa SMA Al-Huda terguling dan delapan meninggal. Tahun 2017, sebuah minibus menabrak motor dan merenggut satu nyawa. Bahkan pada Maret 2018, kecelakaan lain kembali terjadi, dengan enam belas orang luka-luka. Semua di lokasi yang sama, seolah jalan itu menyimpan dendam.
Warga lokal menyebutnya jalan angker. Konon, kisah bermula dari seorang sopir oplet bernama Emen yang tewas terbakar setelah kecelakaan pada 1956. Sejak itu, mitos berkembang: pengendara dianjurkan membunyikan klakson dan melempar rokok sebagai tanda hormat kepada roh Emen. Namun para insinyur tentu punya jawaban lebih masuk akal: kontur jalan yang menurun curam, tikungan tajam, dan minimnya rekayasa keselamatan. Tanjakan Emen pada akhirnya bukan sekadar legenda, tapi potret klasik negeri ini: di mana mitos, infrastruktur rapuh, dan kelalaian berkumpul, lalu meminta tumbal nyawa manusia.