AYOBANDUNG.ID - Pada malam jahanam di awal Juni 2017 itu, seorang pemuda berusia 18 tahun keluar dari klub malam The Factory di pusat kota Manchester untuk mencari udara segar. Ia terpisah dari teman-temannya. Di tengah kebingungan, datanglah seorang pria kecil, kurus, senyumnya ramah seperti sales asuransi yang baru dapat target. Pria itu menawarkan bantuan: silakan naik ke apartemennya untuk menelepon teman-temannya. Kebaikan yang kelak tercatat dalam sejarah Inggris sebagai salah satu jebakan paling beracun.
Pemuda itu mengikutinya ke apartemen di 11 Montana House, Princess Street. Di sana, dunia berubah. Beberapa jam kemudian, ia terbangun dalam keadaan tak berdaya, tubuhnya diserang, pikirannya kabur. Ia melawan, memukul penyerang, merebut ponsel, dan kabur. Aksi spontan itu membuka tirai neraka yang menutup rapat di tengah kehidupan malam Manchester selama lebih dari satu dekade. Nama si penyerang itu: Reynhard Sinaga, warga negara Indonesia dari Depok, yang kelak dijuluki media Inggris sebagai predator seksual paling sadis dalam sejarah hukum Inggris.
Reynhard lahir di Jambi, 19 Februari 1983, besar di Depok dalam keluarga Batak Katolik kelas menengah atas. Ayahnya pengusaha sukses, cukup makmur untuk membiayai sekolah anaknya sampai ke Inggris. Ia lulus arsitektur Universitas Indonesia pada 2006, lalu menapaki karier akademik yang tampak mulus: dua gelar master di University of Manchester—perencanaan kota dan sosiologi—dan kemudian mendaftar doktor di University of Leeds. Semua tampak indah di atas kertas.
Baca Juga: Sejarah Letusan Krakatau 1883, Kiamat Kecil yang Guncang Iklim Bumi
Teman-temannya mengenal Reynhard sebagai orang yang manis, aktif di gereja, suka tersenyum, suka pesta, kadang flamboyan, dan tampak harmless, kata yang kelak menjadi ironi terbesar abad ini. Apartemennya kecil tapi strategis, di jantung kehidupan malam Manchester, tempat mahasiswa mabuk dan pemuda pekerja kantoran berbaur setiap akhir pekan. Dari jendela apartemen itu, lahir satu dari kisah kejahatan seksual paling gelap di Inggris modern.
Hasil penyidikan polisi, metode Reynhard sederhana dan konsisten, seperti resep nasi goreng warung tenda. Ia menunggu di luar klub hingga dini hari, mencari pria muda yang tampak mabuk dan sendirian. Ia menghampiri mereka dengan senyum ramah dan logat Asia yang membuatnya tampak jinak. Tawaran klasiknya: numpang istirahat dulu, tunggu taksi di apartemen, atau sekadar menelepon teman. Para korban, kebanyakan heteroseksual, tidak curiga sedikit pun. Mereka pikir Reynhard cuma orang baik yang kebetulan punya sofa kosong.
Begitu masuk apartemen, korban diberi minuman yang dicampur obat penenang. Campur dengan alkohol, efeknya lebih kejam dari kombinasi Tinder dan gin tonic. Korban langsung tak sadarkan diri. Lalu Reynhard menyalakan kamera ponselnya dan memulai ritual yang diulangi selama bertahun-tahun: memperkosa mereka dalam keadaan tidak sadar, merekam semuanya, lalu menyimpan file itu rapi dalam folder dengan nama-nama kecil yang ia ingat dari dompet atau kartu identitas korban.
Dalam beberapa video, penyerangan berlangsung berjam-jam. Ada yang delapan jam nonstop. Ketika korban mulai sadar, ia mendorong mereka kembali ke lantai. Ketika mereka terbangun penuh kebingungan, Reynhard pura-pura ramah, bahkan membuatkan kopi. Beberapa korban malah meminta maaf karena telah “merepotkan” tuan rumah. Mereka pulang tanpa sadar bahwa tubuh mereka telah dijarah.
Dunia tidak tahu apa-apa sampai Juni 2017, ketika satu korban memukulnya dan melarikan diri. Polisi yang datang awalnya mengira Reynhard-lah korban pemukulan. Tapi perilakunya aneh: ia hanya memohon agar ponselnya tidak disita. Permohonan itu justru menjadi kunci pembuka.
Baca Juga: Jejak Dukun Cabul dan Jimat Palsu di Bandung, Bikin Resah Sejak Zaman Kolonial
Penyidik menemukan 3,29 terabita video dan foto dalam ponsel dan laptopnya—setara 250 DVD film horor, tapi tanpa naskah dan penuh keheningan. Di dalamnya, ratusan pria muda tampak tak sadarkan diri, tubuh mereka dijadikan objek. Setiap video seperti catatan dosa yang sistematis. Polisi sampai harus membuat tim khusus hanya untuk mengidentifikasi korban satu per satu dari wajah yang terekam di layar.
Penyidik kemudian menemukan lemari trofi: dompet, jam tangan, kartu identitas, hingga ponsel para korban. Semua disimpan rapi seperti koleksi prangko. Ia juga menyimpan tangkapan layar media sosial korban, seolah ingin mengenang mereka seperti teman-teman lama. Bahkan beberapa korban tanpa sadar berteman dengannya di Facebook. Di aplikasi pesan, Reynhard menulis kalimat yang menggambarkan pikirannya: bahwa ia bisa membuat siapa pun “jatuh cinta” setelah meminum ramuannya.
Investigasi itu membuat polisi Inggris terperangah. Tak ada kasus serupa dengan skala sebesar ini. Setelah disisir, ditemukan bahwa kejahatannya berlangsung lebih dari sepuluh tahun. Para korban diperkirakan mencapai lebih dari 190 orang, meski hanya 48 yang akhirnya cukup bukti untuk dibawa ke pengadilan.

Karena jumlahnya begitu besar, Crown Prosecution Service harus membagi kasus ini ke dalam empat persidangan terpisah, masing-masing dengan lebih dari sepuluh korban. Setiap kali sidang, video-video itu diputar untuk juri. Para jaksa dan polisi yang menyaksikannya disebut mengalami trauma. Reynhard sendiri tetap tenang, kadang tersenyum di ruang sidang.
Dalam pembelaannya, ia mengaku bahwa semua yang terekam adalah permainan peran konsensual. Menurutnya, para korban berpura-pura tidak sadar. Teori absurd itu dipatahkan dengan bukti medis, testimoni korban, dan ratusan jam video. Juri menolak mentah-mentah.
Baca Juga: Hikayat Pelarian Eddy Tansil, Koruptor Legendaris Paling Diburu di Indonesia
Setelah empat persidangan yang berlangsung antara 2018 dan 2020, pengadilan menjatuhkan vonis atas 159 pelanggaran seksual, termasuk 136 pemerkosaan dan delapan percobaan pemerkosaan. Hakim Suzanne Goddard menyebutnya sebagai individu berbahaya dan menyimpang. Ia dijatuhi hukuman seumur hidup dengan masa minimum 30 tahun yang kemudian diperpanjang oleh pengadilan banding menjadi 40 tahun.
Kasus ini kemudian menjadi penyelidikan pemerkosaan terbesar dalam sejarah peradilan Inggris. Sebuah rekor kelam yang tak pernah dibayangkan sebelumnya di negeri itu, yang ironisnya, dilakukan oleh warga Depok.
Wacana Pemulangan ke Indonesia
Setelah dijatuhi hukuman, Reynhard dikurung di HMP Wakefield, penjara dengan pengamanan superketat di Yorkshire, tempat para pembunuh berantai dan predator kelas berat Inggris disimpan. Di sana, kabarnya ia tidak disukai siapa pun. Narapidana lain menganggapnya bangkai moral. Pada Juli 2023, seorang tahanan bernama Jack McRae menyerangnya di blok penjara. Petugas berhasil menghentikan sebelum nyawanya melayang.
Tapi, kisah ini belum selesai. Di Indonesia, keluarga Reynhard mulai bergerak. Mereka melobi pemerintah agar anaknya dipulangkan. Pada Februari 2025, ada wacana bahwa Kementerian Koordinator Hukum dan HAM mengumumkan rencana pemulangan tahanan Indonesia di Inggris, dan salah satunya disebut sebagai Reynhard Sinaga. Alasannya klasik: negara wajib melindungi warganya, tak peduli dosanya sebesar apa.

Rencana pemulangan ini muncul setelah pemerintah Indonesia berhasil mentransfer beberapa narapidana asing kembali ke negara asal mereka, termasuk anggota sindikat penyelundupan narkoba Bali Nine ke Australia pada Desember 2024, dan Mary Jane Veloso ke Filipina pada bulan yang sama. Pemerintah juga mentransfer dua narapidana Inggris, Lindsay June Sandiford dan Shahab Shahabadi, kembali ke Inggris. Yusril memperjelas bahwa transfer dua warga negara Inggris itu dilakukan melalui mekanisme transfer tahanan, bukan pertukaran tahanan, sehingga Inggris tidak berkewajiban mengirim balik narapidana Indonesia sebagai gantinya.
Jika pun berhasil memulangkan, pemerintah berencana akan menempatkannya di penjara supermaksimum seperti Nusakambangan. Sebuah pulau penjara yang terkenal dengan keheningannya. Cocok untuk pria yang sepanjang hidupnya mencari “teman tidur” dengan cara paling jahat yang bisa dibayangkan.
Tapi, upaya memulangkan Reynhard menghadapi berbagai hambatan hukum dan diplomatik. Pasalnya, Indonesia tidak memiliki perjanjian kerja sama transfer tahanan yang diratifikasi dengan pemerintah Inggris. Di sisi lain, keluarga mengaku kesulitan berkomunikasi dengannya. Mereka ingin Reynhard kembali, entah karena kasih sayang atau rasa malu yang sudah terlalu berat ditanggung.
Baca Juga: Jejak Pembunuhan Sadis Sisca Yofie, Tragedi Brutal yang Gegerkan Bandung
Orang tua Reynhard Sinaga baru-baru ini dikabarkan mengirim surat kepada Presiden Prabowo Subianto. Isinya ama, mereka meminta agar anaknya bisa dipulangkan ke Indonesia. Namun, pemerintah menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada pembahasan mengenai rencana pemulangan tersebut.
Sementara itu, di HMP Wakefield, Reynhard masih hidup dalam rutinitas: bangun pagi, baris berbaris, makan roti tawar, lalu kembali ke selnya. Ia tak punya akses internet, tak punya kontak luar selain surat. Di usia 42 tahun, ia mungkin menghitung waktu, 40 tahun lagi sebelum bisa mengajukan pembebasan bersyarat. Jika ia hidup sampai 77 tahun, itulah kali pertama ia bisa kembali menghirup udara bebas. Itu pun kalau dunia masih mau menerimanya.
Di balik semua belenggu diplomatik, Reynhard Sinaga tetap di sana: di penjara Wakefield, dengan 3,29 terabita dosa yang membekukan sejarah hukum Inggris. Dunia boleh berubah, politik boleh berganti, tapi monster kecil dari Depok itu akan tetap menjadi simbol betapa gelapnya sisi manusia yang bisa tersembunyi di balik senyum paling manis sekalipun.