AYOBANDUNG.ID - Di antara lipatan pegunungan Bandung bagian selatan terdapat sebuah dataran yang konon katanya sejak lama menjadi tempat singgah para pejalan yang haus, lelah, atau hanya ingin menenangkan diri dari hiruk pikuk dataran utara. Dataran itu berada pada ketinggian yang cukup untuk membuat orang ingin membuka jaket pada siang hari dan mengenakannya kembali menjelang sore. Dari titik ini mata dapat melayang jauh memandang gunung yang berdiri melingkari kawasan.
Gunung Malabar membentang dengan dada yang seperti sengaja diperluas Tuhan. Gunung Tilu tampak seperti barisan prajurit yang sedang berlatih. Gunung Burangrang dengan lembahnya yang curam diapit oleh bukit yang seolah dirajut dari benang hijau. Di ujung timur tampak Tangkubanparahu dengan bentuk yang mengingatkan orang pada kapal yang telat diselamatkan. Bukit Tunggul menjulang sebagai titik tertinggi di barisan itu. Lamat lamat jauh di timur laut berdiri Manglayang seperti punggung raksasa yang sedang tidur.
Inilah Soreang. Nama yang menurut sejumlah risalah akarnya berasal dari kata nyoreang. Artinya kurang lebih adalah tindakan menoleh ke belakang. Ada banyak cara menjelaskan ini. Cara pertama ialah menyebutnya sebagai bentuk kontemplatif. Cara kedua, yang lebih membumi, adalah menyebutnya sebagai refleks alami para pengelana yang selalu ingin memastikan tidak ada hal mencurigakan mengikuti dari belakang. Manusia pada masa lalu tampaknya lebih waspada daripada kita yang hidup di masa kota besar dengan kamera dan satpam tetapi tetap panik saat ponsel hilang lima menit.
Baca Juga: Sejarah Priangan Sebelum Kompeni Datang, Hidup Bersahaja di Tengah Hutan dan Sawah
Soreang dulu adalah pangauban. Tempat berhenti. Area istirahat sebelum orang naik ke perbukitan atau turun ke dataran yang lebih rendah. Orang melepas lelah sambil melihat sekeliling pada hamparan pegunungan. Ada mata air yang keluar dari tekuk lereng tempat air tanah mengucur dari tubuh gunung yang tinggi. Para pejalan dapat mencuci muka atau pikiran sekalian. Dari sini mereka dapat melanjutkan perjalanan menuju puncak bukit kecil yang sunyi dan mempesona.
Di punggung Gunung Sadu pada ketinggian sembilan ratus lebih sedikit terdapat jejak megalitik berupa punden berundak. Bentuknya setengah lingkaran menghadap ke arah matahari yang rajin muncul pada pagi hari. Orang orang pada masa dulu tampaknya ingin memastikan bahwa doa pagi mereka tidak lupa diarahkan ke sumber cahaya. Ini menandai bahwa Soreang telah menjadi kawasan penting jauh sebelum penanda sejarah resmi dicatat.
Selain menjadi titik persinggahan yang damai dengan panorama yang memikat, kawasan ini juga pernah menjadi wilayah pertahanan Dipati Ukur. Nama itu selalu muncul dalam kisah perlawanan Sunda terhadap kekuatan kolonial. Jadi Soreang bukan hanya soal pemandangan indah dan mata air yang jernih. Ia juga pernah menjadi panggung perlawanan yang keras kepala.
Baca Juga: Sejarah Kopo Bandung, Berawal dari Hikayat Sesepuh hingga Jadi Distrik Ikon Kemacetan
Jejak Kolonial Kopo Kereta dan Soreang yang Berubah Wajah
Ketika pemerintahan kolonial memasukkan Priangan dalam sistem administrasinya, Soreang memasuki fase baru. Pada masa itu nama yang lebih populer adalah Kopo. Diambil dari nama salah satu kampung yang sekarang termasuk wilayah Kutawaringin. Nama Kopo kemudian merembes menjadi penanda jalan panjang dari Kota Bandung sampai ke arah selatan.
Orang Belanda menyukai segala hal yang berbau keteraturan.
Ketika perkebunan teh dan kina berkembang di Pangalengan dan Ciwidey, Belanda membutuhkan cara yang lebih efisien untuk membawa hasil panen ke Bandung. Gerobak yang ditarik sapi tidak cukup cepat, tidak cukup efisien, dan terlalu mahal. Maka mereka melakukan apa yang biasa dilakukan pemerintah di seluruh dunia ketika dihadapkan pada masalah transportasi. Mereka membangun jalur kereta.
Rute tramway dari Bandung menuju Ciwidey mulai dibahas pada 1918. Surat kabar kolonial mencatat bahwa pembangunan dimulai pada 1919. Desain rute tramway ini membentang dari Karees, menyeberangi Banjaran, lalu masuk Soreang hingga mencapai Ciwidey. Bagian Bandung Kopo, yang melewati Soreang, dibuka pada 1921. Jalur hingga Ciwidey menyusul pada 1924. Biayanya menembus 1,7 juta gulden Hindia Belanda.
Baca Juga: Hikayat Ledeng Bandung, Jejak Keselip Lidah di Kawasan Kota Pipa Kolonial

Kereta itu menjadi urat nadi ekonomi selatan Bandung. Soreang yang dulu lebih tenang kemudian mulai ramai. Stasiun-stasiun kecil bermunculan. Hasil kebun diangkut. Orang-orang bepergian. Namun teknologi yang dianggap futuristis pada awal abad dua puluh ini perlahan kalah dengan mobil pribadi dan angkutan umum. Pada 1982, kereta Soreang Ciwidey berhenti beroperasi. Relnya kemudian menjadi jalur kenangan yang tak lagi berfungsi selain sebagai latar foto generasi masa kini.
Saat republik berdiri pada 1945, Soreang kembali menjadi titik penting. Ketika Sekutu dan NICA berusaha mengambil kembali kekuasaan, Bandung menjadi kota penuh ketegangan. Ultimatum dikeluarkan, pasukan republik diminta mundur dari Bandung Selatan. Keputusan dramatis diambil pada Maret 1946. Bandung Selatan dibakar agar tidak jatuh sepenuhnya ke tangan musuh. Peristiwa ini menjadi salah satu momen paling heroik dalam sejarah kota itu.
Ketika api melumat rumah dan bangunan, arus manusia bergerak ke selatan. Soreang menjadi jalur evakuasi besar besaran. Ribuan orang melewatinya untuk mengarah ke pegunungan. Para pejuang kemudian bertahan di wilayah selatan Sungai Citarum, termasuk di sekitar Soreang, dari mana mereka terus melakukan operasi gerilya. Soreang tidak hanya menjadi tempat lewat. Ia menjadi bagian dari medan perlawanan.
Baca Juga: Hikayat Buahbatu, Gerbang Kunci Penghubung Bandung Selatan dan Utara
Dari Drama Pemindahan Ibu Kota sampai Transformasi Kota Baru
Setelah masa bergolak berlalu dan struktur kolonial ditinggalkan, Soreang menjadi kecamatan. Status baru ini menjadi pintu masuk ke fase administratif berikutnya yang lebih dramatis.
Pada dekade 1970-an, pemerintah Kabupaten Bandung mulai kewalahan karena Kota Bandung semakin berkembang sebagai pusat provinsi sekaligus tetap menjadi lokasi kantor pemerintahan kabupaten. Dua fungsi besar itu membuat kota menjadi terlalu padat, baik secara fisik maupun administratif.
Sejak era kolonial hingga pertengahan abad ke-20, ibu kota Kabupaten Bandung berada di wilayah yang kini menjadi Kota Bandung, tepatnya sekitar Alun-Alun dan Jalan Dalem Kaum. Kantor bupati, pendopo, hingga DPRD Kabupaten Bandung masih berkedudukan di pusat kota hingga 1970-an, meski Kota Bandung telah menjadi kotamadya otonom sejak 1906 dan semakin mandiri pasca-kemerdekaan.
Karena itu, pada era Bupati Lily Sumantri , muncul rencana pemindahan ke Baleendah yang dekat Dayeuhkolot dan Bojongsoang. Peletakan batu pertama kompleks pemerintahan baru di Baleendah dilakukan pada 20 April 1974 bertepatan Hari Jadi Kabupaten Bandung ke-333.
Tapi rencana itu lantas kandas. Soalnya, Baleendah terlalu rendah dan rawan banjir besar Sungai Citarum. Banjir besar datang dan menghanyutkan ambisi itu. Baleendah terbukti tidak aman. Program yang sudah berjalan bertahun tahun harus dihentikan. Pemerintah kemudian mencari lokasi lain yang lebih aman, lebih tinggi, dan lebih stabil secara geologi. Soreang muncul sebagai kandidat kuat. Keputusannya diformalkan melalui Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1986.
Pada 1987, pembangunan kompleks perkantoran di Desa Pamekaran dimulai. Lahan seluas dua puluh empat hektare disiapkan. Arsitekturnya dibuat dengan sentuhan gaya Priangan. Dipadukan dengan konsep modern. Pembangunan berlangsung selama beberapa tahun hingga akhirnya rampung pada awal 1990an. Banyak yang menyebut komplek ini sebagai salah satu komplek perkantoran termegah di Jawa Barat pada masanya.

Walaupun status ibu kota sudah ditetapkan sejak 1986, aktivitas pemerintahan baru berjalan penuh setelah tahun 2000 ketika bupati terpilih mulai memusatkan seluruh dinas dan lembaga pemerintahan ke Soreang. Secara perlahan Soreang berubah dari wilayah yang terasa semi pedesaan menuju pusat administrasi yang sibuk. Jalan raya Kopo yang menuju Bandung kini tidak lagi dipenuhi sawah dan ladang, tetapi bangunan pemerintahan, ruko, dan permukiman baru.
Transformasi besar terjadi ketika stadion Si Jalak Harupat berdiri pada 2005. Stadion megah itu kemudian menjadi tuan rumah berbagai kejuaraan besar. Kawasan di sekelilingnya ikut tumbuh. Warga yang biasanya melihat pertandingan hanya di televisi kini bisa merasakan gemuruh suporter dari dekat. Pada PON dan Asian Games kepulan festival olahraga mencapai puncaknya. Para pedagang kecil ikut memperoleh rezeki.
Baca Juga: Hikayat Lara di Baleendah, Langganan Banjir yang Gagal Jadi Ibu Kota
Kemudian, Alun-alun Soreang kemudian dibangun dengan Menara Sabilulungan yang menjulang. Setiap akhir pekan, alun-alun penuh oleh keluarga, pesepeda, pedagang makanan, dan anak anak yang berlarian. Perubahan semakin cepat sejak Jalan Tol Soroja dibuka pada 2017. Waktu tempuh dari Bandung yang dahulu terasa seperti perjalanan mini safari, kini hanya sekitar sepuluh menit. Akses ke Ciwidey, Kawah Putih, dan Rancabali juga lebih mudah. Pariwisata Bandung Selatan langsung mendapat dorongan besar. Investor melirik properti. Lahan lahan yang dulu sawah kini berubah menjadi pusat komersial atau cluster perumahan.
Industri konveksi menjadi sektor yang paling terasa tumbuh. Sadu, Panyirapan, dan Karamatmulya menjelma menjadi sentra produksi pakaian skala rumahan maupun menengah. Ribuan warga menggantungkan hidup pada mesin jahit, benang, dan kain. Mereka memproduksi pakaian yang kemudian tersebar ke berbagai pasar di Jawa dan luar pulau. Ekonomi kreatif versi rumahan ini membuat Soreang punya daya tahan ekonomi yang cukup stabil.
Kendati demikian, pembangunan besar selalu membawa konsekuensi. Lahan pertanian berkurang, lalu lintas semakin padat, dan kebutuhan air meningkat. Soreang yang dulu dikenal sebagai pangauban yang teduh kini menjadi kota kecil yang terus sibuk. Namun semua kota punya perjalanan masing masing. Soreang memilih jalan perubahan yang cepat tetapi tetap berusaha menjaga identitas Priangannya.