AYOBANDUNG.ID - Kalau orang Bandung mendengar nama Buahbatu, biasanya yang terbayang pertama adalah macet, tol, dan deretan perumahan yang tampak serupa tapi harga cicilannya beda tipis. Padahal, jauh sebelum jalan Soekarno-Hatta jadi tempat klakson bersahutan, Buahbatu pernah menjadi daerah yang tenang. Tempat di mana orang menjemur padi di halaman, anak-anak bermain di pematang, dan suara lokomotif terdengar sayup di kejauhan.
Jejak Buahbatu sendiri sudah seperti cerita rakyat yang diwariskan dari mulut ke mulut. Disitat dari Perpustakaan Digital Budaya Indonesia, kisahnya bermula dari zaman ketika Danau Bandung purba mengering. Danau besar itu, konon, meninggalkan hamparan batu-batu besar di dataran selatan Bandung. Di sekitar batu-batu itu tumbuh banyak pohon mangga. Karena dalam bahasa Sunda “mangga” berarti buah, masyarakat setempat menyebut daerah itu Buahbatu, hasil gabungan dari kata buah dan batu. Nama sederhana yang kemudian hidup ratusan tahun, dan kini malah jadi alamat ramai di peta Google Maps.
Sulit membayangkan bahwa dulu, wilayah yang sekarang ramai dengan papan bilboard dan bengkel pernah menjadi daerah agraris. Sawah membentang, udara sejuk, dan jalanan masih berupa tanah merah. Tetapi perubahan datang cepat, apalagi ketika orang-orang Eropa mulai menghitung untung rugi dari hasil perkebunan di selatan Bandung.
Pada akhir abad ke-19, muncul gagasan besar untuk menghubungkan Bandung dengan daerah selatan yang kaya hasil bumi seperti teh, kina, dan kopi. Pengangkutan dengan pedati dianggap mahal dan memakan waktu. Maka, pada tahun 1897, seorang pengusaha bernama A.A. Maas Geesteranus mengajukan konsesi untuk membangun jalur kereta api Bandung–Ciwidey. Ide itu berpindah tangan beberapa kali hingga akhirnya pada tahun 1916 pemerintah Belanda melalui perusahaan Staatsspoorwegen memutuskan untuk membangun jalur tersebut.
Baca Juga: Hikayat Kiaracondong, Tujuan Urbanisasi Kaum Pekerja Zaman Baheula
Pembangunan dimulai dari segmen Bandung–Soreang yang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Karees–Buahbatu, Buahbatu–Banjaran, dan Banjaran–Soreang. Buahbatu menjadi bagian penting karena menjadi penghubung antara pusat kota dan wilayah selatan. Di sinilah berdiri Stasiun Buahbatu dengan kode BUB pada kilometer 7+741 dari Stasiun Bandung. Lokasinya kira-kira berada di sekitar Jalan Soekarno-Hatta sekarang, tak jauh dari tempat kendaraan antre masuk gerbang tol.
Setelah sempat tertunda karena perencanaan ulang jaringan kereta, jalur Karees–Buahbatu–Soreang akhirnya diresmikan pada 13 Februari 1921. Jalur ini menggunakan rel tipe ringan dengan lebar sepur 1.067 milimeter, memungkinkan kereta berjalan dengan kecepatan antara 20 hingga 40 kilometer per jam. Tiga tahun kemudian, pada 17 Juni 1924, jalur Bandung–Ciwidey diresmikan sepenuhnya.
Saat itu Buahbatu mulai berubah. Dari daerah pedesaan yang tenang menjadi kawasan penyangga ekonomi. Di sekitar stasiun, muncul rumah pekerja, warung makan, hingga gudang logistik. Hasil bumi dari Banjaran dan Ciwidey dibawa ke sini sebelum diteruskan ke pusat kota Bandung atau Batavia. Jalur kereta menjadikan Buahbatu tidak hanya tempat singgah, tetapi juga simpul penting dalam rantai perdagangan kolonial.
Tapi kejayaan itu tidak berlangsung selamanya. Setelah Indonesia merdeka, arus transportasi mulai berubah. Jalan raya diperlebar, mobil dan truk mengambil alih peran kereta. Persaingan tak seimbang ini membuat jalur Bandung–Ciwidey kehilangan penumpang dan keuntungan. Pada 1 Januari 1982, jalur itu resmi ditutup. Sebagian rel di sekitar Buahbatu masih digunakan sampai awal 2000-an untuk mengangkut tank dari Pindad ke Kavaleri, tetapi setelah itu benar-benar berhenti. Kini, sisa relnya terkubur di bawah aspal dan bangunan baru, hanya menyisakan cerita dari generasi ke generasi.
Baca Juga: Sejarah Kopo Bandung, Berawal dari Hikayat Sesepuh hingga Jadi Distrik Ikon Kemacetan

Bukan Cuma Kawasan Perlintasan
Walau dikenal karena jalur kereta, Buahbatu juga menyimpan kisah lain yang tak kalah penting. Salah satunya adalah pembangunan Masjid Raya Buahbatu yang berdiri di kawasan Pasar Kordon, Margacinta. Dalam catatan sejarah, pembangunan masjid ini dimulai pada 10 November 1938 dan diresmikan setahun kemudian, tepatnya pada 9 Juli 1939. Padoeka Kandjeng Dalem Raden Wiranatakoesoema, Bupati Bandung saat itu, memelopori pembangunannya. Di dalam masjid masih terdapat prasasti marmer berbahasa Sunda yang menjadi saksi sejarah.
Bangunan masjid ini awalnya bernama Masdjid Kaoem Boeahbatoe dan telah mengalami beberapa renovasi besar, termasuk pada tahun 1988 dan 2008. Kini tampil modern dengan kubah emas dan kaca bermotif kaligrafi. Bangunan seluas 2.300 meter persegi ini mampu menampung sekitar 1.000 jamaah. Selain menjadi tempat ibadah, masjid ini juga berfungsi sebagai pusat kajian Islam terbesar di Bandung Selatan.
Baca Juga: Hikayat Lara di Baleendah, Langganan Banjir yang Gagal Jadi Ibu Kota
Tidak jauh dari masjid, berdirilah Pasar Kordon yang ramai sejak masa kolonial. Catatan dari Komunitas Aleut menyebut, kawasan ini punya kaitan erat dengan masa revolusi fisik Indonesia. Pada tahun 1946, terjadi pertempuran hebat antara pasukan Hizbullah dan Kompi Ambon yang pro NICA di sekitar Buahbatu. Dalam buku memoar R.J. Rusady W. disebutkan bahwa banyak korban berjatuhan dalam peristiwa itu. Buahbatu menjadi salah satu medan tempur penting di Bandung pada masa perang revolusi.
Kisah Buahbatu tidak hanya tentang perjuangan dan darah. Di sekitar Pasar Kordon juga tumbuh legenda rakyat yang diwariskan turun-temurun, salah satunya tentang Curug Ece. Catatan Komunitas Aleut menyebut ada dua versi asal-usul nama Ece. Versi pertama mengatakan ada seorang tua yang mengalami gangguan jiwa ditemukan meninggal di curug. Versi kedua bercerita tentang seorang jawara bernama Ece yang tenggelam setelah kalah adu kekuatan dengan jawara lain. Cerita rakyat ini menambah warna lokal dan memperkaya identitas budaya Buahbatu yang memadukan sejarah dengan mitos.
Dari Wilayah Penyangga ke Pintu Gerbang Kota
Dalam buku Sejarah Kota Bandung 1945–1979 disebutkan bahwa tahun 1964 penduduk Bandung mencapai lebih dari satu juta jiwa, dan salah satu kawasan yang tumbuh pesat adalah Buahbatu. Pemukiman baru bermunculan di berbagai tempat seperti Sedangserang, Sukaluyu, Padasuka, Cijagra, Cigadung, Sarijadi, Buahbatu, Margahayu, dan Arcamanik. Pertumbuhan penduduk yang tinggi membuat Bandung berkembang ke arah selatan dengan alun-alun sebagai pusat konsentrasinya.
Tapi perkembangan itu tidak merata. Pemerintah kolonial lebih banyak menata Bandung bagian utara sebagai pusat kota, sementara wilayah selatan seperti Buahbatu, Dayeuhkolot, dan sekitarnya dijadikan kawasan industri dan perumahan pribumi. Akibatnya, Bandung Selatan tertinggal dalam hal infrastruktur perkotaan. Ketika utara sudah memiliki jalan beraspal dan sistem drainase modern, Buahbatu masih dikelilingi sawah dan jalan tanah.
Ketimpangan tata ruang ini meninggalkan jejak panjang. Bandung Selatan tumbuh sebagai wilayah penyangga ekonomi, sementara pusat kota tetap menjadi simbol kemewahan dan modernitas. Meski begitu, daya hidup Buahbatu tidak pernah padam. Kawasan ini terus berkembang dan akhirnya menjadi salah satu titik penting dalam jaringan kota Bandung.
Baca Juga: Sejarah Flyover Pasupati Bandung, Gagasan Kolonial yang Dieksekusi Setelah Reformasi
Saat memasuki era 1990-an, pembangunan infrastruktur semakin masif. Pada 1987, PT Jasa Marga mulai membangun proyek Jalan Tol Padaleunyi yang menghubungkan Padalarang dan Cileunyi. Salah satu pintu keluar utama tol itu berada di Buahbatu pada kilometer 149. Proyek senilai 1,2 triliun rupiah ini selesai pada 1990 dan menjadi akses utama bagi kendaraan dari Jakarta menuju Bandung bagian selatan.
Gerbang Tol Buah Batu menjadi titik vital yang menghubungkan pusat kota dengan Bojongsoang, Margacinta, dan kawasan sekitarnya. Kini, jalan tol itu tetap menjadi urat nadi mobilitas Bandung Raya meskipun beberapa kali mengalami perbaikan seperti penutupan sementara kilometer 149 pada tahun 2023.
Di sinilah Buahbatu menemukan dirinya kembali. Dari daerah agraris menjadi jalur kereta, lalu berkembang menjadi kawasan urban modern. Kini Buahbatu berdiri sebagai pintu gerbang kota, tempat lalu lintas tak pernah tidur, dan klakson bersahut di bawah papan reklame. Meski begitu, di sela deru kendaraan, masih tersisa ingatan tentang masa ketika di sini hanya ada sawah, batu, dan pohon mangga.
Baca Juga: Sejarah Bandung Jadi Ibu Kota Hindia Belanda, Sebelum Jatuh ke Tangan Jepang
Sejarah Buahbatu adalah potret kecil tentang bagaimana Bandung tumbuh dan berubah. Dari batu dan buah mangga yang sederhana, dari stasiun yang kini tinggal nama, hingga tol megah yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Setiap sudutnya menyimpan cerita, dan setiap nama jalannya adalah petunjuk bahwa waktu telah bergerak jauh, tetapi kenangan tak pernah benar-benar pergi.
