Ilustrasi aktivitas buang tinja abad pertengahan.

Ayo Jelajah

Sejarah Septic Tank, Revolusi Tinja yang Berawal dari Pedesaan Prancis

Rabu 03 Des 2025, 18:05 WIB

AYOBANDUNG.ID - Di antara sekian banyak benda di rumah yang tak pernah dipamerkan di ruang tamu, septic tank mungkin juaranya. Tak ada yang mengundang tamu untuk melihat kotak beton di halaman belakang sambil berkata bahwa di situlah setengah sejarah manusia berlangsung dalam diam. Padahal, sebelum teknologi ini lahir, dunia pernah berada dalam periode panjang yang bisa disebut sebagai zaman keemasan bau tak sedap. Dan semua itu berubah berkat seorang lelaki Prancis yang terlalu malas menghadapi dinginnya musim dingin.

Pada 1860, Jean Louis Mouras, seorang penemu amatir yang tinggal di rumah pedesaan Prancis, memikirkan cara agar ia tidak harus keluar rumah setiap kali ingin membuang hajat. Ia menggali halaman, menanam sebuah wadah beton, lalu menghubungkannya dengan pipa tanah liat dari rumahnya. Setelah itu ia membiarkan waktu bekerja.

Sepuluh tahun kemudian, ketika tangki itu dibuka, ia menemukan bahwa padatan di dalamnya telah lenyap, tersisa hanya cairan dan sedikit buih. Mouras sadar bahwa ia telah menciptakan sesuatu yang lebih berharga daripada winemaker terbaik di Bordeaux. Ia pun menyempurnakan temuannya dan mematenkannya pada 1881. Dua tahun kemudian, teknologi ini menyeberang ke Amerika Serikat, memulai perjalanan global yang diam diam mengubah wajah sanitasi dunia.

Baca Juga: Hikayat Kota Hantu Semipalatinsk, Halaman Belakang Uni Soviet yang jadi Kuburan Senyap Radiasi

Temuan Mouras lahir bukan dari ambisi besar, melainkan kebutuhan rumah tangga yang paling dasar. Namun sebelum septic tank muncul, sejarah manusia adalah cerita panjang tentang bagaimana peradaban memindahkan limbah tubuh ke tempat yang tidak terlihat, lalu berpura-pura semuanya baik baik saja. Di lembah Indus, Mesopotamia, hingga kota kuno di Suriah sekitar 6500 SM, orang sudah mengenal sistem selokan dan ruang pengendapan. Yunani dan Romawi membangun saluran pembuangan yang begitu tangguh hingga beberapa di antaranya masih bertahan ribuan tahun. Tetapi semua itu bekerja dengan prinsip klasik: mengalirkan limbah ke sungai atau laut dan berharap arus akan menyelesaikannya.

Teknologi septic tank berbeda karena ia menciptakan proses penguraian dalam ruang tertutup. Bakteri anaerobik memecah limbah tanpa oksigen. Padatan mengendap di dasar, buih mengapung di permukaan, sementara cairan yang lebih bersih merembes keluar untuk diserap tanah. Sederhana tetapi revolusioner. Dan seperti banyak teknologi besar, perjalanan awalnya penuh masalah kecil yang berbau besar.

Ketika septic tank tiba di Amerika Serikat pada awal 1880 an, ia disambut dengan antusias. Rumah rumah mulai memasang tangki dari beton, baja, atau tanah liat. Tetapi masa masa awalnya tidak selalu mulus. Tangki baja berkarat, beton retak, pipa bocor. Kota tumbuh lebih cepat daripada infrastruktur sanitasi yang bisa dibangun. Kekhawatiran terhadap kontaminasi air tanah muncul karena ladang resapan tidak dirancang dengan baik.

Inovasi datang pada 1970 an melalui penggunaan fiberglass, poliuretan, PVC, dan plastik yang lebih tahan lama. Tangki pun memiliki dua kompartemen agar pengolahan lebih stabil. Regulasi kesehatan masyarakat memperketat ukuran, jarak, dan konstruksi. Septic tank tidak lagi dianggap sebagai eksperimen rumah tangga, tetapi bagian penting dari infrastruktur publik.

Baca Juga: Hikayat Pemberontakan Bayano, Budak Legendaris Spanyol yang jadi Raja Hitam di Hutan Panama

Sementara Amerika menyempurnakan sistem ini, Eropa melahirkan variasi baru. Karl Imhoff, insinyur Jerman, menciptakan Emscherbrunnen pada 1906. Tangki dua tingkat ini memisahkan sedimentasi dan pencernaan lumpur dalam satu struktur. Keunggulannya terletak pada kemampuan menangkap gas metana dari limbah, yang kemudian dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Ini bukan hanya soal sanitasi, tetapi juga efisiensi energi jauh sebelum dunia berbicara tentang energi terbarukan.

Lukisan Pieter Brueghel the Elder yang menggambarkan buruknya sanitasi pengolahan tinja Eropa Abad Pertengahan. (Sumber: Wikimedia)

Septic Tank Tiba di Indonesia

Sanitasi modern tiba di Nusantara lewat jalan yang berliku. Pada awal abad 20, Batavia tenggelam dalam krisis kesehatan. Kanal kanal yang seharusnya menyerupai Amsterdam justru menjadi kolam raksasa penyebar penyakit. Tanpa kakus memadai, warga membuang hajat ke sungai atau ruang terbuka. Malaria, disentri, dan kolera menjadi tamu abadi setiap musim hujan.

Pemerintah kolonial yang awalnya hanya peduli pada kesehatan penduduk Eropa mulai menyadari bahwa penyakit tidak mengenal batas kelas. Setelah Politik Etis digulirkan pada 1901, perbaikan sanitasi menjadi bagian dari kebijakan besar. Pada 1910, Perjanjian Sanitasi Paris ditandatangani oleh negara negara kolonial di Asia, termasuk Belanda, sebagai tanda bahwa wabah telah membuat banyak pemerintah ketakutan.

Bandung kemudian menjadi kota laboratorium. Pada 1917, Gemeente Bandung mulai merancang sistem drainase terpadu. Pasar Baru, Suniaradja, dan Citepus menjadi wilayah prioritas. Selokan dan saluran kota dibangun agar tidak ada lagi limbah rumah tangga mengalir sembarangan. Toilet umum dan hidran air bersih hadir di kampung kampung.

Terobosan terbesar datang antara 1932 dan 1938 ketika Tangki Imhoff diperkenalkan di Bandung. Pemerintah kota bekerja sama dengan Technische Hoogeschool Bandoeng, melibatkan tokoh tokoh teknik masa itu. Tangki raksasa dibangun di kawasan Tegalega dan dikenal warga sebagai pabrik mes. Di sana limbah diproses dalam dua tingkat ruang, sementara gas metana yang dihasilkan disimpan dalam tangki besi dan dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Teknologi yang tampak seperti ramalan masa depan itu nyata terjadi di Bandung sebelum Perang Dunia II.

Baca Juga: Jejak Peninggalan Sejarah Freemason di Bandung, dari Kampus ITB hingga Loji Sint Jan

Sistem saluran limbah Bandung dirancang hingga proyeksi populasi 1965. Hanya segelintir kota lain di Hindia Belanda yang memiliki visi sepanjang itu. Sayangnya, setelah Indonesia merdeka, teknologi ini perlahan dilupakan. Pabrik mes di Tegalega kini hanya tinggal puing, jejak masa ketika kota pernah lebih maju daripada zamannya.

Setelah kemerdekaan, septic tank konvensional yang lebih sederhana dan murah menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia. Kota kota besar membangun sistem pembuangan terpusat, tetapi banyak daerah tetap mengandalkan instalasi individu. Di banyak tempat, apa yang disebut septic tank sebenarnya hanyalah cubluk dengan dasar terbuka yang membiarkan limbah merembes langsung ke tanah dan saluran air. Persis seperti masalah yang ingin dipecahkan Mouras lebih dari satu abad sebelumnya.

Berdasarkan data Bank Dunia tahun 2012, Indonesia hanya memiliki belasan sistem saluran pembuangan kota dan sekitar dua ratus ribu sambungan yang melayani satu juta orang. Selebihnya bergantung pada septic tank pribadi, sistem on site sederhana, atau cara cara tradisional yang belum tentu aman.

Di balik tembok rumah, teknologi yang tampak sunyi itu bekerja tanpa perhatian. Namun sejarahnya panjang, penuh eksperimen, dan kadang sangat inventif. Dari pispot yang dilempar dari jendela, gongfermors yang bekerja di malam hari, tangki beton Prancis yang dibiarkan sepuluh tahun, hingga pabrik metana di Tegalega, semua itu adalah bab bab dalam perjalanan manusia menjaga jarak dari dirinya sendiri. Septic tank bukan hanya kotak bawah tanah, tetapi tonggak yang memungkinkan kota tumbuh tanpa harus tenggelam dalam aroma masa lalu.

Baca Juga: Hikayat Sumanto, Kanibal Tobat yang Tertidur Lelap dalam Siaran Televisi

Tinja Sebelum Septic Tank

Sebelum Mouras, kehidupan manusia adalah arena besar percobaan sanitasi. Pada abad kemudian, pispot atau chamber pot adalah penyelamat malam malam berangin. Wadah keramik atau logam ini disimpan di bawah tempat tidur. Isinya biasa dibuang lewat jendela. Di beberapa kota, orang memberi tahu tetangga yang malang di bawahnya dengan teriakan tertentu. Kebiasaan ini umum di Edinburgh dan New York sampai awal abad ke 18. Orang kota menganggapnya sebagai bagian dari ritme kehidupan, seperti ayam berkokok atau pedagang sayur lewat.

Outhouse atau kakus luar rumah muncul sebagai solusi yang lebih terorganisir. Sebuah gubuk kecil dengan lubang di bawahnya, biasanya terletak di sudut halaman agar aromanya tidak terlalu mengganggu. Namun keberadaannya tidak membuat persoalan menjadi lebih wangi. Ketika populasi kota Eropa mulai membengkak pada abad 16, limbah dari pispot dan outhouse tak lagi muat di got jalanan. Kota kota mulai mengadopsi cesspool atau cesspit: lubang besar yang dilapisi batu bata atau beton longgar tempat limbah disimpan. Cairan menyerap ke tanah, padatan mengendap, dan lambat laun semuanya berubah menjadi satu massa yang hanya bisa dideskripsikan dengan kata yang tidak akan muncul di brosur pariwisata mana pun.

Cesspool ini, lambat atau cepat, pasti meluap. Maka muncullah profesi yang hari ini terdengar seperti pekerjaan abad kegelapan: penggali kotoran malam. Di Inggris mereka disebut gongfermors. Di Asia, profesinya tak kalah penting. Para pengumpul datang dengan ember cadangan, menukar ember penuh dengan yang kosong, memanggulnya di jalan jalan kota, lalu membawanya ke titik pengumpulan. Limbah padat yang dikenal sebagai night soil ini memiliki nilai ekonomi yang lumayan. Petani membeli dan menggunakannya sebagai pupuk karena kaya nitrogen dan fosfat. Praktik ini berlangsung berabad abad hingga pupuk kimia datang pada akhir 1800 an.

Baca Juga: Sejarah Bandung dari Paradise in Exile Sampai jadi Kota Impian Daendels

Di balik semua aktivitas itu, persoalan kesehatan menjulang. Cesspool bocor, privy meluap, dan sumur yang menjadi sumber air minum perlahan terkontaminasi. Kolera menyebar dengan ganas, termasuk wabah 1849 di New York yang merenggut ribuan jiwa. Namun sistem primitif ini tetap dipakai sepanjang masa karena belum ada solusi yang lebih baik. Dunia menunggu, dan septic tank hadir sebagai jawaban.

Peradaban kuno pertama yang mengembangkan sistem pengelolaan limbah yang canggih muncul di Mesopotamia. Sistem pengelolaan air limbah tertua yang diketahui terletak di Suriah masa kini, menampilkan sistem selokan yang canggih dan ruang pengendapan yang berasal dari sekitar 6500 SM. Di wilayah yang dikenal sebagai Bulan Sabit Subur ini, perencanaan kota berpusat pada drainase air limbah domestik. Rumah-rumah dilengkapi dengan sistem selokan yang terhubung ke sistem yang lebih besar di dalam kota. Cairan dialirkan melalui sistem selokan ini dari rumah ke parit-parit di jalan-jalan kota.

Kekaisaran Romawi Kuno mengembangkan sistem saluran pembuangan air dan limbah yang kompleks bernama Cloaca Maxima yang mengalir ke Sungai Tiber. Limbah tinja yang bermuara ke Sungai Tiber, mengakibatkan polusi ekstrem. Polusi ini menyebabkan kontaminasi air minum bangsa Romawi yang diambil dari Sungai Tiber. Kebutuhan akan air bersih pada akhirnya mendorong pengembangan teknologi saluran air.

Tags:
SejarahSeptic Tank

Hengky Sulaksono

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor