AYOBANDUNG.ID - Indonesia punya banyak legenda lokal, dari babi ngepet sampai nyi-nyi aneh yang berkeliaran di pohon besar. Namun, kisah Sumanto pada 2003 terasa seperti legenda yang memutuskan turun gunung dengan cara yang sangat literal. Berawal dari makam yang terbongkar, misteri itu membawa warga menuju satu nama yang kemudian menghiasi layar televisi, ruang sidang, hingga akhirnya—secara tak terduga—sofa empuk studio talkshow tempat ia tertidur pulas bertahun-tahun kemudian.
Tahun 2003 sebenarnya bukan tahun yang terlalu istimewa bagi Purbalingga. Kabupaten kecil di Jawa Tengah itu lebih dikenal karena produksi rambut palsu dan tembakau rajangannya. Sampai suatu malam di awal Januari, sebuah desa bernama Majatengah mendadak menjadi kata kunci nasional. Bukan karena festival desa atau panen raya, melainkan karena liang kubur yang sunyi ternyata tidak seramah yang dibayangkan.
Pada malam 11 Januari, warga Majatengah mendapati tanah kuburan seorang nenek, Mbok Rinah, masih basah padahal baru 16 jam ditimbun. Makamnya terbuka. Seperti pintu rumah yang tidak ditutup oleh orang yang terburu-buru, hanya saja yang hilang bukan sandal tetapi jasadnya. Hilang tanpa ada tanda digondol hewan liar. Dan semua orang tahu: tak ada macan yang melakukan penggalian seapik itu.
Baca Juga: Hikayat Kasus Ferdy Sambo, Terbongkarnya Konspirasi Gelap Polisi di Duren Tiga
Kepanikan warga menggiring polisi ke sebuah gubuk di desa sekitar. Dan di sinilah kisah Sumanto, pria berusia 32 tahun yang lahir di Desa Pelumutan, mulai bergeser dari rumor warga menjadi berita nasional. Di dalam rumah kecil itu, polisi menemukan pemandangan yang tidak layak muncul di sinetron malam hari. Tulang, daging, potongan tubuh, dan sisa yang tak ingin dibayangkan siapa pun, berserakan. Sebagian sudah diolah. Sebagian lain seperti eksperimen yang tidak selesai. Tidak butuh keahlian forensik untuk menyimpulkan bahwa Mbok Rinah telah berpindah tangan. Atau lebih tepatnya, berpindah perut.
Dua hari setelah makam dibongkar, Sumanto dicokok. Pengakuannya bukan hanya membuat bulu kuduk berdiri, tetapi membuat Indonesia sadar bahwa film horor lokal kadang kalah jauh dari kenyataan. Ternyata, menurut versinya, Mbok Rinah bukan korban pertama. Ia pernah melakukan hal serupa pada akhir 1980-an saat bekerja di perkebunan tebu di Lampung. Ada pula kabar tentang tukang pijat bernama Mistam yang hilang setelah mampir ke rumahnya. Pakaian korban ditemukan di rumah, membuat dugaan jumlah korban mungkin lebih dari tiga.
Yang membuat cerita ini semakin berjalan ke wilayah absurd adalah motifnya. Sumanto mengaku melakukannya demi ilmu mistik. Ia percaya bahwa daging manusia adalah akses tercepat menuju kesaktian tingkat lanjut. Semacam cheat code tradisional: kebal senjata tajam, hati tenang seperti biksu, dan kemampuan membangunkan orang mati jika sedang mood. Ia menuruti ajaran seorang guru spiritual yang disebutnya sebagai pemandu ke arah kesaktian itu. Dalam dunia mistik Jawa, mencari ilmu memang biasa. Tetapi memakannya secara harfiah adalah urusan lain.
Keyakinan mistis ini ternyata tumbuh di tanah yang subur oleh gangguan mental. Bertahun-tahun kemudian, dokter yang menangani rehabilitasinya menyebut bahwa Sumanto memiliki gangguan jiwa berat yang bercampur dengan sugesti supranatural. Kombinasi seperti ini bukan hanya berbahaya, tetapi juga membuat hidupnya berjalan di persimpangan antara halusinasi dan kenyataan, sebuah daerah abu-abu yang berakhir di gubuk itu.
Kisah hidup Sumanto sebenarnya tidak memperlihatkan bibit tragedi. Ia anak pertama dari lima bersaudara, terlahir dari keluarga yang cukup berada karena warisan orang tuanya. Masa kecilnya cukup normal, kecuali reputasinya sebagai anak yang suka cari perhatian. Prestasi belajar seadanya saja, bahkan harus mengulang kelas enam karena tidak lolos ujian nasional. Ia masuk SMP, bertahan hingga kelas tiga, lalu keluar karena merasa sekolah bukan habitatnya.
Dunia kerja dan pernikahan juga tidak berpihak padanya. Ia menikah dua kali, dua-duanya kandas. Bekerja berpindah-pindah, mulai dari perkebunan tebu hingga pekerjaan kasar lain. Perilaku kasar dalam rumah tangga membuat kedua istrinya pergi tanpa menoleh. Sementara ia sendiri mulai menapaki jalan mistik, mencari guru spiritual, mengumpulkan ajaran aneh, dan menjadikan ritual sebagai pegangan hidup. Benih-benih dari tragedi 2003 mulai tumbuh dari kombinasi kesendirian dan keyakinan yang salah arah.
Perkara semakin pelik ketika kasus ini masuk ke pengadilan. Saat itu, Indonesia belum punya pasal khusus soal kanibalisme. Jaksa kemudian menggunakan pasal pencurian dengan pemberatan, karena dianggap yang dicuri adalah jenazah. Perdebatan hukum pun muncul. Tim pembela berargumen bahwa jenazah bukan barang, melainkan sesuatu yang sudah tidak bernilai secara hukum. Sementara polisi dan jaksa berpegang pada logika bahwa mengambil dan memakan jasad orang lain jelas perbuatan kriminal yang tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Baca Juga: Hikayat Tragedi Bom Bali 2002, Teror Terbesar dalam Sejarah Indonesia

Hakim akhirnya menjatuhkan vonis lima tahun penjara. Lebih ringan dari tuntutan jaksa, tetapi cukup untuk menegaskan bahwa apa yang dilakukan Sumanto tidak hanya melukai hukum tetapi juga rasa publik. Pengadilan Tinggi memperkuat keputusan itu, Mahkamah Agung kemudian menolak kasasi. Tanpa sadar, kasus ini menjadi bahan bakar untuk perubahan KUHP yang lebih modern. Dalam rancangan KUHP baru, pasal tentang kanibalisme akhirnya muncul, membuat tindakan seperti ini memiliki rumah hukum yang jelas.
Sumanto keluar penjara pada 24 Oktober 2006 dengan remisi. Tetapi kebebasannya justru menghadirkan babak baru yang jauh lebih menyedihkan. Keluarganya menolak memulangkannya. Tetangga menutup pintu. Desa asalnya seperti ingin menghapus namanya dari sejarah lokal. Satu-satunya tangan yang terbuka adalah seorang tokoh agama bernama Supono Mustajab yang menampungnya di Yayasan Rehabilitasi An-Nur. Di tempat inilah Sumanto ditempa kembali. Ia menjalani pengobatan jiwa, dibimbing secara spiritual, dan dipantau ketat agar tidak kembali ke jalan gelap yang pernah dilalui.
Waktu berjalan pelan tetapi pasti. Sumanto berubah. Tatapan yang dulu menakutkan melembut. Ia mulia mampu bersosialisasi. Hidupnya tenang, lebih stabil, dan jauh lebih bersih secara batin. Yang tidak berubah hanyalah fisik Purbalingga yang tetap panas pada siang hari.
Baca Juga: Hikayat Pelarian Eddy Tansil, Koruptor Legendaris Paling Diburu di Indonesia
Di tengah rehabilitasinya, tahun 2016 datang membawa kejutan. Sumanto diundang ke studio televisi nasional untuk sebuah acara talkshow. Tema acara itu bukan horor atau kriminal, melainkan diskusi ringan tentang mainan anak. Tetapi alih-alih bicara, Sumanto justru tidur pulas di sofa studio. Lengkap dengan dengkuran halus yang menjadi suara latar acara itu. Presenter dan narasumber lain tidak ada yang berani menyentuhnya. Penonton rumah menatap layar dengan rasa campur antara bingung dan geli. Sumanto tertidur dari awal hingga akhir. Dan seperti layaknya tradisi abad digital, momen itu langsung viral. Meme-meme bermunculan. Sosok yang dulu ditakuti kemudian jadi bahan lelucon kolektif.

Ia hadir di acara itu karena tiga tokoh kriminal pernah dijadikan action figure, termasuk dirinya. Publik terpecah antara yang menganggap itu karya seni dan yang menilai sebagai bentuk glorifikasi kejahatan. Yayasan rehabilitasi pun menyatakan keberatan, karena Sumanto tidak punya kuasa atas citra dirinya. Namun, tampilnya ia di televisi, meski sekadar tidur, justru menggeser narasi tentangnya. Dari figur kelam menjadi sesuatu yang lebih manusiawi, meski lewat jalur tidak sengaja.
Tahun demi tahun berjalan. Sumanto ikut kegiatan promosi untuk Pemilihan Gubernur Jawa Tengah 2018. Ia menerima vaksinasi COVID-19 pada 2021 seperti warga lain. Belakangan, ia muncul di media sosial, khususnya TikTok. Kontennya sederhana: joget, komentar ringan, kulineran, atau sekadar aktivitas harian. Dunia maya yang dulu menertawakannya kini malah memberinya ruang baru untuk hidup sebagai manusia biasa.
Baca Juga: Hikayat Skandal Dimas Kanjeng, Dukun Pengganda Uang Seribu Kali Lipat
Nama Sumanto kembali mencuat pada 2024 saat proyek film dokumenter tentang hidupnya diumumkan. Agus Makkie menyutradarai, sedangkan Aming mengambil peran utama sebagai Sumanto. Transformasi Aming dengan rambut gondrong sempat dikira sebagai proses hijrah oleh publik sebelum akhirnya terungkap bahwa itu untuk peran. Aming bahkan bertemu langsung dengan Sumanto untuk mendalami karakter. Hingga 2025, film itu belum rilis, tetapi antusiasme publik tetap ada. Sementara itu, Sumanto muncul sebagai cameo di film horor Labinak pada Agustus 2025, menambah bumbu aktual pada sejarah hidupnya.
Kini, di usianya lima puluh tiga tahun, Sumanto tinggal di lingkungan yang membimbingnya jauh dari masa lalu. Hidupnya berjalan perlahan, tetapi stabil. Tidak ada lagi gubuk, ritual aneh, atau studio televisi yang membuatnya tertidur di depan kamera. Yang ada adalah seorang pria yang berusaha hidup normal setelah bab kelam yang pernah mengguncang Indonesia. Karenanya, hikayat Sumanto tetap hidup, bukan sebagai horor, tetapi sebagai cerita tentang bagaimana hidup bisa berubah di jalur paling tidak terduga.
