AYOBANDUNG.ID - Bandung punya banyak julukan. Paris van Java, kota kembang, kota kreatif. Namun pada satu fase sejarahnya yang kelam, Bandung sempat mendapat cap yang jauh dari romantis: Bandung Lautan Sampah. Julukan ini bukan kiasan puitis seperti Bandung Lautan Api. Ia literal, berbau menyengat, dan jika dibayangkan terlalu lama bisa membuat nafsu makan hilang seharian.
Sejarah Bandung Lautan Sampah tidak lahir dari satu pagi yang sial saja. Ia adalah kisah panjang tentang kota yang tumbuh cepat, warganya kian konsumtif, sementara urusan membuang sisa hidup sehari-hari terus dianggap perkara remeh. Sampah, seperti halnya dosa kecil, lama-lama menumpuk hingga tak bisa lagi disembunyikan di kolong karpet.
Di Bandung, karpet itu bernama Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah.
Pada awalnya, Leuwigajah hanyalah lembah biasa di wilayah Cimahi. Pada akhir 1980-an, ia ditunjuk menjadi muara bagi sampah dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Cimahi. Tiga daerah, satu lubang. Sebuah kompromi yang di atas kertas tampak praktis, tetapi dalam praktiknya lebih mirip resep bencana.
Setiap hari, ribuan ton sampah datang tanpa pernah ditanya asal-usulnya. Sampah dapur bercampur popok sekali pakai, plastik makanan, bangkai tikus, kasur tua, hingga sisa lemari yang patah hati. Semua ditumpuk apa adanya. Tak ada pemilahan, tak ada pengolahan serius. Prinsipnya sederhana dan fatal: selama masih muat, teruskan saja.
Baca Juga: Sejarah Cicalengka, Gudang Kopi Kompeni dengan Sejuta Cerita di Ujung Timur Bandung
Bandung pun hidup tenang. Jalanan bersih, taman dirapikan, turis datang untuk berfoto dan belanja. Sampah sudah diserahkan urusannya ke truk dan ke lembah jauh dari pusat kota. Warga jarang berpikir ke mana perginya plastik air mineral setelah diteguk. Seolah sampah punya kemampuan gaib untuk menghilang secara moral.
Sampai akhirnya, pagi buta pada Februari 2005, sampah itu memutuskan untuk pulang kampung.
Tragedi Leuwigajah Pemicu Bandung Lautan Sampah
Dini hari yang dingin di Cimahi mendadak berubah mencekam. Tumpukan sampah di Leuwigajah yang telah menggunung selama bertahun-tahun ambruk dan meledak. Gas metana yang terperangkap di antara lapisan sampah menemukan momentum sempurna. Hujan deras sebelumnya mempercepat kehancuran. Gunungan itu meluncur, bukan pelan-pelan, melainkan seperti longsoran tanpa rasa bersalah.
Dua kampung di bawahnya terkubur. Rumah, sawah, dan manusia lenyap dalam waktu singkat. Ratusan orang meninggal. Banyak di antaranya adalah pemulung yang sehari-harinya justru membantu kota mengurangi sampah, meski tak pernah disebut dalam pidato peresmian apa pun. Tragedi itu menjadi salah satu bencana sampah terbesar di dunia, sekaligus tamparan keras bagi logika pengelolaan kota.
Leuwigajah ditutup. Dan di situlah babak baru Bandung Lautan Sampah dimulai.
Baca Juga: Tragedi Longsor Sampah Leuwigajah 2005: Terburuk di Indonesia, Terparah Kedua di Dunia
Penutupan itu ibarat menutup keran air di rumah tanpa sadar bahwa ember tetap terus diisi. Sampah Bandung tidak berhenti diproduksi hanya karena tempat buangnya ditutup. Dalam hitungan hari, Tempat Pembuangan Sementara penuh. Sampah meluber ke pinggir jalan, menumpuk di pasar, menyempitkan gang, dan menguasai sudut-sudut kota yang biasanya hanya dihuni pedagang kaki lima.
Bandung yang biasanya sejuk mendadak beraroma keras. Warga mulai beradaptasi dengan cara baru: menghindari jalur tertentu, menutup hidung dengan masker atau lengan baju, dan bersumpah akan lebih disiplin suatu hari nanti. Julukan Bandung Lautan Sampah muncul, bukan dari selebaran resmi, melainkan dari keluhan sehari-hari yang semakin sinis.
Ironisnya, saat itu Bandung sedang rajin mempromosikan diri sebagai kota wisata dan pendidikan. Di satu sisi brosur pariwisata berbicara tentang kreativitas, di sisi lain pengunjung disuguhi pemandangan kantong plastik yang mengembung seperti balon ulang tahun gagal.
Pemerintah pun bergerak cepat dalam logika darurat. Dibukalah TPA Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat. Statusnya sementara, tapi seperti banyak solusi sementara di negeri ini, ia bertahan lama. Sampah kembali mengalir, kota bisa bernapas, dan perlahan-lahan orang kembali lupa.
Padahal lupa adalah bahan bakar utama bagi bencana berikutnya.
Baca Juga: Tragedi AACC Bandung 2008, Sabtu Kelabu Konser Beside

Peralihan Sampah ke TPA Sarimukti
Setelah tragedi Leuwigajah, sampah sempat naik kelas menjadi isu nasional. Tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional. Seminar digelar, spanduk dipasang, jargon dirapikan. Namun dalam kehidupan sehari-hari, kebiasaan lama sulit dibongkar. Sampah tetap dicampur, ditenteng, lalu diserahkan kepada orang lain untuk diurus.
Bandung berkembang pesat. Kafe tumbuh lebih cepat dari pohon. Konsumsi meningkat, terutama yang berbungkus plastik. Kota ini gemar mencicipi tren, tetapi malas memikirkan residunya. Dari kopi susu hingga belanja daring, semuanya menyisakan jejak yang akhirnya kembali ke TPA.
TPA Sarimukti yang dibuka sebagai solusi darurat perlahan menua sebelum waktunya. Kapasitasnya terlampaui. Sampah datang lebih cepat daripada kemampuan alam untuk diam saja. Kebakaran beberapa kali terjadi, menghentikan pengangkutan, dan Bandung kembali merasakan déjà vu. Tumpukan sampah muncul di pasar, di dekat kampus, di kawasan niaga. Kota ini seperti lupa pelajaran yang sudah dibayar mahal dengan nyawa manusia.
Kini, hampir dua dekade setelah tragedi tersebut, Bandung masih bergulat dengan masalah yang sama. Tumpukan sampah masih kerap terlihat di berbagai sudut kota. Ditambah lagi, kondisi pesampahan di BandungRaya belakangan ini terbilang ruwet lantaran sekaratnya TPA Sarimukti yang selama ini jadi tumpuan.
TPA Sarimukti hari ini bukan lagi sekadar tempat pembuangan akhir. Ia sudah menjelma semacam ruang ICU bagi sistem persampahan Bandung Raya. Selang infusnya sudah mampet, oksigennya kian menipis.
Selama bertahun-tahun, Sarimukti menjadi tumpuan empat daerah: Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat. Dalam kondisi “normal”, sampah yang masuk mencapai 1.750 ton per hari. Walhi Jabar bahkan mencatat angka yang lebih brutal: hingga 2.500 ton sampah per hari dengan lebih dari 300 ritase truk. Ini bukan lagi tempat pembuangan, tapi tempat penumpukan dosa kolektif.
Baca Juga: Krisis Sampah Bandung Raya di Tengah Sarimukti yang Sekarat
Soalnya bukan cuma jumlah, melainkan wataknya. Sekitar 70 persen sampah yang masuk adalah sampah organik, dan sebagian besar tak pernah dipilah. Ia datang bercampur, membusuk bersama, lalu memadatkan usia Sarimukti lebih cepat dari jadwal kematian resminya. Kalau manusia punya asam urat karena gaya hidup, Sarimukti punya lindi karena gaya kelola.
Pemprov Jabar mencoba memainkan peran wasit dengan membatasi ritase. Dari 1.750 ton menjadi 1.250 ton per hari. Jatah dibagi-bagi seperti kupon beras miskin. Kota Bandung disuruh memangkas ritase, Cimahi ditekan, Kabupaten Bandung dan KBB ikut meradang. Semua protes, semua merasa paling terzalimi. Tak ada yang mau mengakui bahwa selama ini mereka hidup nyaman dengan satu tempat pembuangan yang dipaksa menanggung segalanya.
Padahal, kalau tidak dibatasi, Sarimukti bukan cuma kolaps—ia bisa mati sebelum 2026. Maka pilihan tinggal dua: berisik sekarang atau tenggelam bersama nanti.
Solusi jangka panjang konon sudah disiapkan: TPA Legoknangka yang dijanjikan mulai beroperasi 2028. Tahun yang terdengar futuristik, seperti janji mobil terbang. Sampai saat itu tiba, Sarimukti diminta hidup lebih lama, dipaksa menua dengan diet ketat dan manajemen darurat.
Di tingkat kota, Bandung mencoba berimprovisasi. Dibangunlah TPST Gedebage dengan teknologi RDF. Luasnya 1,7 hektare, kapasitasnya 390 ton per hari. Angka yang tampak besar sampai dihadapkan pada fakta bahwa Bandung memproduksi hampir 1.800 ton sampah per hari. TPST ini ibarat payung kecil di tengah badai, berguna tapi jangan berharap tetap kering.
Upaya lain bahkan lebih nekat: membuang masalah ke daerah lain. Kerja sama dengan Garut sempat berjalan, 200 ton sampah per hari dikirim ke TPA Pasir Bajing. Namun seperti kisah klasik, warga setempat mencium bau tak sedap lebih cepat daripada pejabat membaca kontrak. Protes muncul, kerja sama dihentikan. Bandung pun pulang dengan tangan kosong dan bau yang masih menempel.
Dalam situasi panik, Pemkot Bandung paling rajin memproduksi sesuatu yang tidak pernah kekurangan stok: program. Ada Kang Pisman, Kang Empos, Kawasan Bebas Sampah, Tidak Dipilah Tidak Diangkut, Sampah Hari Ini Habis Hari Ini. Akronim-akronim ini berbaris rapi seperti slogan kampanye. Sayangnya, dampaknya lebih sering berhenti di spanduk dan seminar.
Baca Juga: Umur Waduk Saguling Terancam Digerus Sedimen, Sampah, dan Eceng Gondok
Seolah-olah masalah sampah bisa diselesaikan dengan nama yang ramah dan mudah dihafal. Jika jargon bisa mengurai sampah, Sarimukti sudah berubah menjadi taman kota sejak lama. Faktanya, pemilahan baru berjalan di kurang dari 30 persen wilayah Bandung. Mayoritas warga masih mempraktikkan filosofi lama: buang, angkut, lupakan.
Ironisnya, rumah tangga sering dijadikan tersangka utama, padahal data berkata lain. Sampah organik terbesar justru datang dari kawasan komersial: pasar, hotel, restoran, kafe, rumah sakit, dan mal. Mereka memproduksi sampah dalam volume besar, homogen, dan relatif mudah dikelola kalau saja ada kemauan politik yang sepadan.