AYOBANDUNG.ID – Ada banyak taman di Kota Bandung, Jawa Barat, di mana Taman Tegallega (biasa juga disebut: Lapangan Tegallega) adalah salah satunya.
Warga Kota kembang mungkin biasa ke sana, tetapi bagi yang belum pernah, taman ini sesungguhnya mudah dijangkau. Letaknya berada di sebelah selatan alun-alun kota, di utara Jalan BKR yang merupakan jalan protokol, dan tak jauh dari persimpangan tempat berdirinya Tugu Rumput.
Taman Tegallega multifungsi. Siapa saja bisa berolahraga atau bersantai ria mencari hiburan, entah sendirian atau bersama orang terkasih.
Tegallega sedari dulu memang sudah menjadi titik lokasi bagi warga kota mencari hiburan.
Hiburan Zaman Kompeni
Merujuk dari namanya, Tegallega adalah dua suku kata bahasa Sunda yang digabung menjadi satu. “Tegal” berarti padang rumput, sementara “lega” berarti luas.
Di lapangan hijau yang luas inilah sebuah arena pacu kuda didirikan pada akhir abad ke-19 oleh pemerintah kolonial Belanda. Harian Surabaya, Soerabaijasch Handelsblad terbitan 18 Juli 1881 dalam artikel “Uit Bandong, shcrifjt men ons” adalah salah satu yang mengabarkan bagaimana kondisi infrastruktur di pacuan kuda Tegallega. Dalam artikel itu disebutkan properti arena pacu kuda Tegallega sudah cukup lengkap, baik untuk kebutuhan joki maupun penonton.
"Sebelum start kami melirik istal, trek dan tribune. Tribune telah banyak dihias sejak tahun lalu. Atapnya dihiasi lukisan dekoratif dan layar dibentangkan melindungi penonton dari sinar matahari pagi, yang dulu sering membuat sulit menonton laju kuda. Treknya bagus berkat cuaca kering yang kami alami akhir-akhir ini," tulis surat kabar tersebut.
Baca Juga: Persib Juara Divisi Utama 1986, Tiga Pemain Diberi Beasiswa
Pacu Kuda di Alam Merdeka
Keseruan pacuan kuda di Tegallega langgeng sampai tahun 1950-an atau seusai Indonesia meraih kemerdekaan. Buktinya, perlombaan besar digelar pada 20-21 Juni 1953.
Lomba ini diadakan untuk merayakan ulang tahun perkumpulan pacuan kuda wilayah priangan, Preanger Wedloop Societeit (PWS) yang menginjak usia ke-90 tahun. Menurut The Hong Liang selaku sekretaris perkumpulan itu, PWS adalah perkumpulan pacuan kuda tertua di Indonesia.

“Sesudah perang (revolusi) yang masih tetap berdiri ialah WSC (Wedloop Societeit Cheribon), BBWS (Batavia-Bogor Wedloop Societeit) dan PWS,” lapor majalah mingguan Star Weekly lewat artikel “Balapan Jg Populer di Daerah Priangan” terbitan 27 Juni 1953.
Perlombaan pacu kuda di Tegallega memancing penonton dari banyak kalangan. Umum hingga orang penting berkumpul saling membaur. Bahkan dua tokoh militer setempat seperti Kolonel Sadikin dan Kawilarang dikabarkan ikut hadir.
Penonton tak hanya sekadar menyaksikan keseruan joki dan kuda jagoannya. Banyak pula yang hadir untuk bertaruh agar nantinya bisa pulang membawa hadiah.
Baca Juga: Munaip Saleh, Raja Balap Sepeda Raksasa Pertama Tour de Java
Adapun terjadi persaingan ketat pada gelaran tersebut yang melibakan tiga kuda bernama Tringgalih, Sprinting Khan, dan Kresna. Ketiganya bersaing sengit, saling salip, sampai akhirnya Sprinting Khan melaju paling kencang, juara, dan membuat penunggangnya Tan Kay Toeng senang bukan kepalang.
“Tuan Tan telah menari di depan kudanya dengan iringan musik angklung dan kendang,” lapor Star Weekly dalam edisi yang sama. (*)