Suasana malam di Masjid Raya Al Jabbar. (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Ayo Netizen

Muludan, Rindu Rosul

Sabtu 06 Sep 2025, 18:59 WIB

Malam yang cerah itu, suasana Masjid Ikomah bagaikan lautan manusia. Laki-laki dan perempuan berbusana muslim-muslimah, berbaju koko, berpeci, dan berkerudung, saling berdatangan dari berbagai penjuru, menyemut menuju masjid kebanggaan UIN Bandung.

Di depan Gedung Pusat Perkembangan Bisnis (P2B), dulunya Fakultas Ushuluddin yang sejak 2024 pindah ke Kampus II bersama Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Pascasarjana, terlihat meja tamu dan tumpukan nasi kotak.

Setiap peserta Muludan terlebih dahulu mengisi daftar hadir sebelum menerima konsumsi. Antriannya mengular hingga ke pohon jambe.

Dzikir Kebangsaan dan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Ikomah, Kampus I UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Kamis (4/9/2025) malam. (Sumber: www.uinsgd.ac.id | Foto: Humas UIN SGD)

Biasanya, hanya para maha santri Ma’had al-Jami’ah yang rutin menggelar kegiatan keagamaan, salat berjamaah, kultum, dan peringatan hari besar Islam. Malam itu, setelah salat magrib berjamaah, shalawat terus bergema, barzanji dilantunkan, dan Mahallul Qiyam dibacakan dengan penuh khidmat. Dzikir kebangsaan dipimpin oleh Buya Mujib, dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi.

Rektor Rosihon Anwar menegaskan Dzikir dan Maulid Nabi ini tidak hanya memperkuat kecintaan kepada Rasulullah Saw, tetapi meneguhkan komitmen kebangsaan di tengah kehidupan beragama dan berbangsa.

“Alhamdulillah di malam Jum’at, saidul ayam, doa terijabah, doa kebangsaan oleh Dr. Mujib dikabulkan. Di tempat yang mulia ini semuanya berdzikir, memberikan kehormatan, keberkahan, dengan terus meneladani Rasulullah dan mengamalkan akhlak mulia. Mudah-mudahan kampus ini menjadi kampus yang rahmatan lil ‘alamin.”

Puncak acara diisi tausiah KH Mahmud, Ketua Senat Universitas, bertajuk Cinta Rasul, Cinta Tanah Air: Merajut Kebhinekaan melalui Dzikir dan Shalawat.

Menurutnya mencintai Rasulullah tidak bisa dipisahkan dari mencintai tanah air. Sambil menuturkan kisah hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah. “Pada saat Rosul akan hijrah dari Mekah ke Madinah, ketika sudah mencapai 40 langkah, Rasulullah menengok ke belakang untuk melihat kota Mekah dan mengatakan, ‘Wahai kota Mekah, andai aku tidak diusir, andai aku tidak dizalimi, berat rasanya aku meninggalkanmu.’”

Guru Besar Sosiologi Pendidikan ini menambahkan, “Rasulullah SAW tetap mencintai Mekah, meskipun sudah berhasil membangun Madinah. Bahkan Nabi memimpin penaklukan Mekah (futuh Mekah) sebagai bukti cintanya pada tanah air. Dalam konteks Indonesia, Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari menegaskan hubbul wathon minal iman, mencintai tanah air adalah bagian dari iman. NKRI harga mati.”

Tradisi Siraman Panjang di Keraton Kasepuhan menjadi salah satu rangkaian peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Cirebon. (Sumber: Ayocirebon.com | Foto: Erika Lia)

Ziarah Merawat Ingatan

Di tengah khusyuknya acara, ponsel berdering. Pesan dari istri masuk, “Bah, acara Muludan di mana?”

Kujawab singkat, “Ikomah.”

“Pami masih lami bade ngahadiran Muludan di RW 6 nya?”

“Muhun.”

Justru pikiranku melayang ke kampung halaman di Bungbulang, Garut Kidul. Teringat suasana sederhana panggung kayu alakadarnya, hadroh, solawatan, lantunan lagu Rindu Rasul, tumpeng, besek, dan keresek.

Untuk di Pasar lama Bungbulang, daerah yang terkenal dengan camilan opak, wajit, dan sale. Peringatan Maulid Nabi begitu membekas. Seminggu sebelumnya, anak-anak pengajian Masjid Darussalam mendapat tugas dari Ajengan, untuk mengikuti lomba hafalan surat pendek, azan, iqamah, hingga tabligh akbar yang menghadirkan kiai tamu, termasuk KH Jujun Junaedi dengan gaya ceramah penuh humor.

Bagi masyarakat tradisional Indonesia, Muludan kerap diisi dengan ziarah makam dan pembasuhan benda pusaka peninggalan para penyebar Islam. Misalnya perayaan Panjang Jimat di Cirebon, Nyangku di Panjalu (Ciamis), Ngalungsur Pusaka di Makam Prabu Kian Santang (Garut), di Kraton Solo dan Yogyakarta, tradisi sekaten dengan tabuhan gamelan Kiai Sekati menjadi bentuk dakwah kultural yang diwariskan sejak Wali Songo.

Suasana senja di Masjid Raya Al Jabbar (Sumber: Ayo Bandung | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Ekspresi Mencintai Rasulullah

Guru Besar Ilmu Pendidikan Islam Nusantara, Dadan Rusmana menuliskan Maulid Nabi: Ekspresi Kultural Mencintai Rasulullah SAW, salah satu madah paling terkenal adalah Qashidah Burdah karya Imam Bushiri (1213–1294). Qasidah ini bukan hanya ekspresi kerinduan kepada Nabi, tetapi menjadi media perekat umat Islam menghadapi ancaman Mongol dan Perang Salib setelah runtuhnya Baghdad pada 1258 M.

Ingat, tradisi pembacaan sirah nabawiyah dan syair-syair pujian kepada Nabi terus berkembang. Setelah Qashidah Burdah, lahir Qashidah al-Barzanji karya Syaikh al-Barzanji al-Kurdi (1716–1763) dan Simtud Durar karya Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (1843–1915). Karya-karya ini hingga kini masih dilantunkan di pesantren dan masjid-masjid Nusantara, terutama pada peringatan Maulid Nabi.

Dalam konteks Sunda-Muslim, ada pula karya lokal seperti Syi’r Hisan karya Ajengan Juwaini bin Abdurrahman dari Sukabumi (ditulis 1930-an, populer 1960-an), Riwajat Kangjeng Nabi Moehammad karya Wiranatakusumah V (1888–1965).

Syi’r Hisan berakar pada tradisi pesantren dan Riwajat Kangjeng Nabi Moehammad lebih bergaya historiografi Barat untuk kalangan priyayi dan akademisi Hindia Belanda. (www.jabar.nu.or.id dan www.uinsgd.ac.id).

Acil Bimbo ini dimakamkan di TPU Muslim Cipageran, Cimahi, Selasa (2/9) pukul 11.00 WIB. (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Restu Nugraha)

Semua maha karya itu menegaskan satu kerinduan, kecintaan pada Rasulullah SAW tak pernah lekang dimakan zaman. Ya dari Ikomah hingga Bungbulang, dari sekaten hingga barzanji, umat Islam terus berusaha merawat spirit profetik, menyatukan diri lewat dzikir, shalawat, dan narasi cinta kepada Baginda Rosul.

Walhasil, lirik Rindu Rosul karya Bimbo terasa menyempurnakan suasana malam yang semakin dingin sambil diiringi hujan yang terus mengguyur Cibiru.

Rindu kami pada-Mu, Ya Rasul

Rindu tiada terperi

Berabad jarak dari-Mu, Ya Rasul

Serasa Dikau di sini

Cinta ikhlas-Mu pada manusia

Bagai cahaya swarga

Dapatkah kami membalas cinta-Mu

Secara bersahaja?

Rindu kami pada-Mu, Ya Rasul

Rindu tiada terperi

Berabad jarak dari-Mu, Ya Rasul

Serasa Dikau di sini

Cinta ikhlas-Mu pada manusia

Bagai cahaya swarga

Dapatkah kami membalas cinta-Mu

Secara bersahaja?

Rindu kami pada-Mu, Ya Rasul

Rindu tiada terperi

Berabad jarak dari-Mu, Ya Rasul

Serasa Dikau di sini

Lantunan syair itu bukan hanya pengobat rindu ke lembur, justru menjadi persembahan cinta untuk Rasulullah sekaligus hadiah doa bagi almarhum Acil Bimbo yang wafat, Senin malam (1/9/2025) sekitar pukul 22.13 WIB di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Sungguh meninggalkan kenangan mendalam bagi kita semua. Alfatihah..! (*)

Tags:
Maulid Nabi Muhamad SAWmuludanRasulullah SAWMuludan

Ibn Ghifarie

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor