Cuanki adalah menu yang cukup populer untuk masyarakat Bandung. Hampir di setiap sudut kota cuanki hadir dalam bentuk tradisional menggunakan roda atau modern dalam bentuk restoran.
Bahkan sejak saya kecil, penjual cuanki selalu berkeliling kampung dari satu gang menuju gang lain dengan cara dipikul. Dulu cuanki kuliner yang cukup murah masih dijual seharga Rp.500/pcs. Hingga hari ini penjual gerobak mematok harga yang berbeda, ada yang Rp.2000/3 butir ada pula yang mematok semaunya sesuai dengan segmentasi pasar.
Beberapa nama cuanki di Bandung sudah cukup terkenal hingga ke luar kota, misalnya saja Bakso Cuanki & Batagor Serayu, Tjuankie Stasion, Cuanki Endos, Cuanki Dara Kembar, Cuanki CLBK, Kantin CAB, Cuanki Wildan dan Cuanki Gamuhang.
Beberapa nama cuanki di atas semakin populer semenjak kehadiran media sosial semakin masif. Hadirnya konten kreator tiktok atau youtuber vlog kuliner membuat masyarakat penasaran untuk mencoba kuliner yang bersangkutan.
Cuanki sendiri adalah makanan yang terbuat dari adonan ikan yang gurih dan kenyal dicampur dengan tepung dan bumbu rempah. Pada umumnya cuanki dihidangkan dengan kuah bening hasil rebusan bakso cuanki. Zaman dulu cuanki hanya terdiri dari baso, siomay dan tahu putih. Namun seiring berkembangnya zaman, beberapa pelaku usaha banyak yang membuat inovasi pada cuanki mulai dari kuah dan berbagai jenis isiannya.
Saya mengenal Cuanki dengan kepanjangan "Cari Uang Jalan Kaki" di salah satu radio yang cukup termasyhur di Bandung. Kali ini saya mengunjungi angkringan Bakso Cuanki Gading (Sebrang Yogja Soreang/Gading Tutuka). Penjual Cuanki kini sudah banyak bertranformasi menggunakan gerobak atau berubah menjadi sebuah angkringan. Bahkan beberapa sudah menjadi menu hits di sebuah restoran.
Bakso Cuanki Gading menarik perhatian saya karena kuah yang dihidangkan memiliki beberapa varian mulai dari kaldu sapi, kuah tomyam, kuah creamy, keju hingga ada cuanki kering dengan bumbu balado. Semoga Cuanki Gading tak hanya mengobral janji dengan berbagai inovasinya tapi besar harapan rasanya sesuai dengan ekspektasi.
Saya memesan 1 mangkok Cuanki Tomyam dan 1 mangkok Cuanki Creamy Keju. Hidangan disiapkan dengan cukup sigap, tak perlu menunggu lama, kedua mangkok sudah tersaji di hadapan mata. Semangkok Cuanki kuah Tomyam terdiri dari 1 cuanki siomay, 1 cuanki tahu, tulang rawan, ceker, 1 tahu putih, 1 bungkus citruk dan 1 baso sedang.
Ada yang menarik dengan cuanki gading, tak hanya kuahnya yang bervariasi tapi sajian dengan potongan mentimun menjadi hal baru dalam dunia percuankian. Kuah yang disajikan tidak sepanas tuntutan masyarakat saat ini. Tekstur siomay cenderung lembek jadi tidak ada sensasi bebal saat digigit seperti para pemangku otoritas, tahu keringnya cukup gurih, basonya lembut, ada sensasi baru dari tambahan citruk yang beraroma cikur.
Cuanki Gading memiliki dua varian sambal yang berbeda, satu sambal chili oil dan satu lagi sambal hijau. Hanya saja bagi saya sambalnya terlalu encer, entah harga cabai sedang melonjak atau sengaja dipangkas untuk kepentingan para penguasa.

Tulang rawan yang tersaji tak kalah kurus kerontang, hanya ada serpihan daging yang bisa dimakan. Tapi beruntungnya tertolong oleh satu buah ceker yang gurih dan gemuk, menambah rasa umami pada kuah cuanki.
Sementara cuanki dengan kuah creamy keju lebih kental dibandingkan dengan kuah tomyam. Sangat cocok jika dikonsumsi oleh anak-anak atau orang dewasa yang tidak terlalu suka dengan rasa pedas.
Overall semua hidangan terbantu oleh rasa kuah yang enak dan bercita rasa baru bagi lidah. Adapun kekurangannya hanya pada fasilitas, misalnya tidak tersedia tisu ataupun tempat cuci tangan dan wadah untuk menyimpan sisa tulang yang tak termakan. Sehingga membuat tangan lengket dan menimbulkan rasa yang cukup mengganggu. (*)