Indahnya Gedung Sate (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Ayo Netizen

Bandung Coret

Minggu 14 Sep 2025, 10:29 WIB

Sore itu setelah hujan besar mengguyur daerah Cibiru dan sekitarnya. Saat asyik ngobrol di warung pangyam dan mie ayam Mang Elang, empat remaja duduk santai.

Dari penampilannya, mereka seperti mahasiswa baru. Ya bukan tipikal "barudak" syarkum (Syariah dan Hukum) yang biasa nongkrong dan makan ala kadarnya, favorit mahasiswa di depan Pondok Sangkurilang Manis.

Obrolan ringannya mengalir. Seakan-akan tengah memperkenalkan diri. Sesekali terdengar, “Saya dari Cibiru,” ujar yang pertama, lugas tanpa basa-basi. Laki-laki bergaya gemoy menimpali, “Kalau aku asli Cimahi.” Tak mau kalah, seorang perempuan dengan senyum percaya diri berkata, “Aku mah dari Soreang.”

Terakhir, seorang remaja berhijab merah dengan tubuh berisi menyebut dirinya dari Bandung. Saat ditanya lebih jauh, menjawab, “Jatinangor.”

Ilustrasi Cibiru, perbatasan Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Rahmat Kurniawan)

Spontan mereka serentak bersuara, “Itu mah Bandung Coret!” "Ya, sesama Bandung Coret, Jatinangor, Cibiru, Cimahi, Soreang jangan saling mendahului," celetukannya sambil tersenyum.

Tertawa pecah. Ringan, akrab, tanpa sekat. Rupanya di balik canda itu, terselip sesuatu yang lebih dalam, bermakna. Potret kecil tentang Bandung dengan segala “coretan” identitasnya.

Memang Cibiru, Cimahi, Soreang, Jatinangor menjadi empat wilayah dengan latar berbeda, lahir dari ruang sosial masing-masing. Namun disatukan dalam pertemuan sederhana, mereka menjelma menjadi mozaik bernama Bandung Coret.

Sebutan “Bandung Coret” secara umum merujuk pada wilayah di sekitar Kota Bandung yang kerap dianggap sebagai daerah penyangga, seperti Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi.

Istilah ini muncul untuk membedakan antara “orang Bandung” yang tinggal di Kota Bandung dengan mereka yang berasal dari wilayah sekitarnya. Terkadang dalam keseharian banyak yang tetap menyebut dirinya “orang Bandung”.

Keberanian Memilih Prioritas. (Sumber: Facebook/Fajar Juliansyah, Guru BK)

Simbol Keberanian Memilih Prioritas

Bila bagi sebagian orang, Bandung Coret sekadar istilah geografis. Namun di mata Fajar Juliansyah, seorang Guru BK, Bandung Coret justru memiliki makna lain. Simbol perjalanan batin tentang keberanian memilih prioritas.

Dalam hidup, ada begitu banyak pilihan. Teori prioritas membaginya menjadi empat kuadran: Pertama, Penting dan mendesak. Kedua, Penting tetapi tidak mendesak. Ketiga, Mendesak tetapi tidak penting. Keempat, Tidak penting dan tidak mendesak.

Fajar lebih memilih fokus pada urusan-urusan penting, meski tidak mendesak, sebab di situlah letak keberlangsungan hidup yang berkelanjutan dan perlu diperjuangkan. Kemauan untuk pergi ke Bandung hanyalah bagian dari daftar keinginan yang tidak masuk kategori penting maupun mendesak. Dengan sadar, harus berani mencoretnya.

Mencoret” bukan berarti menyerah, melainkan keberanian untuk berkata tidak pada hal-hal yang tak sejalan dengan tujuan hidup. Dari sanalah muncul kekuatan baru. Biar lebih fokus, lebih hidup, dan lebih bermakna. Bandung Coret harus menjadi pengingat ihwal hidup bukan soal mengejar semua keinginan, melainkan menata arah, menyusun prioritas, dan berani mengatakan tidak.(www.facebook.com, 3 Januari 2025, 20:37)

Kota Bandung disebut sudah tak se-sejuk dulu oleh wisatawan. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Dinamika dan Jejak Pinggiran yang Terstigma

Memang dalam peta, istilah Bandung Coret tercatat. Misalnya di bagian barat, kawasan Cimahi kerap dicap demikian. Padahal Cimahi memiliki sejarah panjang, semula hanya kecamatan di Kabupaten Bandung, menjadi kota administratif pada 1975, dan akhirnya berstatus kota otonom sejak 2001. Namun stigma “Bandung Coret” masih sering melekat. (Pikiran Rakyat, 3 Juli 2022)

Untuk di Sumedang, Wakil Bupati Fajar Aldila menolak stigma serupa. Saat Milangkala ke-90 Jatinangor, menegaskan bahwa Jatinangor harus menjadi ikon kebanggaan Sumedang, bukan lagi sekadar disebut “Bandung Coret”. (www.sumedangkab.go.id, 17 Juli 2025).

Narasi serupa muncul dalam politik lokal. Usai dilantik sebagai Bupati Bandung, Dadang Supriatna (Kang DS) menegaskan pentingnya menghapus stigma Bandung Coret bagi Kabupaten Bandung.

“Ke depan tidak boleh lagi ada sindiran pada Kabupaten Bandung sebagai Bandung Coret, seolah identik dengan keterbelakangan. Kita harus mengembalikan marwah Kabupaten Bandung sebagai daerah asal mula berkembangnya kawasan Bandung Raya,” tegasnya.

Bagi Kang DS, justru memunculkan “Balik ka Bandung” yang berarti kembali pada akar budaya Sunda, silih asah, silih asih, silih asuh. Dengan mengajak masyarakat Kabupaten Bandung untuk menjaga kehormatan daerah dengan pembangunan berkelanjutan, pelayanan publik yang maju, dan penanda-penanda kebanggaan baru. (Inilah, 26 April 2021)

Kondisi kawasan resapan air yang beralih fungsi menjadi permukiman dan lahan pertanian di Kawasan Bandung Utara (KBU), Kabupaten Bandung, Rabu 7 Mei 2025. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Dari Sindiran Jadi Refleksi

Walhasil, Bandung Coret tidak sekadar istilah sindiran. Ini harus menjadi ruang refleksi bersama mulai dari identitas, kebanggaan daerah, dan keberanian pribadi dalam memilih jalan hidup. Dari soal wilayah hingga urusan batin, Bandung Coret mengajarkan ihwal yang sama. Pasalnya tidak semua tek-tek bengek harus diraih, sebagian justru harus dicoret agar hidup lebih terarah dan bermakna.

"Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum." Ingat kutipan dari M.A.W Brouwer yang terpampang di tembok jalan Asia Afrika Kota Bandung. Saking mencintai Tanah Pasundan, Bumi Parahiyangan yang bersumber dari salah satu tulisannya tentang Bandung di sebuah koran nasional pada 10 Juli 1975. "Sering dikatakan bahwa Jawa Barat terjadi waktu tuhan senyum," demikian kutipan lengkap Brouwer. (Pikiran Rakyat, 21 Juli 2022)

Dalam buku Cenat-cenut Calon Dokter, kampusku berada di daerah "Bandung coret". Daerah ini adalah kawasan yang sudah nggak termasuk Bandung, tapi demi menjaga harga diri, mahasiswa-mahasiswa kampus ini kalau ditanya Kuliah di mana selalu menjawab, "Di Bandung".

Tempat paling gaul di daerah ini adalah sebuah mall mungil bernama Jatos. Saking gaulnya, mudah sekali menemukan teman-teman sekampus di sini. Apalagi jika musim ujian baru saja berakhir. Rasanya seperti seisi kampus melakukan migrasi bedol desa ke Jatos.

Saat ini aku sedang duduk seorang diri di food court Jatos. Nggak sendirian sih, sebuah buku tergeletak di meja menemaniku yang sedang ingin makan enak. Bagiku bersama buku atau orang sama saja. Sama-sama ditemani.

Ujian akhir semesterku sudah selesai. Skripsi yang merupakan seberat-berat siksa dunia itu juga sudah disidangkan. Aku sudah menggenggam gelar sarjana kedokteran. Alhamdulillah... Waktu-waktu ini adalah masanya seorang mahasiswa bersantai-berbahagia, tapi nggak berlaku untuk mahasiswa kedokteran angkatanku.

Beberapa bulan lagi mereka akan memulai fase baru dalam perjalanan pendidikan dokter mereka. Fase itu adalah fase koas di Rumah Sakit Pendidikan di Bandung, Bandung beneran, bukan Bandung coret. Semua temanku tampaknya sibuk pindah tempat tinggal ke bandung, mempersiapkan peralatan yang diperlukan dan mencari-cari info yang berguna untuk bertahan hidup selama koas. (Tazkia Fatimah, ‎Agung F, 2015:65)

Sejumlah pengunjung melihat salah satu satwa di Kebun Binatang Bandung atau Bandung Zoo, Jalan Tamansari, Kota Bandung, Kamis 6 Februari 2025. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Bila kita tengok ke dalam obrolan empat mahasiswa di Pangyam Mang Elang, istilah Bandung Coret ini bukan sekadar canda untuk sebutan pinggiran kota, justru mencerminkan keberagaman anak muda yang berani mengekspresikan diri.

Ada yang lugasnya Cibiru, gemasnya Cimahi, percaya dirinya Soreang, hingga luwesnya Jatinangor. Semua bertemu dalam satu ruang yang saling menyapa, mengisi, saling mengakui dan menginspirasi.

Sungguh benar apa yang dikatakan Dilan “Bandung diciptakan ketika Tuhan tersenyum”.

Saatnya kita merayakan Kota Kembang dengan mendendangkan lirik Dan Bandung - The Panasdalam Bank feat Danilla, yang dirilis pada tahun 2019, dengan penulis lagu Pidi Baiq dan masuk kategori (genre) pop, folk.

Dan bandung

Bagiku bukan cuma

Urusan wilayah belaka

Lebih jauh dari itu

Melibatkan perasaan

Yang bersamaku ketika sunyi

Dan bandung

Bagiku

Bukan cuma masalah geografis

Lebih jauh dari itu

Melibatkan perasaan

Yang bersamaku ketika sunyi

Mungkin saja ada tempat yang lainnya

Ketika ku berada di sana

Akan tetapi perasaanku

Sepenuhnya ada di bandung

Yang bersamaku ketika itu

Yang bersamaku ketika itu

Yang bersamaku ketika rindu

Yang bersamaku ketika sunyi. (*)

Tags:
stigma pinggirankritik sosialBandung coret

Ibn Ghifarie

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor