Buku Bandung di Persimpangan Kiri Jalan karya Hafidz Azhar. (Sumber: Istimewa)

Ayo Netizen

Bandung di Persimpangan Kiri Jalan: Dari Ingatan ke Gerakan

Minggu 28 Sep 2025, 18:01 WIB

Bandung hari ini sering dijual dengan citra “kota kreatif,” penuh festival, kuliner, dan wisata belanja. Kota yang ramah bagi kaum muda urban, kota yang gemerlap di media sosial. Tetapi di balik citra itu, ada wajah lain yang sering terlupakan: Bandung sebagai kota perlawanan. Kota tempat lahir dan tumbuhnya jaringan gerakan kiri, media alternatif, hingga perempuan pelopor yang berani menentang norma zamannya.

Buku Bandung di Persimpangan Kiri Jalan karya Hafidz Azhar hadir untuk membuka kembali lipatan sejarah itu. Ia mengingatkan bahwa Bandung bukan hanya soal Braga atau Gedung Sate, melainkan juga soal kelas pekerja, pelajar, dan aktivis yang pernah menantang kolonialisme dengan rapat, tulisan, dan solidaritas.

Bagi saya, buku ini tidak sekadar bacaan sejarah. Ia adalah semacam peta jalan—meski jalannya penuh simpang siur—yang memberi inspirasi bagi gerakan hari ini.

Salah satu kekuatan buku ini adalah keberaniannya mengungkap kontinuitas perlawanan yang kerap digusur dari narasi resmi. Dari arsip koran kolonial tahun 1920–30an, kita melihat bahwa perlawanan rakyat Bandung tidak hanya berwujud demonstrasi, melainkan juga muncul di ruang redaksi, tulisan tajam, hingga suara perempuan yang melampaui batas zamannya.

Menghadirkan kembali sejarah ini penting. Banyak gerakan masa kini sibuk dengan “isu kekinian” tanpa akar, padahal solidaritas lintas generasi hanya bisa dibangun jika kita tahu jejak langkah sebelumnya. Membaca buku ini seperti diajak belajar dari mereka yang dulu menghadapi represi dan propaganda, tetapi tetap menemukan cara untuk melawan.

Buku ini menyingkap bagaimana jaringan aktivis kiri Bandung membangun komunikasi lintas kelompok. Media alternatif—dulu berupa koran, pamflet, bacaan kolektif—menjadi senjata untuk menghadapi narasi kolonial yang dominan.

Pelajaran ini terasa dekat dengan situasi sekarang. Fragmentasi gerakan masa kini—antara isu buruh, lingkungan, gender, maupun urban—bisa dijembatani dengan jaringan komunikasi yang konsisten. Jika dulu ada Sinar Djawa atau Api, kini ada peluang di blog, podcast, kanal YouTube, hingga zine digital.

Masalahnya bukan lagi teknologi, melainkan kemauan: apakah kita mau menjadikan media sebagai alat mobilisasi, atau sekadar hiburan lalu-lintas algoritma?

Perempuan di Pinggir Panggung

Buku "Bandung Di Persimpangan Kiri Jalan" karya Hafidz Azhar, penulis temukan di Pasar Minggu edisi 14 Jl. Garut No. 2 Bandung. (Sumber: Komunitas Pasar Minggu Bandung)

Buku ini memang memberi ruang bagi tokoh-tokoh perempuan dalam gerakan kiri Bandung, tetapi bagi pembaca yang hidup di masa kini, ruang itu terasa belum cukup. Narasi tentang perempuan pekerja, buruh tani, atau anak muda marginal masih jarang muncul.

Gerakan sekarang butuh cara pandang yang lebih interseksional: bahwa penindasan tidak berdiri sendiri, melainkan saling bertaut antara kelas, gender, etnis, dan usia. Jika dulu ada keberanian menembus norma patriarki, maka tradisi itu mestinya dilanjutkan dengan lebih serius hari ini.

Sebagai bunga rampai, buku ini memang punya keterbatasan. Namun justru di situlah peluangnya. Buku ini menegaskan pentingnya penelitian kolektif di tingkat lokal: menulis ulang sejarah komunitas kelurahan, organisasi buruh, kelompok tani, atau kolektif seni.

Bayangkan jika tiap komunitas di Bandung punya “arsip rakyat” sendiri, lalu saling berbagi dalam forum kolektif. Sejarah tidak lagi jadi milik akademisi, melainkan milik rakyat. Arsip bukan hanya catatan, tetapi bahan bakar untuk aksi.

Baca Juga: Sunda dan Buddha yang Langka Kita Baca

Membicarakan perlawanan di Bandung tanpa menyinggung seni kontemporer tentu terasa pincang. Sejak 1990-an hingga hari ini, Bandung dikenal sebagai salah satu pusat seni kontemporer di Indonesia. Kolektif-kolektif seni, ruang alternatif, dan komunitas kreatif tumbuh bukan hanya sebagai wadah ekspresi estetik, tetapi juga sebagai ruang resistensi.

Melalui pameran, mural, zine, pertunjukan musik, hingga aksi performans, para seniman Bandung kerap menyingkap isu-isu sosial: penggusuran, ketidakadilan kelas, eksploitasi lingkungan, hingga represi politik. Seni menjadi bahasa lain dari perlawanan—bahasa yang mampu menembus audiens lebih luas dibanding jargon politik.

Yang menarik, banyak gerakan seni ini memilih bentuk kolektif. Mereka menolak hierarki formal, memilih cara kerja gotong royong, dan sering kali terhubung dengan isu-isu gerakan sosial lain: dari solidaritas buruh hingga advokasi ruang kota. Di sinilah peran seni kontemporer Bandung terasa signifikan dalam pergerakan pembebasan—ia tidak hanya menghibur, tetapi juga mengorganisir.

Persimpangan kiri jalan Bandung tidak bisa dipahami tanpa menengok jauh ke belakang. Multatuli dengan Max Havelaar (1860) memang bukan anarkis, tetapi kritiknya terhadap tanam paksa membuka jalan bagi kesadaran politik.

Jejaring internasional yang masuk kemudian membawa gagasan anarkisme ke Hindia Belanda. Buruh percetakan, pelabuhan, hingga kereta api di Bandung pernah bersentuhan dengan ide solidaritas lintas kelas dan swakelola komunitas.

Memang, arus itu kemudian nyaris tersapu oleh nasionalisme dan Marxisme, tetapi semangatnya tak pernah benar-benar mati. Jejaknya masih terasa—dari serikat buruh independen, kolektif seni, sampai zine-zine anarkis yang beredar di Bandung hari ini.

Pelajaran untuk Gerakan Kini

Apa yang bisa kita tarik dari semua ini?

Bandung di Persimpangan Kiri Jalan memberi kita potongan-potongan ingatan. Tapi tugas kita bukan berhenti pada nostalgia. Ingatan hanya bermakna jika dijahit menjadi bendera perjuangan.

Pertanyaan terpenting setelah membaca buku ini bukan “apa isinya,” melainkan “apa yang akan kita lakukan setelah menutupnya?” Jika lupa, kita akan mengulang kesalahan. Jika ingat, kita bisa melanjutkan perlawanan dengan cara-cara baru.

Seperti kata seorang kawan aktivis: “Mengingat adalah tindakan politik. Nostalgia tidak pernah mengubah apa-apa. Tetapi ingatan yang dihidupkan bersama bisa menjadi senjata.” (*)

Tags:
Bandung di Persimpangan Kiri Jalanresensi bukusejarah

Abah Omtris

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor