Emak-emak sering dikatakan sebagai ras terkuat di muka bumi ini karena dianggap tidak ada pihak yang bisa mengalahkannya dalam segala situasi. Di jalanan emak-emak selalu menguasi jalanan, sein kanan lalu belok kiri tapi ketika terjadi kecelakaan mereka tidak mau disalahkan. Dan bagi saya emak-emak adalah orang yang paling menyebalkan jika berurusan dengannya.
Budaya serobot antrian sudah saya rasakan sejak duduk di bangku sekolah dasar ketika istirahat jam sekolah tiba. Siapa yang datang terlebih dahulu untuk membeli makanan tidak menentukan orang itu dilayani sesuai antrian. Yang berani berbicara lebih lantang dan lebih kuat merekalah yang dilayani terlebih dahulu.
Dulu saat kecil saya sering bertanya kenapa teman-teman selalu ingin didahulukan, kenapa mereka menyerobot antrian dan kenapa pedagang menormalisasi hal tersebut.
Hari ini jawaban tersebut baru terjawab setelah saya mengantri untuk membeli nasi kuning. Saat datang saya melihat ada dua orang emak-emak yang datang terlebih dahulu. Dengan sabar saya menunggu karena memang saya baru saja datang.
Berselang tiga menit ada satu orang emak-emak datang dan seketika menyerobot antrian. Awalnya saya biarkan tapi ternyata emak-emak yang lain pun melakukan hal yang serupa. Kemudian saya mengutarakan pesanan kepada pedagang lalu beiau mengiyakan.
Pesanan saya tak kunjung dibuat tapi sudah ada sekitar lima orang emak-emak yang pada akhirnya dilayani duluan karena saya diam. Pedagang pun seolah menormalisasi hal ini karena menyanggupi permintaan emak-emak tersebut. Sampai pada akhirnya ada emak-emak terakhir yang melakukan hal yang sama.
Saya pandangi beliau tanpa mengucapkan satu kata pun.
"Aduh, saya lagi buru-buru, anak-anak mau berangkat sekolah," tukasnya sambil mengambil beberapa gorengan.
"Bu, semua orang juga sibuk," gumam saya.
Semua terdiam dan akhirnya pedagang notice dan segera membuat pesanan saya.
Baca Juga: Membayangkan Sunda Tanpa Kristen (?)
Di antara emak-emak yang menyebalkan terdapat satu orang emak-emak yang mengerti konsep mengantri. Beliau sempat ditanya oleh pedagang mau pesan apa tapi beliau enggan menjawab dan mempersilahkan saya yang datang terlebih dahulu untuk dilayani.
Saya jadi menarik kesimpulan bahwa anak-anak yang menyerobot antrean bisa saja hadir dari emak-emak yang juga berlaku demikian. Ibu adalah madrasah utama bagi anak-anak benar adanya, karena dari pengajarannya anak-anak tau hak orang lain, anak-anak tau sopan santun, anak-anak tau mana yang boleh dan tidak untuk dilakukan.
Menariknya serobot antrian adalah budaya yang sudah dinormalisasi oleh sebagian masyarakat dan menganggap bahwa hal tersebut lumrah dilakukan.
Sesampainya di rumah saya bercerita kepada saudara dan jawabannya sungguh mengejutkan.
"Kamu kan belum pernah jadi emak-emak, belum tau rasanya jadi emak-emak, ya wajar lah kalau ema-ema nyerobot antrian, emang udah lumrahnya begitu."
Kesalahan kecil yang terus dianggap benar pada akhirnya menjadi normal dan mengakar serta mendarah daging menjadi tradisi dan budaya di Indonesia. Kini saya mengamini pernyataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib "Kebaikan yang tidak terorganisir akan kalah dengan kejahatan yang terorganisir". (*)