Hio Lo Utama di Vihara Satya Budhi (Kelenteng Bandung) (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Ayo Netizen

Agama-Agama Tiongkok yang Melebur di Segala Arah Tanah Sunda

Selasa 30 Sep 2025, 16:49 WIB

Di tanah Sunda, praktik agama-agama Tiongkok bisa kita lihat lewat rumah ibadah yang berdiri di berbagai kota dan desa. Kalau pun merasa sulit menemuinya, kita bisa cari dalam statistika dulu. Satu Data Kementerian Agama 2025, mencatatnya dengan 8 klenteng di Jawa Barat dan 2 klenteng di Banten.

Kita pasti tersentak kaget. Kok sedikit sekali? Masa sih? Memang angka itu tampak kecil, sebuah permukaan dari realitas yang jauh lebih kaya.

Dalam data yang sama disebutkan, ada ratusan vihara, 222 di Jawa Barat dan 189 di Banten. Data negara memang seperti itu, tidak memberi keterangan yang rinci. Alhasil kita cenderung memberi kesan seolah-olah kultur Sunda tak punya hubungan spesial dengan berbagai ekspresi agama Tiongkok. Padahal kita tahu, banyak vihara itu punya corak yang kuat dengan identitas Tionghoa. Kentara merah yang menyala, lampion, dan relief naga yang mencolok.

M. Ikhsan Tanggok dalam “Buddhist and Confucian Relations in Indonesia: Conflict over the Ownership, Name and Function of Chinese Temples (Kelenteng)” (ICRI, 2018) menyoroti bahwa perubahan nama kelenteng menjadi vihara erat kaitannya dengan regulasi Orde Baru yang memaksa proses asimilasi warga Tionghoa dengan masyarakat lokal.

Larangan mendirikan kelenteng baru dan kewajiban mengganti nama akhirnya malah menambah jumlah rumah ibadah Buddha. Di sinilah muncul masalah. Umat Konghucu kecewa, menegaskan bahwa kelenteng tetap menjadi rumah ibadah mereka. Meski kini beberapa di antaranya harus memilih litang, rumah ibadah khusus Konghucu.

Sebaran dan dinamika keberadaan rumah ibadah yang berakar pada agama Tiongkok sebetulnya bisa ditelusuri lebih rinci melalui Open Data Jabar dengan tajuk “Keberadaan Litang/Kelenteng Berdasarkan Desa/Kelurahan di Jawa Barat” (Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa). Data ini merekam pergerakan dan penyebaran klenteng serta litang dari tahun 2019 hingga 2024.

Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN), sebagai salah satu organisasi yang menaungi umat Khonghucu, turut memperkaya pemahaman kita tersebut. Dalam situs web resminya (matakin.or.id), ia memberikan data bahwa umatnya hadir melalui Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) yang tersebar di 34 cabang di Jawa Barat dan 7 cabang di Banten.

Angka yang lumayan, meski jumlahnya lebih terbatas dibandingkan dengan paguyuban agama lain. Namun begitu, kehadiran MAKIN ini sekali lagi menegaskan perannya sebagai bagian dari lanskap keagamaan di Tanah Sunda.

“Cina Benteng” di Bagian Barat Sunda

Salah satu contoh nyata dari perjumpaan yang menyukma antara Sunda dan Tionghoa dapat kita lihat dalam penelitian Billy Nathan Setiawan “Cina Benteng: The Latest Generations and Acculturation” (Jurnal Lingua Cultura, 2015). Penelitian ini menelusuri kehidupan dua generasi muda “Cina Benteng” di Tangerang, di mana tradisi leluhur, bahasa, dan praktik budaya mereka berbaur dengan denyut kehidupan lokal.

Dalam pernikahan, musik, bahkan kosakata sehari-hari, mereka menenun warisan Tionghoa dengan warna Sunda dan Betawi. Aktivitas komunitas di sungai Cisadane, dari lomba perahu hingga permainan masa kecil, menjadi fondasi bagi identitas ini. Sebuah persilangan yang lahir dari anasir-anasir yang besar.

Lebih jauh, penelitian Abdul Malik dan kawan-kawan dalam “Identity Negotiation of Cina Benteng Community in Building Tolerance” (Journal of Governance, 2022) menyoroti keberagamaan komunitas “Cina Benteng” di Desa Kalipasir, Tangerang. Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa sebagian besar dari warga itu memeluk Buddha dan Konghucu, sedangkan beberapa lainnya menyelipkan Tao, membentuk praktik Tridharma (tiga tradisi agama yang dihidupi secara bersama-sama). Inilah keluwesan spiritualitasnya.

Mereka juga hidup berdampingan dengan tetangga muslim dan kristiani. Bahasa Sunda menjadi jembatan dengan lingkungan sekitar. Perayaan maulid pun menjadi momen berbagi sukacita. Bahkan warung sate babi yang rawan jadi isu gesekan bisa dikendalikan dengan kesadaran sosial yang tinggi.

Begitu juga perjumpaan ini terdokumentasi dalam bahasa mereka sendiri. Ada nyangseng yang berarti melayat, kebadi yang merujuk pada kesurupan, dan kekerejetan yang maksudnya sekarat menjelang ajal. Mereka menyebut magrib dengan menggerib dan sebagaimana orang Sunda mengenal kata sandékala dengan makna yang sama.

Kata-kata itu berlalu-lalang bersama istilah-istilah lainnya seperti te cua sebagai sembahyang kuburan atau sio poe sebagai usaha meminta restu dewa dengan melempar koin atau keping kayu setelah sembahyang.

Komunitas “Cina Benteng” diyakini lahir dari asmara di antara laki-laki Tionghoa dan perempuan Sunda di masa lalu. Jejak kisah ini masih dapat kita ditelusuri melalui praktik cio tao, sebuah tradisi sakral yang menjadi bagian penting dari upacara perkawinan mereka.

Busana pengantin perempuan mengingatkan kita pada kebaya, sementara kembang goyang yang digunakan menautkan ingatan pada siger Sunda. Selain itu, adanya sesi sawér pengantin menambah kesan kita pada upacara jatukrami yang lekat dengan budaya Sunda (Kumparan. Ikut Masuk ke Upacara Cio Tao: Tradisi Nikah Cina Benteng yang Sakral dan Langka. YouTube, 2025).

“Cina Benteng” bukan komunitas Tionghoa yang tercemar, bukan juga Sunda yang ‘log out’.

Hio Putri Ong Tien di Bagian Timur Sunda

Di ujung Pasundan, di perbatasan antara sejarah dan legenda, terbentang sebuah tanah yang menampung banyak keragaman. Di sinilah Jawa, Arab,  termasuk Sunda dan Tionghoa bertemu dalam harmoni. Tanah ini dikenal sebagai Caruban Nagari, negeri campuran yang kini riwayatnya terkenang dalam nama Cirebon.

Di pusat negeri ini, dijumpai tempat peristirahatan terakhir dari seorang perempuan terhormat yang datang dari Tiongkok. Putri Ong Tien, istri Sunan Gunung Jati sang penyebar Islam di Tanah Sunda. Makamnya menjadi saksi bisu kisah cinta yang menembus batas budaya.

Meski Putri Ong Tien diyakini telah memeluk Islam, praktik sembahyang ini tetaplah hidup. Nyala hio menjulang, aromanya mengalir, menjadi lambang keharuman yang menegaskan bahwa praktik agama leluhur Tionghoa bisa diterima di negeri ini. Bahkan di nadi utama, di pintu masuk Islam meresap ke darah Sunda (Syaripulloh, dkk. “Makna Dupa dalam Tradisi Ziarah Makam Sunan Gunung Jati Cirebon, Jawa Barat” (PURBAWIDYA, 2024).

Asap putih itu menautkan hidung kita pada hasil pembakaran kemenyan yang membumbung dari parukuyan di sekitarnya. Sekarang kita mengerti bahwa melalui harum yang naik itu, perbedaan cara membakar dupa bertemu dalam intensi yang sakral. Dalam kepulan yang bentuknya menjadi serupa tersebut, nyata tak lagi terlihat inikah asap dari hio merah atau kemenyan putih?

Fang Sheng di Kelenteng Bandung, Praktik Keagamaan Tionghoa dan Agama Buddha yang Melepaskan Makhluk Hidup ke Alam Bebas. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Kelenteng yang Tersebar di Antara Barat dan Timur

Di Bogor, Cianjur, dan Bandung, kelenteng dan vihara berdiri sebagai saksi lain dari perjalanan orang Tionghoa di Tanah Sunda. Ia menempatkan dewa-dewa Tiongkok berdampingan dengan leluhur lokal. Sugiri Kustedja dan kawan-kawannya dalam “Local Deities as Symbol of Acculturated Chinese Diasporas Temples in Indonesia” (2025) mencatat keunikan ini.

Di altar Mahabrahma, dupa membumbung di hadapan Eyang Raden Surya Kencana Dinata Mankubumi, penguasa Gunung Gede, yang duduk berdampingan dengan Eyang Jugo dari Gunung Kawi, serta Buyut Gebok dan Embah Raden Mangun Jaya. Di sana batu-batu sakral yang menyimpan napas agama leluhur Sunda juga sengaja tergeletak dihormati.

Dalam kajian yang sama, di Pacet Cipanas, Sakyawanaram menyambut peziarah dengan Rupang Sang Buddha yang agung. Namun di altar kecil hadir juga Eyang Surya Kencana. Di sudut lain Semar beserta anak-anaknya hadir, para punakawan dari cerita rakyat Sunda.

Di Bandung, Vihara Giri Toba meneguhkan tradisi yang sama. Altar untuk Eyang Semar, Wali Songo, dan keris sakral bertemu dengan kehadirat para dewa Tiongkok. Ia menghadirkan rumah ibadah yang bukan sekadar kuil, tetapi ruang perjumpaan yang hidup, tempat budaya Sunda dan agama Tiongkok saling bersapa, juga saling menghormati.

Praktik agama Tiongkok di Tanah Sunda sebagaimana ditunjukkan di atas, memperlihatkan sifatnya yang cair dan adaptif terhadap kekayaan tradisi agama lokal. Shin-yi Chao dalam pengantar “Chinese Popular Religion in Text and Acts” (2023) menekankan bahwa teks, ritual, dan simbol-simbol agama Tiongkok selalu terbuka untuk direinterpretasi sesuai kebutuhan komunitas setempat, melibatkan rakyat biasa maupun elit. Hal ini membuatnya tidak kaku melainkan selalu inklusif untuk berinteraksi dengan yang lain tanpa kehilangan karakter dasarnya.

Refleksi

Agama-agama Tiongkok ternyata telah menapak lama di Tanah Sunda. Ia berhasil menghadirkan wajahnya yang hangat dan akrab. Agama-agama Tiongkok, maafkan kami jika selama ini masih merasa ada jarak. Maafkan kami, jika para penganut ajaranmu masih kami ragukan sebagai “asing” di antara imaji pribumi.

Kini saatnya kamu dan kami membentuk “kita”, menanggalkan asumsi liar soal sekat. Kini kita mesti belajar dari warga Benteng tentang Sunda yang terbuka dan Tionghoa yang membumi, tentang perbedaan yang bisa menjadi satu tubuh.

Begitu juga seperti asap dupa dan kemenyan yang tetap putih dan semerbak harum, tak peduli pada rupa asalnya yang berbeda. Di makam Putri Ong Tien kita telah bersama-sama menimba kebijaksanaan.

Kita juga harus meniru sikap para dewa dan leluhur yang mau duduk berdampingan, yang dari altarnya mau menyediakan ruang bagi yang lain. Sebuah teladan sunyi yang tegak abadi di rumah ibadah kita. Semoga persaudaraan kita terus layeut, kian bajik dan bijak. (*)

Tags:
Tanah Sundaagama Tiongkoksejarah kebudayaan

Arfi Pandu Dinata

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor