Pojok Barang-Barang Antik di Pasar Cikapundung, Kota Bandung (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Ayo Netizen

Studi Agama di Dunia Sunda

Rabu 08 Okt 2025, 16:15 WIB

Kalau kita bicara tentang Sunda, jangan langsung terpaku pada label halus atau religius semata. Iya, sebagian memang begitu, tapi seringkali maknanya menjadi kaku. Menghilangkan kenyataan tentang luasnya tanah ini, dan mencabuti lapis-lapis kebudayaannya yang selalu penuh kejutan.

Sebagai peminat studi agama, saya belajar bahwa memahami Sunda tidak bisa dipahami terbatas lewat teori klasik atau data di permukaan saja. Kita harus masuk ke lapangan, ikut bergerak di tengah masyarakat, menengok berbagai praktik yang hidup, dan peka membaca simbol-simbol yang kadang tersembunyi di balik hal-hal paling sepele.

Saya termasuk orang yang selalu curiga pada klaim. Kajian harus objektif? Tentu, tapi bagi saya tidak ada riset yang 100% ilmiah murni. Semua penelitian akan dibayangi oleh konteks, kebutuhan, relasi, latar belakang, dan tujuan peneliti. Dengannya saya justru lebih suka meleburkan batas-batas antara objektivitas dan subjektivitas.

Agama-Agama di Tanah Sunda

Doa orang Sunda hadir sederhana di keseharian, jadi pengikat relasi dan tanda solidaritas rakyat. (Sumber: Pexels/Andreas Suwardy)

Misal saat menulis relasi Islam dan Sunda. Kita tidak cukup mengutip sumber mainstream yang kadung mengulang narasi template bahkan jargonik. Kita harus sedikit nekad menelusuri genealogi gagasan dan membandingkan pendapat ahli. Dari situ terlihat bahwa keragaman seringkali hilang dalam narasi arus utama, sehingga wajah Islam di Sunda tampak lebih seragam.

Begitu juga dengan Buddha. Topik ini masih langka dibicarakan dan sering berada di tepian percakapan. Dalam hal ini, kreativitas kita yang dibutuhkan untuk menghadirkan narasi segar, contoh, catatan sejarah pertama tentang Sunda justru muncul dari pengamatan Buddhis di masa lampau.

Kristen di Sunda juga menarik untuk diamati. Ia banyak berkontribusi pada kebudayaan modern, termasuk sistematisasi bahasa Sunda kiwari. Dasar teologisnya mungkin tidak tampak, tapi pengaruhnya signifikan. Menunjukkan ini adalah cara untuk mengingatkan bahwa suatu agama bisa hadir secara konkret, meski tidak selalu terlihat di permukaan.

Hindu jelas berperan pada masa puncak keemasan Sunda. Meskipun kini penganutnya sedikit, kosmologinya masih mengakar kuat, menjadi bagian dari lanskap budaya yang menandai sejarah Sunda.

Agama-agama Tiongkok, termasuk Konghucu dan Tao, menunjukkan pola percampuran unik. Praktik religiusnya di Tanah Sunda berkembang jadi perpaduan yang khas. Hal ini menantang kita untuk berpikir ulang soal kategori “pribumi” dan “asing” yang kerap dipakai tanpa refleksi.

Kasus Yahudi di Bandung juga unik. Identitas yang seringkali dibenci tetap menemukan ruang hidup tersendiri di kota ini. Zoroaster, meski minor, muncul dalam ikon budaya pop, menunjukkan bahwa kesundaan juga meresap ke dunia kontemporer yang multikultural.

Baha’i menghadirkan kisah minoritas yang hidup dan beraktivitas di Bandung. Dengan itu, kita bisa menelusuri suka-duka komunitas ini, menampilkan sisi kehidupan yang jarang tersorot. Shinto pun menjadi contoh soal agama yang tampak asing ternyata bersemayam dalam luka sejarah masa pendudukan Rezim Militer Jepang di Garut dan Tasikmalaya.

Jain dan Sunda menawarkan perjumpaan unik. Kedua tradisi ini mungkin tidak bertemu langsung, tetapi bisa dihubungkan lewat gagasan soal makanan dan pola hidup. Sikh hadir dalam konten animasi sebagai cara Sunda dalam merespons dunia yang baru.

Cara Kita Mengamati

Dari berbagai contoh ini, kita bisa melihat satu hal yang penting. Mempelajari agama di Tanah Sunda tidak terbatas pada teks atau doktrin semata. 

Studi agama mesti selalu terbuka, semua hal bisa menjadi sumber kajian yang valid. Dari batu prasasti, doktrin, ritual, hingga tren kuliner, konten animasi, dan fenomena sosial. Segalanya layak dicermati. Metodenya pun beragam, etnografi, kajian linguistik, analisis kontemporer, teori kritis, arsip hukum, dokumen pribadi, hingga pengamatan lapangan.

Apalagi terlibat langsung di komunitas bisa memberi perspektif tambahan. Ikut dialog, mendampingi advokasi, membaca komentar di media sosial, atau sekadar mengamati interaksi sehari-hari dapat memperkaya pemahaman kita. Dari situ, teori klasik dan sumber tertulis bisa ditempatkan dalam konteks yang lebih hidup dan realistis.

Studi agama bukan sekadar mengulang buku atau artikel jurnal. Ia tentang mengumpulkan fragmen-fragmen kecil, merangkainya, menafsirkan, dan membiarkan narasi baru muncul. Kamus, ensiklopedi, atau kolom berita bisa menjadi referensi tambahan, tapi pengalaman langsung adalah bagian tak terpisahkan.

Refleksi Akhir

Sunda memiliki banyak sisi. Kreativitas dan daya kritis kita diperlukan untuk menangkap wajahnya yang plural dan sering melampaui teori-teori mapan ini. Belajar tentang agama-agama di Sunda adalah latihan untuk melihat dunia dengan mata terbuka, menghargai detail yang tampak sepele, dan menikmati keajaiban yang muncul tanpa diduga.

Studi agama, dalam konteks ini, adalah wahana eksploratif. Ia menguak potret Sunda yang kaya cerita, sambil menunjukkan bahwa kajian yang inklusif mampu membentuk narasi baru yang jujur, menyenangkan, dan bermakna. (*)

Tags:
budayaSundastudi agama

Arfi Pandu Dinata

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor