Bagaimana jika sesuatu yang selama ini kita yakini sebagai kebenaran ternyata dianggap keliru oleh sebagian orang? Akankah kita menolaknya, atau justru dengan senang hati menerimanya?
Mungkin perasaan seperti itulah yang dialami Bobotoh—sebutan pendukung Persib Bandung—ketika tim peneliti dari Universitas Padjajaran (Unpad) menyatakan bahwa klub kebanggaan mereka didirikan pada 1919, alih-alih 1933 seperti yang diyakini selama ini.
Awal Mula Polemik
Polemik ini bermula pada akhir 2023, ketika PT Persib Bandung Bermartabat (PT PBB) yang dipimpin Glenn T. Sugita merubah hari jadi Persib menjadi 5 Januari 1919 dari yang semula 14 Maret 1933.
Perubahan ini sebenarnya bukan tanpa dasar. PT PBB melakukannya setelah menerima rekomendasi dari Tim Peneliti Hari Jadi Persib yang dipimpin oleh Profesor Kunto Sofianto, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad.
Selama kurang lebih 6 bulan, mereka melakukan kajian dan penulusuran data terkait hari jadi klub sepakbola kebanggaan warga Kota Bandung itu. Sebuah usaha yang tidak mudah, mengingat tidak banyak literatur terkait yang tersedia.
Tim peneliti kemudian menemukan arsip surat kabar Kaoem Moeda yang memuat berita tentang rapat klub-klub sepak bola pribumi di Bandung, di antaranya Zwaluw, BIVC, BVC, KVC, VVC, Visser, NVC, Brom, KBS, BB, STER, Diana dan Pasar Ketjil.
Dalam rapat tersebut, mereka bersepakat untuk membentuk Bandoengsch Inlandsche Voetbal Bond (BIVB) pada 5 Januari 1919.
Dua hari kemudian, surat kabar Kaoem Moeda memberitakan bahwa BIVB telah resmi terbentuk. Sebelumnya, pada 30 Desember 1918, surat kabar yang sama mengabarkan rencana pembentukan BIVB akan dirangkai dengan sejumlah pertandingan pada 5, 7, dan 12 Januari 1919.
Dari segi historis, perubahan tersebut juga membuat status Persib sebagai pendiri Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) justru semakin kuat.
Menurut Kunto, jika Persib didirikan pada 1933 seperti yang kita yakini selama ini akan ahistoris apabila terkait dengan pendirian PSSI pada 19 April 1930 di mana BIVB berperan di dalamnya.

Respons Bobotoh
Seperti yang bisa ditebak, perubahan ini tidak bisa diterima begitu saja oleh para Bobotoh. Salah satu pihak yang menolak adalah M. Achwani, sekertaris umum Persib periode 1982-1994.
Menurut Achwani, Persib yang kita kenal selama ini merupakan hasil fusi antara dua bond di Kota Bandung pada saat itu, yaitu BIVB dengan National Voetball Bond (NVB).
Adapun terkait kenapa Persib tercatat sebagai pendiri PSSI meskipun berdiri sesudahnya, Achwani berpendapat bahwa yang tercatat adalah BIVB yang menjadi salah satu bond pembentuk Persib.
"Persib memang tidak tertulis sebagai pendiri PSSI, tetapi yang ikut mendirikan PSSI itu tertulis BIVB (Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond) bersama 6 bonden kota lainnya mendirikan PSSI," tulis Ichwan di akun Facebook pribadinya.
Sementara itu, banyak bobotoh lain yang menyampaikan keberatannya di media sosial. Termasuk banyak di antara mereka yang menuding para sejarawan Unpad sengaja dibayar oleh PT PBB untuk membuat polemik.

Terlepas dari kedua pihak memiliki pijakan yang kuat pada pendapatnya masing-masing, ulah oknum warganet yang menyebut sejarawan yang terlibat penelitian ini sebagai sejarawan berbayar menunjukkan krisis kepercayaan publik terhadap para akademisi.
Meminjam istilah Tom Nichols, fenomena ini bisa diidentifikasi sebagai matinya kepakaran, yaitu berkurang atau bahkan menghilangnya kepercayaan publik terhadap para pakar, ahli, profesional dan akademisi.
Kita mungkin masih ingat bagaimana publik yang marah menyerang Abdul Aziz, seorang dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, karena dalam disertasinya membahas konsep kontroversial, Milk Al Yamin, milik pemikir Suriah, Muhammad Syahrur.
Kita juga mungkin masih ingat bagaimana polisi hendak memroses hukum terhadap para peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) karena dalam penelitiannya menyebut adanya potensi tsunami setinggi 57 meter di Pandeglang, Jawa Barat yang dianggap meresahkan dan menghambat investasi.
Akademisi sendiri bukannya tanpa celah, mereka juga bisa berbuat salah dan bahkan sengaja berbuat salah.
Sejarah mencatat banyak kesalahan yang mereka lakukan. Mulai dari kesalahan 'ringan' sampai kesalahan berat. Mulai dari bahaya telur, sampai urusan ijazah mantan kepala negara. Sehingga kita, sebagai publik memang harus memiliki sikap kritis dan skeptis.
Namun, menyebut para sejarawan Unpad ini sebagai "bayaran" hanya berdasarkan pada ketidaksukaan pada PT PBB bukan lagi merupakan sikap kritis atau skeptis, melainkan sikap sinisme dan keraguan atas objektivitas dan profesionalisme mereka.(*)