Membangun kesadaran kritis dan transformasi diri melalui critical thinking dan transformative learning sebagai fondasi perubahan. (Sumber: Pexels/Pixabay)

Ayo Netizen

Critical Thinking sebagai Fondasi Epistemologis Pembelajaran Andragogi

Rabu 15 Okt 2025, 12:35 WIB

Bagi manusia dewasa, belajar bukan sekadar kewajiban, melainkan sebuah kebutuhan eksistensial untuk mempertahankan dan mengembangkan diri. Hal tersebut menurut Hegel merupakan keniscayaan atas realitas bahwa alam dan masyarakat bukan sesuatu yang statis, melainkan bersifat dinamis dan terus berubah melalui proses penyesuaian.

Jauh sebelum era hegel, gagasan perubahan dalam kehidupan telah disampaikan oleh heraklitus melalui kutipan yang populer yaitu “panta rhei” atau dalam kalimat aslinya “Panta chōrei kai ouden menei” bahwa segala sesuatunya berubah dan tidak ada yang tetap.

Salah satu kunci utama manusia untuk bertahan dalam perubahan bahkan ikut mempengaruhi perubahan tersebut adalah melalui sebuah proses yang kita kenal dengan istilah “belajar”.

Dalam masyarakat modern, proses belajar dilembagakan menjadi sistem pendidikan yang tidak hanya berfungsi menyesuaikan manusia terhadap perubahan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran kritis agar ia mampu berperan sebagai subjek yang membentuk perubahan itu sendiri.

Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) ini menjadi sangat relevan mengingat tuntutan lingkungan birokrasi yang terus bertransformasi seiring perkembangan teknologi, kebijakan publik, dan ekspektasi masyarakat.

Dinamika Andragogi

Pendekatan pedagogi dan andragogi mencerminkan dua paradigma yang berbeda dalam memahami proses belajar. Pedagogi, yang berakar dari tradisi pendidikan anak, berasumsi bahwa peserta didik bersifat dependen terhadap pengajar, dan tujuan pembelajaran ditentukan oleh pihak otoritas eksternal seperti guru atau lembaga.

Dalam kerangka ini, belajar dipandang sebagai proses transfer pengetahuan dari pengajar kepada peserta didik, dengan logika yang bersifat instruksional dan normatif. Sebaliknya, andragogi sebagaimana dirumuskan oleh Malcolm Knowles berangkat dari asumsi bahwa orang dewasa adalah individu yang otonom, memiliki pengalaman sebagai sumber belajar, serta terdorong oleh kebutuhan kontekstual untuk memecahkan masalah.

Dengan demikian, peran fasilitator bukan sebagai “penyampai kebenaran”, melainkan sebagai mitra dialogis yang membantu peserta didik mengonstruksi makna dan refleksi atas pengalamannya sendiri.

Critical Thinking  dan Transformative Learning

Secara epistemologis, andragogi dan critical thinking memiliki titik temu yang fundamental, yakni sama-sama berangkat dari pandangan bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang statis untuk diterima, tetapi hasil dari proses reflektif dan dialogis yang terus berkembang.

Dalam kerangka andragogi, orang dewasa belajar melalui pengalaman dan refleksi atas realitas yang dihadapinya, sehingga proses belajar bersifat experiential dan self-directed.

Perspektif ini sejalan dengan gagasan critical thinking sebagaimana dikemukakan Brookfield, yaitu kemampuan untuk mengidentifikasi, menelaah, dan mengevaluasi asumsi-asumsi yang melandasi keyakinan, keputusan, atau tindakan seseorang.

Dengan demikian, critical thinking menjadi fondasi epistemologis bagi pembelajaran andragogi, karena ia menyediakan kerangka berpikir yang memungkinkan peserta didik dewasa tidak hanya mengakumulasi pengetahuan, tetapi juga mengonstruksi dan menilai validitas pengetahuan itu sendiri.

Paulo Freire (1970) menyebut proses ini sebagai “conscientização/critical consciousness” kesadaran kritis yang tumbuh ketika individu mampu melihat realitas sosial secara reflektif dan menempatkan diri sebagai subjek perubahan, bukan objek yang dibentuk oleh sistem.

Mezirow (1991) melalui teori transformative learning menegaskan bahwa proses belajar orang dewasa yang autentik selalu melibatkan refleksi kritis terhadap “assumptive frames of reference” seperangkat keyakinan, nilai, dan kebiasaan berpikir yang membentuk cara seseorang memandang dunia.

Transformasi terjadi ketika individu menyadari bahwa sebagian kerangka berpikirnya sudah tidak lagi memadai untuk memahami realitas baru, lalu secara sadar merekonstruksi makna melalui dialog, refleksi, dan tindakan.

Transformative learning dapat dipandang sebagai bentuk paling matang dari praktik andragogi. Jika andragogi sebagaimana dikemukakan Knowles  (1984) menekankan kemandirian, relevansi pengalaman, dan orientasi pada pemecahan masalah nyata, maka transformative learning membawa prinsip-prinsip tersebut ke tingkat yang lebih reflektif dan kritis bukan hanya bagaimana orang dewasa belajar, tetapi bagaimana mereka mengubah cara berpikir dan memaknai dunia.

Dengan kata lain, transformative learning merepresentasikan fase tertinggi dari andragogi, di mana pembelajaran tidak berhenti pada adaptasi, tetapi melahirkan kesadaran kritis (conscientização) sebagaimana ditekankan oleh Freire (1970).

Ilustrasi ASN. (Sumber: Dok. Kemenpan)

Dalam konteks pengembangan kompetensi ASN, prinsip transformative learning tidak berhenti pada tataran konseptual, melainkan perlu dioperasionalkan dalam desain pelatihan.

Mezirow (1997) menekankan bahwa proses transformasi makna terjadi melalui tiga mekanisme utama: refleksi kritis, dialog rasional, dan tindakan baru yang berorientasi pada perubahan perspektif.

Pelatihan ASN seharusnya  tidak sekadar menyampaikan materi, cerita masa lalu, aktivitas seremonial, menari dan bernyanyi bersama diiringi tepuk sakinah namun lebih esensial yaitu menyediakan ruang reflektif di mana peserta dapat mengkaji ulang asumsi dasar yang membentuk cara berpikir dan bertindak.

Pendekatan Pembelajaran

Implementasi pendekatan pembelajaran berbasis critical thinking dan transformative learning dapat diwujudkan melalui sejumlah strategi yang dirancang untuk menumbuhkan refleksi, dialog, dan kesadaran kritis di kalangan peserta. Salah satunya adalah melalui sesi dialog reflektif (reflective dialogue session), di mana peserta difasilitasi untuk menelaah berbagai dilema etis atau kasus kebijakan nyata dengan sudut pandang kritis. Dalam forum ini, pengalaman dan pandangan setiap individu menjadi bahan diskusi bersama, bukan untuk mencari “jawaban benar”, melainkan untuk memperluas pemahaman dan menguji kembali asumsi yang selama ini dipegang.

Pendekatan berikutnya adalah siklus pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning cycle). Melalui kegiatan lapangan, peserta diajak mengalami langsung situasi kerja atau konteks kebijakan tertentu, kemudian merefleksikan pengalaman tersebut untuk menemukan makna baru. Proses refleksi inilah yang menjadi jembatan antara pengalaman konkret dan pembentukan pemahaman konseptual yang lebih dalam.

Selain itu, analisis insiden kritis (critical incident analysis) juga berperan penting dalam mendorong kesadaran baru. Peserta diajak untuk menelaah peristiwa nyata (baik yang bersifat sukses maupun problematik) sebagai bahan refleksi terhadap nilai, asumsi, dan kebiasaan berpikir yang mungkin sudah tidak relevan. Pendekatan ini menumbuhkan kemampuan introspektif sekaligus kepekaan terhadap dinamika organisasi dan perubahan sosial.

Terakhir, penyelidikan kolaboratif (collaborative inquiry) menjadi sarana penting untuk membangun kesadaran kolektif. Melalui kegiatan kolaboratif lintas individu atau unit kerja, peserta tidak hanya belajar dari pengalaman sendiri, tetapi juga dari pengalaman dan perspektif orang lain. Proses saling belajar ini memperkuat kapasitas reflektif birokrasi, membentuk budaya berpikir kritis bersama, serta menumbuhkan rasa tanggung jawab kolektif terhadap perubahan yang diharapkan.

Keempat strategi tersebut membentuk ekosistem belajar yang dinamis, di mana refleksi, pengalaman, analisis, dan kolaborasi menjadi satu kesatuan proses pembentukan kesadaran kritis dalam diri aparatur sipil negara.

Critical thinking sebagai fondasi epistemologis dan transformative learning sebagai bentuk tertinggi dari andragogi menegaskan bahwa pembelajaran orang dewasa sejatinya adalah proses pembebasan dan pembentukan kesadaran.

Dalam konteks aparatur sipil negara, proses belajar tidak cukup hanya menghasilkan pegawai yang kompeten secara teknis, tetapi harus melahirkan individu reflektif yang mampu membaca perubahan, menafsirkan makna di balik kebijakan, dan mengambil keputusan secara mandiri dan bertanggung jawab.

Pendidikan dan pelatihan ASN yang berorientasi pada transformasi berpikir inilah yang akan menjadi instrumen strategis untuk membangun birokrasi adaptif, berintegritas, dan visioner birokrasi yang tidak hanya menyesuaikan diri terhadap perubahan, tetapi menjadi penggerak perubahan itu sendiri. (*)

Tags:
ASNAparatur Sipil Negaracritical thinking

indra Maulana

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor